Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Sombong dan jelas bukan tipenya begitulah kesan pertama Sofia Putri ketika akhirnya ia membuka mulut. Kenyataan bahwa pria itu terlalu tampan, bahkan mungkin lebih menarik daripada dirinya sendiri, menusuk harga dirinya sebagai perempuan. Bukankah seharusnya wanita lebih cantik daripada laki-laki?
Ia yakin banyak wanita tergila-gila padanya di mana pun ia melangkah. Kalau begitu, tidak ada alasan baginya untuk menambah daftar penggemarnya yang panjang. Paling-paling, dia hanyalah pelanggan biasa. Tak ada gunanya membuatnya merasa istimewa.
"Maaf?" hanya itu tanggapan pria itu terhadap ucapannya.
“Apakah layanan pelanggan Anda selalu buruk begini?”
“Saya tidak paham, Tuan.” Sofia berusaha tetap ramah meski hatinya menggerutu. Hari ini sudah cukup buruk, dan kini harus berurusan dengan pelanggan yang sengaja mencari masalah.
Pria itu memijat pelipisnya seolah tengah mengusir sakit kepala. Apakah dia sedang tidak sehat? Sofia sendiri tak mengerti mengapa ia peduli.
"Lalu singkirkan juga darah itu dari hadapanku," ucapnya datar, seakan ia hanya mengusir seekor lalat pengganggu.
.....
Kali ini alis Sofia terangkat, “Darah apa?”
“Luar biasa,” desah pria itu, “Kamu bahkan tidak paham. Dasar bodoh.”
Sofia menggenggam erat kedua tangannya agar tidak melayang ke wajah brengsek itu. Pelanggan kasar sudah biasa, tapi pria ini benar-benar keterlaluan. Andai ia bisa, ingin sekali rasanya meninju wajah tampan menyebalkan itu hingga babak belur. Tapi konsekuensinya jelas: ia akan dipecat. Ia butuh pekerjaan ini. Ia butuh uang.
Jadi, dengan napas panjang, ia memilih berkata, “Saya minta maaf jika layanan yang Anda terima tidak memuaskan.”
Pria itu hanya diam, wajahnya arogan. Sofia menambahkan dengan tenang, “Mungkin setelah selesai, Anda bisa menuliskan keluhan di kotak umpan balik di sana.” Ia menunjuk kotak kecil di dinding dekat pintu masuk.
Bibir pria itu mengerucut—entah itu cibiran atau senyum tipis. Sulit ditebak.
"Aku lebih suka mengeluh langsung pada manajermu," katanya, menyeruput kopi sambil menatap lurus ke arahnya.
Sofia membalas tatapan itu dengan mata tajam. Ancaman terselubung? Begitulah rasanya.
Sebelum ia bisa menyusun balasan cerdas, ia sadar bosnya tengah mengawasi. Pria asing itu rupanya juga menyadarinya, karena seketika ia terkekeh.
Brengsek. Dia tahu Sofia tak bisa berbuat banyak dan malah semakin memanfaatkan keadaan.
Dengan terpaksa, Sofia menunduk dan berlagak ramah demi menenangkan bosnya. “Selamat menikmati, Tuan,” ucapnya pelan. Lalu, nyaris tanpa suara ia menambahkan, “Semoga saja kau tersedak.”
Seolah mendengar doa Sofia, pria itu benar-benar tersedak, bahkan kopinya menetes di baju. Betapa besar godaan untuk tertawa, tapi ia harus menahan diri.
Sofia cepat-cepat mengambil tisu dari meja sebelah. “Permisi,” ucapnya sambil membantu membersihkan. Bosnya pasti akan senang melihatnya tetap perhatian.
Namun saat tangannya tanpa sengaja menekan dada pria itu, ia bisa merasakan otot kencang di balik bajunya. Jelas sekali pria itu rajin berolahraga. Penasaran, Sofia sempat menebak-nebak pekerjaannya. Instruktur gym? Tidak, wajahnya terlalu keras. Tentara? Mungkin… tapi pria setampan ini? Sulit membayangkan.
Berhenti, Sofia! Ia mengomel pada dirinya sendiri. Menjauhlah darinya.
Tapi sebelum ia sempat menarik diri, suara dingin berbisik di telinganya, napas panasnya menyentuh kulitnya. “Orang yang menyentuhku tanpa izin, tangannya akan kupotong.”
Sofia terbelalak, menatapnya. Jantungnya berdebar liar. Yang ia rasakan bukan ketertarikan, melainkan ketakutan. Tatapan mata itu—dingin, menusuk, seperti kematian yang berjalan. Ia pernah melihat tatapan semacam itu. Tatapan seseorang yang pernah merenggut nyawa.
Tapi sekejap kemudian, dingin itu lenyap, berganti dengan senyum main-main yang terasa seperti topeng.
“Suka dengan apa yang kau lihat?” Ia mengedipkan mata.
Sofia menelan ludah, tetap berusaha tenang. Ia segera mengambil nampan dan melangkah pergi. Ia tahu persis—pria ini bukan orang biasa. Ada sesuatu yang berbahaya tersembunyi di balik wajah tampannya.
Sementara itu, Akmal menyeringai dari mejanya. Sedikit saja ia menyingkapkan sisi gelap dalam dirinya, dan gadis itu langsung lari ketakutan. Menarik. Cantik pula.
Hasratnya berkedut, tapi ia menekannya. Cinta? Itu tidak pernah ada dalam kamusnya. Emosi hanya racun yang membunuh perlahan. Ia tak punya ruang untuk itu.
Namun, sesekali matanya tetap mencari-cari gadis itu di balik konter. Ia ingin menodai kepolosan itu namun bagian lain dalam dirinya ragu.
Tak lama, ia menghabiskan kopinya. Sudah waktunya kembali ke “dunianya” yang kelam. Dengan sengaja, ia membayar langsung di kasir, berharap bisa melirik gadis itu sekali lagi. Tapi yang menyambut justru pegawai lain. Menyebalkan.
Ia menyelipkan beberapa lembar uang. “Berikan padanya.”
“Dia?” pegawai itu terkejut.
“Rambut merah,” ucapnya sambil mengedip. Gadis itu pun tersipu, jelas uang itu akan sampai ke tangan Sofia.
Dan ia pun pergi.
“Hey, Sof!” Mimi memanggil ketika Sofia sibuk di dapur mencuci piring sekaligus menghindari pria aneh itu.
“Kamu beruntung sekali!” seru Mimi, lalu melambaikan beberapa lembar uang di wajahnya.
“Apa ini?” Sofia bingung.
“Tip! Dari si tampan edan itu!”
Sofia terperangah. “Apa?”
Mimi masih heboh, “Aku kerja di sini bertahun-tahun, belum pernah dapat tip sebanyak ini!”
“Kalau begitu, ambil saja untukmu,” jawab Sofia datar. Ia tak mengerti kenapa pria menyebalkan itu memberinya tip. Bukankah tadi ia hanya membuatnya marah?
“Bagaimana mungkin kamu menolak uang segampang itu?” Mimi terkejut. “Kamu itu biasanya paling pelit soal begituan.”
Sofia hanya mendengus. Tapi tawa Mimi terhenti ketika ponsel Sofia berdering. Begitu mendengar suara di seberang, ekspresi Sofia berubah drastis.