NovelToon NovelToon
Sisa-Sisa Peradaban

Sisa-Sisa Peradaban

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Misteri / Zombie / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Awanbulan

“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7

Menuju Toko Peralatan Rumah

Saya tidur dengan penuh harapan. Tidur nyenyak selama lebih dari sepuluh jam, lalu terbangun pukul enam pagi.

Cuaca hari ini sangat cerah.

Sekilas terasa seperti sebuah berkah untuk masa depan.

Namun, tidak. Itu hanya imajinasiku. Kalau memang masa depan menjanjikan, zombi tidak akan muncul sejak awal.

Sialan, aku sampai tertipu oleh matahari.

Aku menggigit ayam rasa keju kemasan vakum bersama sebatang kalori bar, lalu meneguknya dengan segelas air sumur.

Jika saja bisa menggunakan kompor, ragam hidangan yang bisa kubuat tentu akan lebih luas.

Ngomong-ngomong, aku sudah menyambungkan selang dari pompa tangan di taman ke jendela dapur, agar air bisa langsung mengalir ke bak mandi.

Air minum kusimpan terpisah dalam wadah khusus.

Kalau ada rezeki lebih, aku ingin membeli wadah yang lebih besar.

Setelah itu, aku mencuci muka, menggosok gigi, dan berganti pakaian seperti biasanya.

Ransel kupasang, tongkat bambu kuselipkan di ikat pinggang. Aku bersiap untuk berangkat.

“Ayo berangkat!” seruku dalam hati.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Hampir saja aku melupakan rokok di saku dada—barang paling penting, tentu saja beserta koreknya.

Aku mengecek keadaan sekitar, lalu masuk ke dalam garasi.

Meski disebut garasi, sebenarnya itu hanyalah garasi biasa dengan atap seadanya.

Aku berdiri di depan truk ringan.

Lampu bundarnya yang terlihat agak lucu itu mengingatkanku pada saat dulu pergi memancing bersama ayah.

Seingatku, truk ini kubeli sekitar masa aku hendak masuk universitas. Kalau dihitung, berarti sudah bertahan hampir lima belas tahun.

Bagian luarnya memang usang, tapi mesinnya masih berfungsi dengan baik. Tangki pun sudah kusiapkan penuh sejak terakhir kali diperiksa.

Aku menaruh ransel di kursi penumpang, lalu mengencangkan sabuk pengaman.

Suaranya bisa saja menarik perhatian zombi. Karena itu, aku menarik napas dalam-dalam, menyalakan mesin, dan segera berangkat.

Aku memanjat tanggul di belakang rumah, kemudian memutar setir ke arah berlawanan dari rute terakhirku ke minimarket.

Tidak ada zombi yang mengikuti.

Aneh, padahal biasanya cukup banyak berkeliaran di sekitar rumah.

Jika terus mengikuti jalan ini, aku akan sampai di jembatan besar di sebelah utara Banyuwangi.

Semoga saja semuanya berjalan lancar.

Seperti yang kuduga, banyak mobil terbalik dan terparkir berantakan di sepanjang jalan.

Tidak ada kendaraan dari arah berlawanan, jadi aku harus berputar ke sana kemari untuk menghindarinya.

Apakah para pengemudinya mati… atau sudah berubah menjadi zombi?

Aku menyalakan radio mobil, berusaha mengalihkan perhatian dari potongan-potongan daging yang berserakan di jalan.

“Jadi semua radionya juga hilang… hah?”

Saat aku mengutak-atik frekuensi, tiba-tiba terdengar suara.

Siaran darurat.

“Kepada semua yang mendengarkan ini, mohon untuk tidak keluar rumah. Berbahaya di luar ruangan. Hindari kegiatan yang tidak perlu dan tunggu di rumah sampai tim penyelamat tiba.”

Kalimat itu diputar berulang-ulang.

Hmm… berarti secara keseluruhan memang kacau.

Yah, aku yakin para pejabat punya tempat perlindungan sendiri. Mereka pasti sudah aman.

“Diselamatkan,” katanya. Diselamatkan dengan cara apa?

Helikopter? Mungkin, tapi orang yang harus diselamatkan terlalu banyak.

Kalau begitu, kapal feri? Dikawal TNI?

Apa pun caranya, itu jelas bukan sesuatu yang bisa dilakukan sekarang juga.

Kalau tidak boleh keluar rumah… apakah itu berarti kita harus mati kelaparan di dalamnya?

Bagiku, perjalanan ini adalah perjalanan darurat yang berguna. Jadi, tidak masalah!

Dalam perjalanan menuju jembatan, beberapa zombi muncul dari sisi jalan.

Mereka mengejarku sambil meraung entah apa, tapi setelah sekitar lima puluh meter mereka berhenti begitu saja.

“Hei, terlalu cepat menyerah. Tapi terima kasih, aku hargai itu,” gumamku.

Mungkinkah mereka memang kurang aktif di siang hari?

Atau mungkin mereka lebih suka tempat gelap… entahlah, tapi kesanku memang begitu.

Akhirnya aku sampai di jembatan.

Di sana, banyak kendaraan terbengkalai, dan di trotoar terlihat beberapa zombi berkeliaran.

Untungnya truk ringanku berukuran kecil, sehingga bisa bermanuver zig-zag dengan lebih leluasa.

