NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SKANDAL

Flash back.

Tujuh bulan lalu, udara di kawasan Puncak sejuk seperti biasa. Aroma bunga melati dari taman belakang rumah Juragan Subagja menguar ke dalam ruangan besar tempat pesta ulang tahun pernikahannya yang ke-20 dengan Indira diselenggarakan. Musik gamelan tradisional lembut mengalun, para tamu berdatangan dengan tawa, obrolan, dan aroma parfum mewah yang menyengat.

Di dapur, Ningsih, gadis berusia tujuh belas tahun dengan wajah manis dan tubuh mungil, sibuk membantu menyiapkan hidangan. Ia tidak bekerja di rumah ini secara tetap, hanya sesekali membantu, terutama karena ayahnya adalah sopir pribadi Juragan Subagja, dan ibunya -yang juga menjadi pembantu di rumah mewah klasik itu.

Meski sahabat dekat Kemala, putri Juragan Subagja, Ningsih paham posisinya. Ia tidak pernah merasa sejajar. Hari itu, ia hanya ingin membantu ibunya dan pelayan lain untuk menyiapkan jamuan dan memberikan yang terbaik untuk keluarga Subagja Jumantara. Ia melakukan dengan sepenuh hati sebagai balas jasa atas kebaikan keluarga sahabatnya itu.

Tapi siapa sangka malam itu akan mengubah seluruh hidupnya.

Setelah para tamu pulang dan suasana mulai sepi,

Ningsih melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar.

Tante Erina, adik dari Ibu Indira, berdiri di pojokan ruang makan dengan gelas kristal berisi anggur putih di tangannya. Ia tampak mencampurkan sesuatu dari botol kecil ke dalam minuman tersebut. Tangannya lihai, gerakannya cepat dan hati-hati.

Ningsih menahan napas. Perutnya terasa mulas. Ia bukan gadis bodoh. Ia tahu, gelagat Tante Erina mencurigakan.

Wanita itu berniat untuk memberi tahu Kemala atas gelegat aneh Tante Erina yang saat itu datang sendiri, tidak dengan suaminya. Namun saat Ningsih membalikkan badan untuk menemui Kemala, suara tantenya Kemala itu memanggilnya.

"Ningsih," panggil Erina sambil tersenyum manis namun palsu. "Tolong, antarkan minuman ini ke kamar Pak Subagja. Beliau ingin bersantai sebentar setelah acara."

Ningsih menerima gelas itu dengan hati berdegup kencang. Ia pura-pura tidak melihat jika Tante Erina memasukkan sesuatu ke dalam minuman itu. "Iya, Tante," ucapnya sopan.

Langkahnya terasa berat saat berjalan menuju kamar juragan. Dalam benaknya, berbagai kemungkinan buruk bermunculan. Racun? Obat tidur? Obat bius? Ia tidak tahu. Tapi nalurinya mengatakan, ada yang tidak beres.

Ningsih beberapa kali menengok ke belakang, berharap Tante Erina tidak mengawasinya agar dia bisa

Membuang minuman tersebut. Namun sayangnya, tatapan Erina begitu tajam. Dia berdiri tak jauh dari kamar itu. Seolah memastikan Ningsih melakukan tugasnya dengan benar.

Ningsih menelan ludahnya. Wajahnya terlihat gelisah. Sesampainya di kamar, ia mengetuk pelan. Juragan Subagja sedang membuka udeng atau ikat kepala yang selalu menjadi ciri khasnya. Pria berkumis tebal dengan wajah sedikit sangar namun sebenarnya baik dan humoris itu juga masih mengenakan kain sapit yang dipakai setelah celana panjang hitamnya.

"Ah, Ningsih," sapa pria paruh baya itu. "Masuk saja."

Ningsih melangkah masuk, menyerahkan minuman itu. Matanya mengedar ke penjuru kamar, tidak ia lihat nyonya Indira disana. Mungkin masih ada tamu atau Indira sedang bersama Kemala di kamar lain. Maklum saja rumah ini begitu luas dengan banyak kamar kosong. Rumah perpaduan bata merah dan kayu jati dengan banyak ukiran khas yang unik beserta barang-barang antik yang menjadi rumah utama untuk berbagai pertemuan penting.

