NovelToon NovelToon
Cinta Terakhir Setelah Kamu

Cinta Terakhir Setelah Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: Melisa satya

Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.

Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.

Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.

Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?

Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?

#fiksiremaja #fiksiwanita

Halo Guys.

Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ciuman pertama Dinda

Pemecatan secara tiba-tiba di lantai 5 membuat para staf terkejut. Bagaimana tidak, saat ini beberapa orang mantan karyawan keluar membawa sisa gaji mereka. Tak di sangka celetukan iseng akan berakhir menjadi mala petaka. Mereka telah menghadap berulang kali kepada Tristan untuk diberi kesempatan namun pemuda itu tampaknya tak ingin mengulang kejadian yang sama.

"Sebelumnya, saya sudah memperingatkan kalian untuk tidak mengganggunya. Dia memang hanya seorang sekertaris, mengakuinya itu urusan saya. Saya mau bertunangan dengan Dinda, berpacaran dengannya atau menikah sekalipun, itu tidak ada hubungannya dengan kalian."

Daren duduk menyimak, dia adalah mata-mata terpercaya Tuan Bagaskara.

Karyawan karyawan itu meninggalkan kantor, ada yang tertunduk lesuh, ada pula yang menahan tangis.

"Wow, ada apa ini? Bagaimana bisa staf di langit 5 di pecat secara bersamaan?"

Celetukan beberapa orang kini menciptakan obrolan yang tak ada habisnya.

"Apa, staf di lantai lima melakukan korupsi?"

"Jika itu terjadi, sungguh keterlaluan. Pak Tristan baru saja pergi selama satu minggu, dan sekarang mereka malah tak tahu diri mengambil keuntungan."

Beberapa staf yang mengetahui gosip yang sebenarnya memilih diam, mereka takut menjadi korban selanjutnya jika tak dapat menjaga mulut.

"Biarkan saja mereka, yang penting bukan kita yang dipecat oleh bos. Kembali ke ruangan kalian masing-masing."

Staf bubar, Daren melihat itu dan kembali ke ruangan Tristan.

"Bagaimana? Apa masih ada yang berani menggosipkan kami?"

Daren menggelengkan kepala.

"Anak-anak di lantai bawah hanya tahu jika orang-orang itu dipecat karena melakukan kesalahan dalam pekerjaan."

"Maksudmu?"

"Mereka dipecat karena korupsi dan segala macam."

Tristan merasa lega.

"Bagus, aku sungguh tak suka orang-orang bermulut besar, mulai sekarang jangan ragu memecat mereka jika ada yang sibuk membahas aku dan Dinda."

Daren bersiul, dia berdendang seolah mengejek.

"Ada apa?"

"Apa?" Daren pergi, dia tersenyum penuh makna membuat Tristan terus menatapnya.

Dering ponsel di atas meja berbunyi. Itu pesan dari Siska.

[Dia tidak mau makan, sepanjang hari aku sudah membujuknya tapi dia hanya melamun.]

Tristan masih ada satu pertemuan penting lagi.

[Bujuklah terus, hanya kamu yang bisa di andalkan. Aku akan ke sana jika pekerjaan sudah selesai.] Send.

Siska membaca pesan itu dan Tristan segera menyelesaikan pekerjaannya.

****

Di sisi lain.

Siska duduk di hadapan Dinda dan memintanya mencicipi makanan.

"Din, lu makan dong. Bukannya besok lu harus masuk kerja ya. Kalau lu nggak makan yang ada lu sakit."

"Aku kenyang, Siska. Aku akan makan saat aku lapar."

"Tapi lo belum makan apapun sejak pagi Din, sekarang lihat udah jam 3 siang. Kalau lu gini terus, gua nggak mau temenan lagi sama lu."

Dinda menghela nafas, dia pun duduk di lantai dan meraih sendok. Siska tidak menyangka jika ancaman nya ternyata berhasil juga. Dia segera membantu Dinda mendekatkan makanan berserta air minumnya.

"Habisin ya, pokoknya gua nggak mau tahu. Gua udah capek-capek masak, biasanya juga gua beli makanan jadi, lu tahu sendirikan. Tapi ini demi lu, Din. Gua sampai terjun ke dapur buat masakin lu."

"Terimakasih Siska." Dinda tak mau menyusahkan, dia memakan makanannya dalam diam, meski lidah tak merasakan apa-apa, gadis itu berusaha menelannya bersama pikiran yang terus melayang.

Sejak obrolannya dengan Tristan tempo hari, Dinda jadi tak dapat tidur tenang. Dia tak pernah tahu bagaimana nasib kembarannya selama ini, apa dia selamat atau telah tiada, yang pasti Dinda terkejut jika orangtuanya punya anak lagi.

"Makan jangan sambil melamun, kata nenek pamali." Dinda spontan menatapnya membuat Siska terdiam.

