Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam pertama yang tertunda .
Hujan masih menggema pelan di luar jendela, suaranya seperti irama alami yang menemani detak jantung mereka yang kini berdetak tak beraturan. Kamar itu hangat—bukan hanya karena suhu, tapi karena keintiman yang akhirnya mencair setelah sekian lama terpendam dalam rasa malu, ragu, dan keinginan yang saling ditahan.
Reva terbaring di atas seprai katun lembut, dadanya naik-turun perlahan. Matanya menatap Raka dengan campuran rasa percaya, gugup, dan kerinduan yang tak terucap. Raka duduk di sampingnya, tubuhnya tidak mengenakan sehelai benangpun, kulitnya berkilau samar dalam cahaya temaram. Ia menatap istrinya seolah ingin menghafal setiap inci wajahnya—setiap kelopak mata yang bergetar, setiap bibir yang sedikit terbuka, setiap napas yang bergetar di tenggorokan.
“Kamu yakin,kita akan melakukan ini ,sayang ?” tanya Raka pelan, suaranya serak namun penuh kelembutan.
Reva mengangguk, lalu meraih tangannya. “Aku sudah lama menunggu malam ini… sejak hari pertama kita menikah.”
"Baiklah sayang ,kita akan melakukan dengan pelan ."
"Iya ,mas aku sudah siap ,lakukanlah !" Reva mengecup raka dengan lembut .
"Kamu sekarang mulai pintar ,sayang ."
Raka tersenyum kecil, lalu menunduk dan mengecup bibir Reva—lembut, dalam, penuh janji. Ciuman itu perlahan menjadi lebih intens, lidahnya menyentuh bibir Reva yang terbuka, meminta izin masuk. Reva membalas, tangannya meraih leher Raka, menariknya lebih dekat.
Tangan Raka mulai bergerak—perlahan, penuh penghargaan. Ia menyentuh wajah Reva, lalu turun ke lehernya, mengusap kulit halus di bawah telinga. Reva bersuara pelan, tubuhnya sedikit melengkung ke arah sentuhan itu.
“Di sini sayang …?” bisik Raka.
“Hmm…” Reva hanya mengangguk, matanya terpejam,ia merasakan rasa yang aneh dan nikmat ,karena sentuhan lembut Raka .
Seumur hidupnya baru kali ini ia merasakan rasa senikmat itu .
Raka mengecup titik itu lagi—lembut, lalu sedikit mengisap. suara Reva semakin jelas, napasnya memburu. Dorongan itu membuat Raka semakin percaya diri. Tangannya turun perlahan, menyusuri tulang selangka, lalu menyentuh melon Reva dengan lembut. Ia memijat perlahan, jemarinya menggoda puncaknya yang mulai mengeras.
“Mas Raka…” ucap Reva, suaranya bergetar.
“Sakit,sayang ?” tanyanya khawatir.
“Nggak… justru… enak banget,mas ,ayo teruskan !,” Reva berbisik malu-malu.
Raka tersenyum, lalu menunduk dan mencium puncaknya itu—perlahan, penuh hormat. Ia mengecup ringan, lalu menggigit lembut. Reva bersuara lebih keras, tangannya mencengkeram rambut Raka.
“Ayo mas Lanjut…” bisiknya.dengan suara desahan lembut yang keluar dari mulutnya.
Raka menuruti. Ia terus mengecup, menggoda—menghafal setiap reaksi Reva. Saat ia menyentuh sisi dalam nya, Reva menarik napas tajam. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena hasrat yang mulai memuncak.
“Boleh… aku sentuh di sini,sayang ?” tanya Raka, tangannya berhenti tepat di batas c d Reva.
Reva menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Iya… tolong sentuh aku ,aku.... juga ingin merasakannya .”
Raka melepas c d itu perlahan, membiarkannya jatuh ke lantai. Ia menatap tubuh Reva yang kini benar-benar polos tanpa mengenakan sehelai benangpun di hadapannya—indah, rapuh, dan sepenuhnya miliknya. Ia tak buru-buru. Matanya menatap wajah Reva, mencari izin.
“Kamu cantik,,sayang ” bisiknya.
Lalu, dengan jemari yang hangat dan penuh kasih, ia menyentuh Reva—perlahan, lembut, mengikuti irama napasnya. Reva menahan napas, lalu mendesah panjang saat sentuhan itu menyentuh titik paling sensitifnya.
“Mas Raka… aku…” tubuhnya menegang.
“Sst… santai saja, Sayang,” Raka membisikkan di telinganya, lalu mengecup lehernya sambil terus menyentuhnya dengan lembut. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi.”
