NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:421
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian Pertama

Pagi itu, pasar Nurendah bergemuruh seperti lautan manusia. Jalanan tanah dipenuhi derap kaki, suara pedagang yang berteriak, dan hiruk pikuk tawar-menawar yang saling bersahutan. Bau ikan asin bercampur dengan aroma sate yang dibakar di sudut jalan, asapnya menari-nari di udara, membuat perut siapa pun yang lewat bergemuruh.

Al Fariz melangkah pelan di antara kerumunan. Jubah sederhana yang dipakainya sudah lusuh, jauh berbeda dari pakaian kebesaran Sultan yang dulu ia kenakan. Tak seorang pun menyangka lelaki berwajah letih itu adalah penguasa mereka. Dan memang, ia sendiri tidak ingin dikenali.

Tapi takdir sering kali tak memberi pilihan.

“Lihat siapa yang datang...” Sebuah suara kasar terdengar dari arah pintu pasar. Dari balik kerumunan, muncul empat lelaki besar bertubuh kekar dengan wajah penuh bekas luka. Mata mereka menyipit tajam ke arah Al Fariz. Mereka adalah preman pasar, orang-orang yang sering menindas pedagang kecil atas nama bangsawan yang membayar mereka.

Salah satu dari mereka, yang paling tinggi, menunjuk Al Fariz sambil terkekeh. “Bukankah itu... Sultan boneka kita?”

Kerumunan mendadak terdiam. Beberapa pedagang menunduk, pura-pura sibuk dengan dagangannya. Beberapa ibu menarik anak-anak mereka menjauh. Mereka semua mengenali wajah itu—ya, itu memang Sultan mereka. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Siapa berani melawan preman yang dilindungi bangsawan?

Al Fariz berhenti melangkah. Dadanya langsung berdegup kencang. Ia tahu ujian ini datang lebih cepat daripada yang ia bayangkan. Kata-kata pengemis tua langsung terngiang di kepalanya: “Setiap hinaan yang kau terima, setiap sabar yang kau tahan, itu adalah pukulan pada rantai segelmu.”

Preman tinggi itu melangkah maju, menatap Al Fariz dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. “Wahai, Paduka Sultan...” katanya dengan nada mengejek. “Apa kabar singgasanamu? Atau kau sekarang jadi pengemis, sama seperti rakyatmu?”

Gelak tawa terdengar dari mulut para preman lain.

Al Fariz merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal. Ia ingin membalas, ingin meninju wajah hina itu sampai remuk. Tapi ia menggertakkan gigi, menahan diri.

“Diam saja?” Preman kedua mendekat, mendorong bahu Al Fariz keras-keras hingga ia terhuyung. “Mana wibawamu? Bukankah kau dulu suka berteriak-teriak di istana?”

Tawa kembali pecah.

Rakyat yang menonton semakin cemas. Seorang pedagang tua menunduk dalam, bibirnya bergetar, tapi ia tak berani berbuat apa-apa. Mereka tahu, sekali saja mereka ikut campur, balasannya bisa fatal.

Preman ketiga meraih kerah jubah Al Fariz, lalu merobeknya. “Hahaha! Lihat, Sultanku berpakaian seperti budak pasar!” Ia melemparkan potongan kain itu ke tanah, lalu meludahinya.

Al Fariz menggertakkan rahang. Ia bisa merasakan wajahnya panas, dadanya sakit menahan amarah. Aku Sultan! Aku bukan mainan mereka! teriak batinnya.

Namun pada detik itu, ia kembali mendengar suara pengemis tua di dalam kepalanya: “Berani menahan hinaan lebih sulit daripada berani menghunus pedang.”

Preman tinggi itu lalu mendorong Al Fariz hingga terjatuh ke tanah. Debu menempel di wajahnya. Tawa para preman semakin keras, seperti cambuk yang menghantam telinga.

“Bangkitlah, wahai Paduka!” ejek mereka. “Atau kau lebih suka merangkak?”

Al Fariz perlahan bangkit, tubuhnya bergetar bukan hanya karena sakit tapi juga karena menahan diri. Ia menatap mereka dengan mata merah, namun mulutnya tetap terkatup rapat. Tidak ada balasan, tidak ada sumpah serapah.

Hening sesaat menyelimuti pasar. Rakyat yang menonton menahan napas. Mereka menatap wajah Sultan mereka yang babak belur, tapi tetap diam. Ada sesuatu dalam tatapan itu—bukan lagi sekadar kelemahan, tapi seperti bara yang tertahan.

Preman-preman itu saling pandang. Salah satunya mendengus. “Hmph! Rupanya Sultan kita memang pengecut.”