"Sorry, gua nggak bermaksud ...."

"Ngga apa-apa, nenek memang tidak suka melihat kita makan sambil melamun."

Siska duduk di samping sahabatnya itu.

"Setelah ini, lo ngga akan kemana-mana kan, Din? Lo akan tetap tinggal di rumah ini kan?"

"Ya, memangnya aku mau kemana? Aku tidak punya tujuan."

Dinda selesai, dia merapikan piringnya namun Siska segera merebutnya.

"Biar gue aja, oh ya, setelah ini kita ngobrol ya." Siska tersenyum dan segera membawa peralatan makan yang kotor masuk ke dapur. Semenit kemudian, gadis itu kembali dan menatap Dinda.

"Din, gue boleh nanya nggak?"

Dinda yang masih lemah kini menatapnya seolah pasrah.

"Tanya apa?"

"Itu, cowok ganteng yang gendong lo naik tangga kemarin. Dia jomblo?"

Dinda melamun.

"Dih, gue nanya kok bengong?"

"Maksudnya Pak Bos?"

"Iya, yang pakai jas putih."

"Iya, jomblo. Kenapa?"

Siska tersenyum.

"Kamu kenapa?"

"Ngga ada, gue cuman nanya, habis dia ganteng banget, Din. Dia juga gentle banget."

Siska asyik membicarakan Tristan, hal itu membuat Dinda otomatis memikirkannya.

"Lo denger nggak?" Sampai akhirnya dia menyadari satu hal, Siska juga mengagumi bosnya itu.

"Denger."

"Katanya, nanti dia mau ke sini kalau pekerjaannya sudah selesai, gue beres-beres kali ya, biar doi betah, hehe."

Dinda tak mengatakan apapun, sedang Siska bangkit untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

"Din."

"Ya."

"Di tempat kerja kalian masih ada lowongan nggak?" tanyanya.

Dinda mengerti maksudnya, Siska ingin lebih dekat dengan Tristan.

"Ngga tahu juga, Sis. Nanti aku tanya di bagian HRD."

"Thank you."

Dinda melamun, bayangan masa lalu begitu mengusiknya. Perlahan tapi pasti, dia juga penasaran dengan rupa adiknya. Benarkah dia punya saudara?

"Din, lo ngelamun lagi?"

Dinda terkejut, Siska menegurnya dengan cukup keras.

"Nggak, aku ngga apa-apa."

"Kayaknya lo harus balik kerja deh, kalau lo di rumah terus, yang ada kondisi lo semakin mengkhawatirkan."

"Aku tahu, aku akan kerja besok. Siska, aku istrahat dulu, terimakasih untuk makanannya."

"Oke."

Dinda masuk ke kamar dan berbaring, hanya di ruangan itu dia merasa damai, setidaknya Siska tak mengganggunya di sana.

Tepat jam 5 sore.

Siska yang gabut sejak tadi akhirnya tersenyum antusias. Daren dan Tristan kembali datang dan mengetuk pintu rumah.

Gadis itu segera membukakan pintu tanpa mengabari Dinda yang jatuh tertidur lena.

"Eh Pak Tristan, selamat datang Pak."

Tristan tersenyum menatapnya.

"Dimana Dinda?"

"Di kamarnya, lagi tidur. Tadi udah makan siang, saya paksa dulu tapi."

"Syukurlah."

Tristan masuk, begitupun dengan Daren.

"Duduk dulu, Pak. Saya buatkan minuman."

"Terimakasih."

Daren sibuk dengan ponselnya dan Tristan bangkit dari sofa setelah Siska menghilang.

"Mau kemana lo? Jangan kira gua ngga lihat."

"Aku ingin lihat keadaannya."

"Kamar tidur adalah privasi, lo lupa?"

"Nggak lupa, tapi kalau kita ke sini tanpa aku melihatnya, apa gunanya?" Daren melongo.

Tristan menjauh dan pemuda itu tak dapat menghentikannya.

Tak lama Siska datang membawa dua cangkir minuman.

"Loh, Pak Tristannya mana?"

Daren tampak kikuk, tidak mungkin dia berkata jujur pada gadis itu. Sangat memalukan jika mereka di hina karena tak memiliki sopan santun, bagaimana kalau Siska berteriak dan membawa warga mengarak mereka. Pikiran Daren kemana-mana, dengan cepat dia mencari alasan.

"Tadi di sini kan?"

"Iya, dia keluar kali."

"Hah?" Siska melangkah ke depan memeriksa keadaan, sedang Tristan menutup pintu kamar dan memandangi Dinda yang sedang tidur.

Entah mengapa, hanya memastikan sendiri keadaan Dinda membuat hatinya merasa tenang. Gadis itu terbangun, perasaan kuat ada yang memandanginya membuatnya terganggu. Saat dia membuka mata, Dinda hampir berteriak membuat Tristan sigap menutup mulutnya.

