NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:515
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8

Pukul sembilan malam. Jakarta adalah galaksi pribadinya.

Dari jendela kantornya yang membentang dari lantai ke langit-langit di lantai empat puluh tujuh SCBD, Riana Wulandari memandang lautan cahaya di bawahnya. Merah, putih, dan kuning bukti dari sebuah alam semesta yang berhasil ia taklukkan. Setiap lampu yang berkelip adalah sebuah transaksi, sebuah kehidupan yang bergerak dalam orbit yang, dalam banyak hal, dipengaruhi oleh keputusannya di ruangan ini. Keheningan di ketinggian ini adalah kemewahan terbesarnya; suara klakson dan sirene Jakarta yang parau mustahil mencapainya, hanya menyisakan dengungan nyaris tak terdengar dari sistem tata udara yang canggih. Di sini, di singgasananya yang terbuat dari kaca dan baja, ia aman. Ia berkuasa.

Ruangan kantornya adalah perwujudan dari citra yang telah ia bangun selama lima belas tahun. Dindingnya dihiasi karya seni kontemporersebuah lukisan abstrak monokromatik oleh seniman ternama yang harganya bisa membeli sebuah apartemen. Udara di dalam ruangan beraroma samar dari diffuser yang diimpor, wangi teh putih dan cedarwood. Meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni solid bersih dari kekacauan; hanya sebuah laptop keluaran terbaru, tablet, dan foto berbingkai perak: dirinya, tersenyum cerah, menyerahkan cek donasi raksasa kepada deretan anak-anak panti asuhan.

Semuanya memancarkan pesan yang sama: kesuksesan, kontrol, dan kemurahan hati.

Riana Wulandari, empat puluh dua tahun, adalah sebuah ikon. Majalah bisnis menjulukinya "Wanita Baja dengan Hati Emas". Yayasan amalnya, "Wulandari Foundation", telah membangun tiga sekolah dan mendanai puluhan program beasiswa. Ia adalah seorang dermawan, seorang visioner, seorang penyintas yang merangkak dari kemiskinan menuju puncak.

Setidaknya, itulah cerita yang diketahui publik.

“Ya, pastikan proposal klinik di Flores sudah di meja saya besok pagi,” katanya, suara tenang namun tegas ke earpiece nirkabelnya. “Saya mau tinjau sebelum rapat dewan. Tidak ada penundaan. Terima kasih.”

Ia mengakhiri panggilan dan menghela napas. Asisten terakhirnya sudah pulang satu jam lalu. Gedung yang siang hari ramai seperti sarang lebah, kini sunyi. Ia menyukai keheningan ini. Di dalam kesunyian, ia bisa mendengar pikirannya sendiri. Ia bisa memeriksa ulang setiap benteng pertahanannya.

Ia membuka laptop untuk memeriksa harga saham terakhir sebelum pulang. Kotak masuk emailnya menampilkan tiga pesan baru. Dua dari mitra bisnis di Jepang. Satu lagi dari alamat yang tidak ia kenali serangkaian huruf dan angka acak.

Subjeknya hanya satu kata: Penuaian.

Kening Riana berkerut. Spam. Filter kantornya biasanya lebih baik dari ini. Ia hampir saja menghapusnya, tetapi sebuah getaran intuisi yang dingin naluri yang sama yang membuatnya sukses menahan jarinya. Dengan sedikit keraguan, ia mengklik email itu.

Isinya singkat. Tidak ada sapaan. Hanya dua baris teks.

Baris pertama adalah sebuah kutipan:

Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. - Galatia 6:7

Jantung Riana berhenti berdetak sepersekian detik. Ayat Alkitab. Terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah intrusi.

Lalu ia membaca baris kedua, dan dunianya yang teratur mulai retak di bagian tepinya.

Benih dari ‘Investasi Harapan Bunda’ sudah tumbuh menjadi pohon yang besar, Wulan. Sekarang waktunya untuk memetik buahnya.

Wulan.

Tidak.

Tangan Riana yang sejak tadi mengetuk-ketuk meja dengan anggun, kini membeku di udara. Ruangan yang tadinya nyaman mendadak terasa dingin menggigit. Wulan. Tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu selama lima belas tahun. Nama itu adalah hantu. Sebuah artefak dari kehidupan lain, kehidupan yang telah ia kubur begitu dalam di bawah lapisan kesuksesan, filantropi, dan kebohongan yang terpoles.

"Investasi Harapan Bunda".

Itu bukan nama perusahaan. Itu adalah nama dari sebuah penipuan berkedok arisan yang ia jalankan di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, jauh sebelum ia menjadi Riana Wulandari.

Ia tidak lagi berada di kantornya di lantai empat puluh tujuh.

Tiba-tiba ia kembali ke balai desa yang panas dan pengap lima belas tahun lalu. Bau jamu gendong yang khas dan keringat bercampur di udara. Suara kipas angin tua di langit-langit yang berderit-derit. Dan di depannya, duduk puluhan ibu-ibu rumah tangga, para pensiunan, menatapnya dengan kekaguman. Menatap Wulan, gadis muda, manis, persuasif, lulusan D3 Akuntansi yang berjanji akan membebaskan mereka dari kemiskinan.

Sebuah gambar melintas dengan begitu jelas hingga Riana terkesiap di kantornya yang mewah: Wajah Bu Tarsih. Seorang penjual jamu gendong yang kulitnya telah keriput oleh matahari.