Mereka pun kembali mendorong dan menendang Al Fariz, kali ini lebih keras, sambil tertawa puas. Tubuh Sultan itu terhuyung, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya. Namun ia tetap tidak membalas.

Dan di dalam dadanya, ia hanya mengulang satu kalimat: “Aku harus bertahan... aku harus bertahan...”

Dalam hiruk pikuk pasar yang mendadak membeku, Sultan Al Fariz berdiri dengan tubuh babak belur, darah menetes dari bibirnya. Namun ia tetap diam, menahan diri. Ujian pertamanya baru saja dimulai, dan semua mata rakyat Nurendah kini menyaksikan seorang raja yang dipermalukan di hadapan mereka.

Derai tawa para preman masih menggema, menusuk telinga rakyat yang hanya bisa menonton. Beberapa anak kecil menangis dalam pelukan ibu mereka, tapi segera dibungkam karena takut suara tangisan itu mengundang perhatian.

Al Fariz berdiri dengan susah payah. Debu menempel di wajahnya, darah segar menetes dari sudut bibir. Namun sorot matanya masih menyala, tajam meski tubuhnya terhuyung.

Preman tinggi itu mendekat, wajahnya dipenuhi senyum menghina. Ia meludah tepat ke arah wajah Sultan. Ludah kotor itu mengalir di pipi Al Fariz, bercampur dengan darah dan keringat.

“Begitulah nasib seorang raja yang kehilangan taringnya,” katanya sambil terkekeh. “Kau hanyalah bayangan. Boneka. Bahkan rakyatmu sendiri tak sudi menolongmu.”

Kerumunan semakin menunduk. Ada rasa malu, ada rasa marah, tapi juga ketakutan. Mereka menyaksikan penguasa yang selama ini mereka hormati diperlakukan seperti sampah, namun tak seorang pun berani mengulurkan tangan.

Preman kedua menambahkan, “Hei, Sultan! Apa rasanya diinjak-injak di hadapan rakyatmu? Kau harusnya bersyukur, setidaknya kami tidak mengikatmu di tengah pasar seperti kambing kurban.”

Tawa kembali meledak. Salah satu preman mendorong kepala Al Fariz ke bawah, membuatnya hampir jatuh berlutut.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi.

Alih-alih marah atau melawan, Al Fariz menegakkan tubuhnya kembali. Perlahan, ia menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan. Lalu ia menatap lurus ke arah mereka. Senyum tipis—senyum getir namun teguh—muncul di wajahnya.

Para preman itu sempat terdiam. Senyum itu bukan senyum seorang pecundang, tapi senyum seseorang yang memutuskan untuk tidak dikalahkan.

“Kenapa kau tersenyum?” Preman tinggi itu bertanya, mendengus kesal.

Al Fariz menarik napas panjang, dadanya naik turun. Dengan suara serak namun jelas, ia berkata:

“Aku masih hidup.”

Suara itu lirih, namun cukup untuk didengar semua orang di pasar. Kata-kata itu sederhana, tapi seperti petir yang membelah langit. Rakyat yang menonton terhenyak. Beberapa bahkan tanpa sadar menggenggam erat pakaian mereka sendiri, menahan emosi yang tak bisa diucapkan.

Preman-preman itu saling pandang. Salah satunya mendesis, “Dasar gila. Kau sudah remuk, masih bisa bangkit.”

Tapi dalam hati kecil mereka, ada rasa tak nyaman. Mereka bisa menghina tubuhnya, bisa menodai wajahnya, bisa merobek pakaiannya. Namun mereka tak bisa meruntuhkan jiwa yang berdiri di hadapan mereka.

Al Fariz pun melangkah mundur, meninggalkan lingkaran preman itu. Kepalanya tegak, langkahnya goyah tapi pasti. Kerumunan membuka jalan, menatapnya dengan campuran rasa iba, hormat, dan kekaguman yang terpendam.

Tawa para preman masih terdengar di belakangnya, tapi bagi Al Fariz, suara itu kini hanya seperti dengung nyamuk yang lewat. Hatinya tetap membara, bukan karena hinaan, tapi karena tekad.

“Jika ini ujian pertama,” batinnya berbisik, “maka aku akan menanggungnya. Satu demi satu, sampai segel ini runtuh.”

 

Sultan Al Fariz berjalan pergi dari pasar dengan tubuh babak belur, namun dengan kepala tegak dan senyum getir. Ia telah melewati ujian pertamanya—bukan dengan pedang, tapi dengan kesabaran. Dan di balik rasa sakit yang ia derita, lahirlah sesuatu yang lebih kuat dari sekadar tenaga: jiwa yang tak bisa dipatahkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!