Tangannya bergetar saat menyerahkan minuman itu. Ningsih tak bisa berpikir jernih. Ia yakin ada sesuatu pada minuman itu. Namun ingin mengadukannya secara langsung, dia tidak berani.

Harusnya ia membuang minuman tersebut, namun entah mengapa saat gelas itu berada dalam genggaman sang juragan, refleks Ningsih malah menariknya kembali dan tanpa pikir panjang meneguknya sendiri.

Juragan Subagja terkejut. "Apa-apaan kamu, Ning?!"

"Maaf, Juragan. Saya haus," jawabnya asal.

Juragan Subagja geleng-geleng kepala. Ia pun memberikan sedikit nasihat pada Ningsih agar tidak melakukan hal itu lagi. Ningsih adalah sahabat Kemala, otomatis seperti anaknya sendiri. Namun entah menatap saat itu, pandangan Juragan Subagja lain dari biasanya. Aura pera-wan gadis itu terpancar, tubuhnya pun singset. Pikiran kotor tiba-tiba menyergapnya, namun dengan cepat Juragan Subagja mencoba mengendalikan diri.

"Lain kali jangan seperti itu. Saya sih gak masalah. Takutnya nanti kamu melakukan itu pada tamu atau orang lain, itu gak sopan. Kamu sahabat Kemala, saya mau kamu juga tumbuh menjadi wanita yang ayu, penuh sopan santun dan membanggakan orang tua seperti Kemala. Jika memang sangat haus dan tidak bisa ditahan, kamu bisa minta izin terlebih dahulu. Paham!"

Gadis itu hanya mengangguk kecil, lalu buru-buru keluar dari kamar, tak sempat menjawab sepatah kata pun. Entah kenapa, kepalanya mulai terasa ringan. Tubuhnya panas. Ada sesuatu yang aneh merambat di dalam dirinya. Nafasnya memburu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Ia berjalan tergesa, masuk ke sebuah ruang kosong di lantai atas. Ruangan itu jarang dipakai, hanya berisi kursi dan rak buku tua. Ningsih terduduk lemas, tubuhnya menggigil, tapi bukan karena dingin.

Keringat menetes di pelipisnya. Napasnya memburu. Tubuhnya terasa terbakar dari dalam. Ia merasa ingin melepas segalanya. Panas... sangat panas.

Tangan gemetar membuka kancing blusnya.

Pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan saat ia sedang menahan gelenjar aneh itu dengan hanya memakai dala man saja, tiba-tiba....

BRAK.

Pintu terbuka keras. Juragan Subagja berdiri di ambang pintu, terbelalak melihat sosok Ningsih dalam kondisi tak berdaya, sebagian bajunya terbuka, wajahnya merah, matanya setengah sadar.

"Ningsih... Astaga..." gumamnya, langkahnya maju satu-dua. "Kamu kenapa?"

Ningsih tak menjawab. Tatapannya kosong. Bibirnya gemetar. Tubuhnya tampak menggeliat, seperti menginginkan sesuatu tanpa bisa mengontrolnya.

Juragan Subagja diam di tempat, mencoba menahan diri. Tapi di saat yang sama, ada dorongan dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ditahan saat melihat pemandangan yang begitu indah dan menggiurkan itu.

Tanpa banyak bicara, pintu ditutup-namun lupa dikunci.

Di balik pintu yang sedikit terbuka, seseorang menyaksikan segalanya. Tante Erina.

Wanita itu melihat keanehan saat Ningsih keluar dari kamar kakak iparnya dan berlari menuju lantai atas. Ia pikir jika Ningsih sudah menjalankan tugasnya. Namun saat dirinya hendak memasuki kamar Subagja, ia dibuat terkejut ketika melihat pria itu juga keluar dari kamar dan berlari tergesa-gesa.