Aku memanfaatkan penuh jalur berlawanan bahkan sampai trotoar demi melaju kencang menembus area itu.

Tiba-tiba—

“Oh tidak!”

Seorang anak SMA yang sudah menjadi zombi melompat keluar dari balik mobil van terbalik. Aku tak sempat mengerem.

Tubuhnya terpental, berputar ke samping, lalu jatuh ke dalam sungai.

Ups… kaca spionnya rusak.

Aku jadi penasaran, apa ada penggantinya di bagian aksesoris mobil di toko peralatan rumah?

Oh tidak…

Para siswa SMA… semoga kalian bisa beristirahat dengan tenang. Benar-benar, beristirahatlah dengan tenang…

Untungnya, aku berhasil menyeberangi jembatan itu.

Di atas sungai ini ada total lima jembatan. Suatu saat nanti, aku harus memeriksa kondisi masing-masing.

Tapi jembatan yang paling timur, yang mengarah ke jalan raya… sepertinya sudah tidak berguna lagi.

Mobil-mobil di sana terlihat berdesakan rapat, seperti tak ada celah sama sekali.

Aku berhasil melewati jembatan itu dengan selamat.

Belok kanan, lalu masuk ke jalan raya nasional.

Jika terus mengikuti jalan ini, aku akan menemukan toko peralatan rumah di sisi kiri.

Di perjalanan, aku melewati sebuah warung makan cepat saji penuh dengan zombi.

Terlalu ramai… sepertinya mereka muncul saat jam makan siang.

“Kalau memang begini, aku seharusnya makan lebih banyak tadi,” gumamku menyesal.

Berbeda dengan daerah sekitar rumahku yang relatif sepi, di sini zombi berkeliaran di dalam minimarket dan warung makan.

Apakah itu berarti semakin ke utara jumlah mereka semakin banyak?

Setelah berkendara beberapa saat, akhirnya toko peralatan rumah mulai terlihat.

Di tempat parkir luas di depannya, tampak beberapa mobil terparkir tak beraturan.

Aku harus berhati-hati dan memeriksa keadaan sekitar terlebih dahulu.

Dengan pertimbangan itu, kuparkirkan truk di tempat yang paling dekat dengan jalan, sekaligus paling jauh dari pintu toko.

Mesin kumatikan, lalu segera keluar dari kendaraan.

Sunyi. Tak ada satu pun zombi yang terlihat.

“Baiklah… ayo pergi,” bisikku pada diri sendiri.

Aku menyampirkan ransel di bahu, lalu melangkah perlahan menuju toko peralatan rumah.

Aku berdiri di depan toko peralatan rumah itu, dengan ransel di punggung dan tangan yang masih terasa gemetar ringan. Dari luar, bangunannya terlihat begitu biasa hanya sebuah toko besar dengan cat kusam, papan nama yang setengah pudar, dan pintu otomatis yang entah masih berfungsi atau tidak. Namun, dalam suasana dunia yang sudah berubah seperti ini, segala sesuatu yang tampak biasa justru terasa mencurigakan.

Langkahku melambat. Setiap detik terasa panjang. Tak ada suara manusia, tak ada tanda-tanda kehidupan normal. Yang ada hanya angin yang menyusup melewati celah-celah besi dan kaca, membawa aroma debu bercampur karat. Di kejauhan, sayup-sayup masih terdengar raungan samar zombi, meski tak satu pun muncul di area parkir. Hening semacam ini jauh lebih berbahaya ketimbang keramaian sebab hening berarti aku tidak tahu apa yang sedang menungguku di dalam.

Aku berhenti sejenak, menatap langit yang biru cerah seakan mengejek. Matahari bersinar hangat, begitu kontras dengan dunia yang sudah runtuh. Ironis. Cahaya yang dulu selalu melambangkan harapan, kini hanya terasa seperti lampu panggung yang menyinari reruntuhan.

“Apakah masih ada masa depan setelah ini?” pertanyaan itu muncul begitu saja. Radio darurat hanya menyuruh menunggu. Pemerintah mungkin sudah berlindung di bunker mereka, aman dengan makanan dan air tanpa kekurangan. Sementara aku dan mungkin jutaan orang lain harus bertahan hidup dengan caraku sendiri, berhadapan langsung dengan ketidakpastian.

Tapi, jika aku berhenti di sini, bukankah itu artinya aku sama saja dengan mereka yang menyerah?

Aku menghela napas panjang. Setiap langkah kecilku menuju pintu masuk toko ini bisa saja menjadi langkah terakhir. Bisa jadi di dalam ada alat dan perlengkapan yang kubutuhkan untuk bertahan hidup lebih lama… atau justru perangkap yang berisi puluhan zombi menunggu dalam gelap. Tidak ada yang bisa menjamin.

Tanganku meraih gagang pintu, dan aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih keras. Sunyi. Hanya detak itu yang kudengar, berirama dengan napas yang sengaja kutahan.

Apa pun yang terjadi setelah pintu ini terbuka, aku tahu satu hal: aku sudah melangkah terlalu jauh untuk kembali.

Dan di dunia yang sudah kehilangan wajah manusianya, kadang yang terpenting bukanlah seberapa lama aku bisa bertahan tetapi bagaimana aku memilih untuk tetap bergerak maju.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!