Suara Reva semakin sering, napasnya semakin cepat. Ia menarik selimut, lalu melepasnya lagi—tak tahu harus berpegang pada apa. Raka menangkap tangannya, lalu menggenggam erat.
“Pegang aku,” katanya lembut.
Reva memegang lengan Raka erat-erat, sementara tubuhnya mulai bergetar hebat. Dan saat puncak pertama datang, ia menjerit pelan—bukan karena sakit, tapi karena kenikmatan yang selama ini ia bayangkan hanya dalam mimpi.
Raka menunggu hingga tubuh Reva tenang kembali. Ia mengecup keningnya, lalu menatap matanya. “Kamu baik-baik saja?”
Reva mengangguk, lalu menarik wajah Raka mendekat. “Sekarang… giliran aku jadi milikmu sepenuhnya.”
Raka menelan ludah, lalu menidurkannya perlahan di atas kasur. Ia berada diatas tubuh Reva, menopang beratnya dengan siku agar tak melukainya. Matanya menatap Reva, penuh cinta dan pertanyaan.
“Siap?” tanya Raka pelan.
Reva mengangguk, lalu melingkarkan kakinya di pinggang Raka. “Aku siap… jadikan aku istrimu yang sebenarnya.”
Itu saja. Kata-kata itu cukup.
Perlahan, Raka masuk ke dalam Reva—sangat perlahan, memberi waktu bagi tubuhnya untuk menyesuaikan. Reva menahan napas, wajahnya sedikit meringis.
Sakit !!" reflek Reva menjerit pelan,dan matanya mengeluarkan air mata, ketika dia merasakan bagian intinya terkoyak karena ada sesuatu yang memaksa masuk kedalam goa miliknya
“Sakit?” tanya Raka langsung, berhenti.
“Cuma… agak perih. Tapi… lanjut saja… pelan-pelan.”
Raka mengangguk, lalu mengecup bibir Reva untuk mengalihkan rasa sakit itu. Ia mulai bergerak—sangat pelan, sangat lembut. Setiap dorongan diikuti , dengan bisikan sayang, dengan tatapan yang tak pernah lepas.
Dan perlahan, rasa sakit itu berubah. Menjadi hangat. Menjadi nikmat. Menjadi satu.
Reva mulai menggerakkan pinggulnya mengikuti irama Raka. suaranya kembali terdengar—lebih dalam, lebih bebas. Raka merasakannya, dan ia pun semakin percaya diri. Ia mengecup leher Reva, lalu membisikkan, “Kamu milikku, Sayang…”
“Dan kamu milikku…” balas Reva, suaranya bergetar.
Mereka bergerak bersama—seperti tarian yang selama ini mereka tunda. Tak ada terburu-buru, tak ada nafsu liar. Hanya cinta yang bicara lewat setiap sentuhan, setiap desahan, setiap tatapan.
Saat puncak datang, Raka menahan diri sebentar, lalu menenggelamkan wajahnya di leher Reva. “Aku cinta kamu…” bisiknya sebelum melepaskan segalanya.
Reva memeluknya erat, tubuhnya bergetar dalam pelukan suaminya. Air matanya menetes—bukan karena sedih, tapi karena lega. Karena malam ini, ia akhirnya menunaikan kewajibannya sebagai istri. Dan Raka, sebagai suami.
Mereka berbaring berdampingan, napas masih belum stabil. Reva menempel di tubuh depan Raka, mendengarkan detak jantungnya yang kencang.
“Kamu nggak kecewa, kan?” tanya Reva pelan.
Raka menarik dagunya, lalu menatap matanya. “Kecewa? Aku baru saja merasa paling utuh dalam hidupku.”
Reva tersenyum, lalu mengecup bibirnya. “Malam ini… rasanya kayak malam pertama yang tertunda.”
“Tapi justru lebih indah,” Raka berbisik, lalu mengusap rambut Reva. “Karena kita nggak cuma menyatu secara fisik… tapi juga secara hati.”
Reva mengangguk, lalu menutup mata. “Aku lega… akhirnya aku benar-benar jadi istrimu.”
“Dan aku benar-benar jadi suamimu,” Raka menimpali, lalu menarik selimut menutupi tubuh mereka.
Di luar, hujan mulai reda. Bulan muncul dari balik awan, menyinari kamar itu dengan cahaya keperakan. Tapi di dalam, hanya ada kehangatan—kehangatan yang lahir dari cinta yang sabar, dari kepercayaan yang utuh, dan dari keberanian untuk saling menyerahkan diri.
Malam itu, mereka tak hanya melakukan hubungan intim.
Malam itu, mereka saling menemukan kembali—sebagai suami dan istri,
sebagai dua jiwa yang akhirnya benar-benar menjadi satu.