Penasaran, Erina mengejar pria itu. Hingga pada akhirnya, Erina menyaksikan sendiri sesuatu yang membuat dia tercengang.

Wajahnya memucat, matanya membelalak. Ia melihat Subagja menundukkan tubuhnya, dan Ningsih tak berdaya, membiarkan dirinya direnggut oleh pria yang seumuran dengan ayahnya.

Rahangnya mengeras. Napasnya memburu.

"Bang-sat...!!!" gumamnya tertahan.

Ia ingin menggerebek mereka dan berteriak supaya semua orang melihat kejadian itu. Namun hal itu malah akan membuat semuanya kacau. Belum lagi Indira yang pastinya bakal memilih pergi jika melihat sk a n dal yang dilakukan oleh suaminya di hari ulang tahun pernikahannya itu.

Dan jika itu terjadi, maka Erina akan kesulitan akses untuk masuk ke rumah ini dan menjalankan rencananya untuk merebut harta Subagja.

"Aku harus main cantik. Sial, aku yang harusnya tidur sama Subagja, kenapa jadi si Ningsih? Sebaiknya aku rekam saja untuk mengancam mereka," gumam Erina tersenyum menyeringai.

Tangannya merogoh ponsel, dan diam-diam mulai merekam. Suara er a ngan, de-sah, bisikan, gesekan kain, semuanya terekam jelas.

Ini bukan akhir, ini baru awal.

Tante Erina tidak bodoh. Ia tidak akan mengamuk saat itu juga. Tidak akan memukul atau menjerit. Ia akan menunggu waktu yang tepat. Video itu adalah senjatanya.

Ia akan menghancurkan keduanya. Jika Subagja tak bisa ia miliki, maka ia akan menyeretnya ke jurang bersama gadis miskin itu.

Malam itu, rumah mewah di kawasan Puncak menyimpan rahasia kelam yang tidak akan pernah disangka oleh Kemala.

Dan Ningsih, setelah kejadian malam itu, ia menjadi gadis pemurung. Dirinya tidak menceritakan pada Kemala karena takut sahabatnya akan marah. Namun ia juga tak berdaya karena setelah kejadian itu, Subagja-ayah Kemala jadi sering menemuinya dan melakukan hal tak senonoh itu.

"Juragan, jangan... Tolong jangan lakukan ini," ucap Ningsih sambil menangis.

"Jangan berisik, Ning. Aku akan memberikan apapun, asal bukan tanggung jawab. Kesalahan di malam itu sudah terjadi, dan kamu sudah memberikan mahkotamu padaku. Aku akan memberimu uang yang banyak, cukup pu*skan aku saat aku minta!"

Ningsih tak berdaya. Setelah malam tak terduga saat dirinya berada dalam pengaruh obat itu, ia kembali melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja, kali ini bukan karena pengaruh obat. Juragan Subagja juga mengancam Ningsih untuk tidak berbicara pada siapapun.

Dan 2 bulan setelahnya, terjadilah kecelakaan tragis itu. Kecelakaan yang merenggut nyawa Subagja dan juga istrinya.

Entah harus senang atau sedih, namun Ningsih kini harus menanggung semuanya. Ia dinyatakan hamil. Dan

Yang lebih membuatnya terguncang saat Erina datang ke rumah sakit untuk menjenguk ayah Ningsih. Disanalah Erina memperlihatkan sebuah video, dimana saat Subagja merenggut kesuciannya.

"Kasihan sekali kamu, Ning. Kamu hamil dan kini laki-laki yang menjadi ayah dari anakmu itu mati."

"Ini semua gara-gara Tante!! Aku akan membocorkan hal ini pada Kemala. Aku juga akan mengatakan bahwa Tante berniat untuk menyingkirkan Ibu Indira. Kemala mungkin akan membenciku, tapi dia harus tahu jika selama ini punya Tante Yang licik dan jahat! Tante gak bisa memanfaatkannya dan merebut hartanya!" tegas Ningsih penuh amarah.

