"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengunduran diri!
Anjani baru pulang sore harinya. Wanita itu turun dari taksi dengan perasaan gundah. Tiba-tiba, dia merasa asing dengan bangunan rumah yang ada dihadapannya.
Tempat yang dulunya ia kira akan menjadi surga yang indah, ternyata hanya bangunan dingin yang menawarkan sepi. Tak ada bedanya, dengan rumah sang Ayah yang dulu ia tinggali.
Anjani memang tinggal di sana. Namun, tak satupun dari bagian rumah itu yang benar-benar menjadi miliknya.
Anjani sama sekali belum tahu jika Aryan sudah berada di rumah. Jadi, dia masuk dengan langkah lesu tanpa mempersiapkan diri lebih dulu.
Begitu menaiki tangga hendak ke lantai dua, ia seketika berhenti karena suara seseorang yang menghentikannya.
"Siapa kamu?" tegur suara itu. "Kenapa masuk ke rumah orang tanpa izin?"
Tubuh Anjani menegang sesaat. Tanpa sadar, dia menggenggam pegangan tangga dengan erat.
Napasnya terdengar lebih berat. Bulu matanya sedikit bergetar. Dia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi sosok Aryan. Namun, tetap saja hatinya merasa goyah dan sedikit perih.
"Kenapa diam saja? Cepat berbalik dan tunjukkan wajahmu! Kalau tidak, aku akan memanggil polisi untuk menangkap kamu."
Anjani menarik napas panjang kemudian mengembuskannya secara perlahan lewat mulut. Dia menguatkan diri. Berbalik dengan ekspresi wajah yang sudah ia atur untuk tersenyum.
"Aryan..." panggil Anjani. "Lama nggak jumpa," lanjutnya.
Gantian, kini Aryan yang berdiri mematung. Matanya tanpa kedip terus mengarah pada sosok wanita yang berdiri dihadapannya.
"Kamu... kamu Anjani!? Tapi, kenapa badan kamu sekarang malah..."
Aryan tak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia terlalu takjub melihat perubahan pada diri wanita itu.
Seratus hari tak bertemu, ternyata Anjani sudah banyak berubah.
"Ya, ini aku. Anjani," kata Anjani.
Tak ada yang bisa Aryan katakan. Lidahnya mendadak kelu karena melihat sosok Anjani yang kini berdiri didepannya.
Wanita itu benar-benar sangat cantik. Didukung dengan tinggi dan berat badan yang proporsional, dia sungguh sangat memukau.
"Ada yang ingin kamu bicarakan, Aryan?" tanya Anjani.
Namun, Aryan masih saja diam. Entahlah! Aryan juga tidak tahu kenapa dirinya bisa seperti ini dihadapan Anjani. Dia seperti seorang remaja tanggung yang baru saja bertemu dengan sosok wanita yang disukai.
Salah tingkah, malu-malu, sekaligus berdebar.
"Kalau tidak ada yang perlu dibahas, aku ke kamar dulu," pamit Anjani kemudian.
Aryan masih berdiri di tempat yang sama. Pria itu masih belum bisa berpikir dengan jernih.
Tak berselang lama, dia pun mengusap wajahnya sambil tersenyum bingung. "Aku kenapa? Kemana keahlian bicaraku menghilang? Kenapa aku mendadak jadi orang bisu didepan Anjani?"
****
Usai mandi dan berganti pakaian, Anjani duduk didepan meja rias untuk mengeringkan rambutnya. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari arah luar.
Anjani lekas mematikan hair dryer. Kemudian, ia berjalan ke arah pintu untuk membukanya.
Tepat dihadapannya, Aryan sudah berdiri dengan tegak. Wajahnya terlihat kaku. Mungkin, karena pria itu terlalu gugup.
"Ayo makan! Aku sudah pesan makanan," kata Aryan yang langsung pergi lagi.
Anjani mengangguk. Dia mengikuti langkah Aryan menuju ke meja makan.
Aryan sudah bersiap untuk menarik satu kursi untuknya. Namun, Anjani lebih dulu memilih kursi yang lain.
Terpaksa, demi menutupi rasa canggungnya, Aryan sendiri yang duduk di kursi tersebut.
"Kamu darimana saja? Kenapa pulang sore sekali?"
Meja makan terlalu sunyi. Sejak Aryan datang sampai sekarang, pria itu menyadari banyak perubahan pada diri Anjani.
Tak hanya soal bentuk tubuh. Sepertinya, sikap wanita itu juga ikut berubah.
Kemana Anjani yang dulu selalu cerewet dengan mengatakan rindu saat Aryan baru saja pulang ke rumah? Kemana Anjani yang dulu selalu antusias memasak untuknya?
Kini, sosok itu seolah menghilang. Dalam seratus hari, Aryan merasa bahwa sosok Anjani yang dulu sudah tiada.
"Aku kerja," jawab Anjani singkat.
"Kerja? Kerja apa? Dimana?" tanya Aryan penasaran.
"Aku kerja di perusahaan milik Paman temanku," jawab Anjani.
Mendengar jawaban itu, Aryan seketika merasa jadi tak senang.
"Kenapa harus bekerja? Memangnya, uang yang selama ini aku berikan, kurang?" tanya Aryan emosi. "Kalau memang kurang, kamu bisa minta tambah. Nggak perlu kamu kerja di perusahaan orang lain seperti ini. Pasti, gajinya kecil, kan?"
"Sebentar lagi kita akan bercerai. Jadi, aku harus belajar mandiri mulai sekarang," timpal Anjani tanpa menatap lawan bicaranya.
Degh!
Ada yang berdenyut nyeri didalam dada Aryan. Anjani baru saja mengingatkan hal yang hampir Aryan lupa.
Ya, mereka akan bercerai. Dan, itu akan terjadi sebentar lagi.
"Sudah ku bilang kalau aku akan memberikanmu kompensasi yang layak, Anjani. Dan, aku jamin... kompensasi yang aku berikan, bisa menjamin kehidupanmu seumur hidup."
"Terimakasih," timpal Anjani. "Tapi, aku tidak butuh."
Brak!
Aryan menggebrak meja tanpa sadar. Tatapannya yang dipenuhi amarah, seketika bersirobok dengan tatapan Anjani yang datar dan kelam.
"Kenapa kamu nggak butuh? Apa kamu sudah merasa bisa bertahan hidup hanya karena berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang nggak jelas itu?"
"Tanyakan dulu pada seluruh keluargamu, Aryan! Apakah mereka setuju jika kamu menyerahkan sebagian hartamu untukku atau tidak? Tapi, aku rasa... jawabannya tentu saja tidak."
Perempuan itu menyunggingkan senyuman sinis. Mungkin, Aryan lupa jika kedua orangtuanya tak pernah menyukai Anjani. Sedari awal, cahaya bulan putih kesayangan mereka hanyalah Luna.
Dan, Anjani yang dianggap orang ketiga dalam hubungan Luna dan Aryan, hanyalah benalu yang sedari dulu sudah sangat ingin mereka singkirkan.
"Ini urusan rumah tangga kita. Mereka nggak perlu ikut campur!"
"Nyatanya, mereka selalu ikut campur, kok."
Mulut Aryan berhasil dibungkam dengan sempurna oleh Anjani. Kini, pria itu tampak kebingungan untuk membalas ucapan Anjani.
"Besok, sebaiknya kamu undurkan diri dari perusahaan itu! Aku sudah pulang. Jadi, kamu nggak perlu bekerja lagi. Fokuslah tinggal di rumah dan lakukan pekerjaanmu sebagai ibu rumah tangga dengan baik!" titah Aryan tiba-tiba.
😄👍👍👍