Wajahnya bersinar penuh harapan saat menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal berisi seluruh uang pensiun almarhum suaminya. Tangan Bu Tarsih yang kapalan dan gemetar menyentuh tangan Wulan yang mulus.

“Ini semua tabungan kami, Nak Wulan,” kata ibu itu waktu itu, suaranya parau. “Kami percaya padamu.”

Wulan muda tersenyum, senyum yang sudah ia latih di depan cermin, senyum yang memancarkan kepolosan dan kepercayaan diri. Ia merasakan tekstur amplop cokelat tebal itu, menimbang bobotnya, dan ia tahu ia tidak akan pernah melihat ibu ini lagi. Seminggu kemudian, Wulan lenyap dari kota itu.

Uang itulah yang menjadi modal awalnya di Jakarta. Benih dari kerajaannya saat ini disirami oleh air mata orang-orang yang telah ia khianati.

Riana memejamkan mata rapat-rapat, mencoba mengusir bayangan Bu Tarsih. Itu sudah lama, katanya pada dirinya sendiri, napasnya mulai cepat. Aku sudah menebusnya. Aku membantu ribuan orang. Yayasan itu... sekolah... semua itu nyata. Aku bukan orang yang sama lagi!

Tetapi email di layarnya adalah bukti bahwa masa lalu tidak pernah mati. Ia hanya tertidur.

Logikanya yang tajam mengambil alih, berjuang melawan kepanikan. Siapa? Salah satu korban? Tidak mungkin. Mereka orang-orang desa. Mereka tidak akan bisa melacak "Wulan" menjadi "Riana Wulandari" di puncak menara ini. Seorang kenalan lama? Seseorang yang iri? Seseorang yang mencoba memerasnya?

Ya. Pemerasan. Itu lebih masuk akal.

Ia meraih gelas air di mejanya, tetapi tangannya gemetar. Es batu di dalamnya bergemeletuk suara yang memekakkan di dalam keheningan kantornya. Ia memaksa dirinya tenang. Ini hanya email. Kata-kata di layar. Ia dilindungi oleh keamanan digital dan fisik terbaik. Tidak ada yang bisa menyentuhnya di sini.

Ia menghapus email itu. Lalu mengosongkan folder trash. Seolah itu bisa menghapus ancaman.

Ia berdiri, berjalan mondar-mandir, mencoba mendapatkan kembali rasa kontrolnya. Karpet tebal meredam langkahnya. Pemandangan kota di luar kini tampak mengejek. Cahaya-cahaya itu kini terasa seperti ribuan mata yang menatap, menghakimi.

Cukup untuk malam ini. Ia harus pulang.

Ia mematikan laptopnya, mengumpulkan barang-barangnya ke dalam tas kulitnya. Keheningan di kantornya tidak lagi menenangkan. Keheningan itu terasa berat. Mengancam. Penuh penantian.

Setiap suara kecil terdengar diperkuat. Desis pendingin udara. Dengungan lift di kejauhan.

Ia berjalan menuju pintu kantornya yang terbuat dari kaca buram. Dan ia berhenti.

Matanya terpaku pada lantai di depan pintu.

Sebuah bayangan tipis. Di bawah celah pintu. Bayangan yang tidak seharusnya ada di sana.

Jantungnya melompat ke tenggorokannya. Ia menahan napas. Telinganya menajam, menangkap suara sekecil apa pun di luar pintu. Hening. Hanya pantulan cahaya, pikirnya, mencoba menenangkan dirinya. Hanya imajinasiku.

Lalu, ia mendengarnya.

Klik.

Suara yang sangat pelan. Terlalu pelan. Bukan suara petugas keamanan yang berpatroli. Itu adalah suara kunci yang dimasukkan ke lubang pintu utama lobi kantornya di ujung koridor.

Tidak. Tidak mungkin. Petugas keamanan tidak akan masuk kecuali ada panggilan darurat. Petugas kebersihan baru datang tengah malam.

Riana membeku, tangannya mencengkeram erat tali tasnya. Kaca di sekelilingnya tidak lagi terasa seperti benteng. Rasanya seperti sangkar. Dan seseorang baru saja membuka pintunya.

Ia mundur perlahan, menjauh dari pintu, kembali ke area mejanya. Matanya tidak pernah lepas dari pintu kaca buram itu. Ia merogoh tasnya, mencari ponsel, jemarinya terasa kaku dan canggung. Keamanan. Aku harus menelepon keamanan.

Dan saat itulah ia melihatnya.

Sebuah siluet.

Sosok seorang pria tinggi berdiri tepat di balik pintu kaca buramnya, membiaskan cahaya remang koridor. Sosok itu diam tak bergerak, hanya berdiri di sana, seperti seorang pengunjung sabar yang sedang menunggu untuk dipersilakan masuk.

Riana membuka mulutnya untuk menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokannya tersumbat oleh es. Rasa takut yang murni dan primitif melumpuhkannya rasa takut yang sudah lama tidak ia rasakan.

Itu bukan rasa takut Riana sang CEO.

Itu adalah rasa takut Wulan, si penipu, yang selalu waspada dan siap untuk lari.

Sosok itu mengangkat satu tangan, dan Riana bisa melihat bayangan gelapnya menempel di kaca buram itu.

Penuai itu telah datang.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!