Erina tertawa. "Hahhaa... Katakan saja jika berani! Karena kalau sampai itu terjadi, aku akan sebar video ini. Ya, awalnya aku memang ingin merebut Subagja, tapi sayangnya dia sudah mati. Sekarang kamu tinggal pilih, tutup mulut dan pergilah yang jauh, atau buka mulutmu tapi video ini akan aku sebar. Bukan hanya kamu yang akan malu, tapi keluargamu akan menanggung semuanya seumur hidup!"

DEGH.

Erina benar-benar jahat. Ancaman itu membuat Ningsih tak berdaya. Bahkan Ningsih pernah berniat untuk mengakhiri hidupnya. Untungnya saat itu ada Bu Imas, ibu kandungnya yang memergoki.

"Ya Allah, Gusti, Neng! Jangan melakukan itu. Dosa. Kamu sudah melakukan kesalahan, jangan menambah dosa lagi. Pergilah dan asingkan diri, ibu yang akan jaga bapak. Ibu pesan, jaga bayi ini baik-baik. Tolong jangan

Sampai melakukan ab*rsi, karena itu akan menambah dosamu!"

Itu adalah pesan terakhir ibunya sebelum akhirnya Ningsih benar-benar pergi dan mengasingkan diri. Dan kini, Kemala-sahabat yang sudah khianati datang menemuinya. Ningsih hanya bisa menangis, ia rela jika Kemala akan membencinya seumur hidup.

Langit sore menggantung kelabu di atas garis pantai yang tenang. Ombak menggulung pelan, menyapu kaki mereka yang berdiri diam di atas pasir. Angin laut membawa aroma asin dan suara camar sesekali menembus keheningan.

Ningsih, dengan perut yang mulai membuncit, berdiri mematung menatap lautan lepas. Tangannya menggenggam perutnya yang telah memasuki bulan kelima. Ia tampak rapuh, pucat, dan lelah. Namun dalam sorot matanya tersimpan keteguhan yang tidak ia miliki tujuh bulan lalu.

Di belakangnya, Kemala mendekat dengan langkah ragu. Matanya sembab, wajahnya belum sepenuhnya percaya bahwa semuanya nyata-bahwa sahabat masa kecilnya, satu-satunya teman yang ia percaya, ternyata menyimpan luka sedalam itu sendirian.

Ningsih baru saja menceritakan semuanya. Semua tanpa ada yang ditutupi. Ia mengaku salah dan meminta maaf pada sahabatnya. Namun ia bersungguh-sungguh, tidak pernah sekalipun berniat untuk berkhianat. Dan ia

Juga ikhlas jika Kemala ingin memenjarakan atau bahkan membunuhnya sekalipun.

"Kemala..." suara Ningsih pecah, pelan, seperti retakan halus di kaca bening.

Kemala menahan napas. Dadanya sesak. Ia telah mendengar semua cerita dari bibir Ningsih. Cerita yang mengubah hidup sahabatnya, dan merenggut seluruh rasa percaya dalam sekejap. Namun, ia juga tahu, sahabatnya bukan pelaku dia korban dari kelicikan, dari kerakusan, dan dari ayahnya sendiri.

Kemala kecewa. Sangat kecewa pada orang-orang terdekatnya yang selalu menunjukkan topeng manis. Ayahnya, tantenya... Semuanya bersikap seolah mereka adalah manusia baik dan setia.

Namun nyatanya. Keimanan seseorang bisa goyah hanya karena ambisi dan rasa rakus untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Dengan perlahan, ia mendekat. "Ningsih..."

Tubuh Ningsih gemetar. Air matanya mulai jatuh tanpa bisa dibendung. "Aku nggak ingin semua ini terjadi, La. Demi Allah, aku nggak pernah mau... Aku nggak tahu harus gimana. Aku pengin cerita dari awal... tapi aku takut. Aku takut kamu bakal benci aku. Aku telah menodai persahabatan kita, aku jahat, La. Aku benar-benar jahat!"

Kemala mengangkat tangannya, menyentuh bahu Ningsih. Perlahan, ia menarik sahabatnya ke dalam pelukan. Dan saat itu juga, tangisan keduanya pecah-di antara deburan ombak dan angin yang membawa bau laut.

"Aku marah, Ning... Aku kecewa, aku muak dengan semua ini..." bisik Kemala di antara isaknya. "Tapi aku nggak bisa benci kamu. Aku tahu... kamu korban. Aku tahu itu bukan salahmu. Kamu terluka... lebih dari siapa pun. Aku kecewa, kenapa harus tahu ini sekarang? Kenapa kamu nggak cerita dari awal? Mungkin aku memang akan membencimu, tapi setidaknya tidak akan sesakit ini."

Ningsih menggenggam lengan Kemala,

mencengkeramnya seolah takut sahabatnya benar-benar akan pergi. "Aku hancur, La... Aku terlalu lemah. Aku pikir dengan pergi, semua akan baik-baik saja. Aku akan merawat bayi ini sendiri, tapi nyatanya aku gak sanggup.

Setiap hari aku selalu dihantui rasa bersalah."

Kemala mengusap punggung Ningsih. "kamu kuat, Ning. Kamu bertahan sampai sekarang. Dengan kamu mau menjaga bayi ini, itu adalah hal yang hebat. Aku salut, Ning. Dan aku minta maaf atas kesalahan bapak. Mungkin tidak semudah itu kamu bisa melupakan, tapi kita sama-sama korban disini, Ning."

Mereka berdiri lama dalam pelukan itu, membiarkan air mata jatuh seperti hujan di atas pasir. Dendam, rasa malu, kecewa semua luluh dalam hangatnya pelukan dua sahabat yang pernah terpisah oleh skandal tak terduga.

Kemala menatap perut Ningsih. Perlahan, ia berjongkok, dan meletakkan tangannya di atas perut sahabatnya. Bayi itu bergerak pelan, seolah menyambut sentuhan kakaknya.

"Dia... adikku, ya?" gumam Kemala, setengah tak percaya. Matanya basah oleh air mata.

Ningsih mengangguk sambil tersedu. "Iya. Dia darah

Daging ayahmu. Maafkan aku, Kemala..."

Kemala memejamkan mata. Ada perih yang menyayat, tapi juga ada kehangatan yang pelan-pelan menyelinap masuk.

"Aku nggak akan biarin kamu sendirian lagi," katanya lirih. "Kita besarkan bayi ini sama-sama."

Tubuh Ningsih kembali bergetar. Tangisnya pecah, namun kali ini bukan karena takut-melainkan karena lega. Setelah sekian lama memikul beban seorang diri, akhirnya ia bisa membaginya. Akhirnya ia tidak sendirian lagi.

"Terbuat dari apa hatimu, Mala? Terima kasih, terimakasih sudah menerima anak ini," ucap Ningsih kembali memeluk sahabatnya.

Kemala diam, namun air mata itu terus berderai. Sulit untuk menerima kenyataan ini. Sulit untuk memaafkan. Namun ia juga tidak akan membiarkan orang lain menderita karena perbuatan ayahnya dahulu. Semua orang punya kesempatan untuk membenahi hidupnya agar menjadi lebih baik.

Mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Cahaya oranye membias di permukaan laut, menerangi wajah dua perempuan muda yang memeluk luka mereka dan mencoba merajut harapan baru.

Tama melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memperhatikan pertemuan haru itu sambil tersenyum. Kacamata hitam yang tersemat, menutupi matanya yang mengembun.

"Aku bersyukur karena Tuhan mempersatukanku

Dengan Kemala meskipun dengan cara yang seperti ini. Aku janji, akan mengungkap semuanya. Dan Erina... Wanita itu harus mendapatkan ganjaran atas perbuatan jahatnya! Siapapun yang berada dibalik Erina, akan menyesal karena telah berani mengusik kehidupan seorang Kemala!"

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!