Gadis itu melotot, tatapannya takut dan Tristan menyadari itu.

"Jangan teriak, nanti Siska masuk," bisiknya.

Dinda menjauhkan tangan Bosnya dan terlihat lebih tenang.

"Kapan Pak Bos sampai?"

"Dari tadi, dari kamu ngorok suaranya berisik banget."

Dinda spontan menutup hidungnya dan itu terlihat lucu. Tristan tertawa dan Dinda menyadari jika Bosnya mengerjainya.

"Bohong! Nenek bilang aku ngga pernah ngorok!"

Tristan tertawa meski suaranya sangat pelan, Dinda melemparnya dengan bantal, kesal karena di perlakukan seperti itu.

"Ngeselin!"

"Hey! Bagaimana keadaanmu?" Mimik wajah pemuda itu berubah serius.

Dinda sampai tak nyaman melihat sorot matanya.

"Aku akan masuk bekerja besok."

"Benarkah?"

Dinda mengangguk.

Di luar dugaan Tristan mendekat lalu memeluknya. Gadis itu dibuat bingung namun juga pasrah mendapatkan ketulusan seperti ini.

"Maafkan aku soal kemarin, aku harusnya tak membahasnya."

Dinda diam merasakan punggungnya diusap lembut.

"Siapa namanya?"

"Apa?" Tristan melerai pelukan mereka.

"Nama saudaraku."

"Oh." Tristan tak dapat beralih dari dua bola mata indah itu.

"Kamu yakin ingin tahu?"

Dinda mengangguk.

"Namanya Airlangga Duaji."

Dinda seketika tertunduk.

"Hey, ada apa?" Tristan mengusap lembut lengannya.

"Tidak ada, nama yang bagus." Gadis itu mengambil ponselnya dan mencari nama Airlangga Duaji. Benar saja, profil sebagai anak tunggal keluarga Arman Duaji langsung terpampang.

Dinda menatap parasnya dan tertegun.

"Dia tampan."

"Tidak setampan diriku."

Dinda seketika menatapnya.

"Pak Tristan, jika Siska tahu kamu di sini, dia mungkin akan salah paham."

"Biarkan saja, mungkin Daren udah kasih tahu jika aku di sini."

"Pak Daren di sini?" Dinda segera turun dari tempat tidur, dia berdiri, bersiap keluar namun Tristan menariknya duduk di pangkuannya.

Posisi yang begitu intim membuat Dinda tercekat.

"Hush, jika kita keluar sekarang. Kita tidak bisa mengobrol leluasa."

Dinda bangkit dan menjauh.

"Tapi ini tidak pantas."

"Mengapa? Di Paris kita pernah tidur sekamar, tinggal di atap yang sama, makan bersama, dan ...."

Dinda menutup mulutnya. Tatapan Tristan seketika menatap gadis itu saat tangan lembutnya mendarat di wajahnya.

"Dinda Kanya Putri." Tristan menarik tangan gadis itu menjauh.

"Aku tahu sulit bagimu untuk percaya, tapi aku ingin serius padamu."

Tristan merogoh saku jasnya dan mengeluarkan cincin yang dia sematkan sebelumnya.

Dinda ragu dan mundur namun Tristan menariknya mendekat.

"Aku tak suka membuang waktu, tidak pandai berpura-pura. Aku mencintaimu, jika kau tidak percaya, tidak masalah, kita jalani saja dulu, yang pasti aku tidak mau orang lain mendekatimu." Cincin disematkan.

"Pak Bos, ini tidak benar."

"Kau mencintaiku." Dinda menggelengkan kepala.

"Aku tidak sedang bertanya, aku memberitahumu. Kau mencintaiku."

"Cih, pede sekali." Dinda akan membuka cincin itu namun Tristan bangkit dan berdiri di hadapannya.

"Percayalah, aku tahu kau juga mencintaiku. Aku bisa melihatnya dari matamu."

"Pak Tristan, tolong jangan kekanak-kanakan."

Cup!

Dinda akhirnya diam saat pemuda itu menciumnya tepat di bibirnya. Hal ini membuat Dinda membeku, dia tak marah, tak menolak dan juga tak mendorongnya. Tristan tersenyum dia mengambil kesempatan menciumnya lagi dan lagi, lalu mencium keningnya.

"See, kamu percaya sekarang?"

Gadis itu menutup mulutnya. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya dan Tristan tampak santai setelah mencurinya.

"Pak Tristan, itu ciuman pertamaku."

Bukannya kaget, Tristan justru tersenyum.

"Baguslah. Memang aku yang harusnya pertama, pantas saja rasanya begitu manis."

Dinda tak bisa marah, entah kenapa dia hanya mematung.

"Hari ini kita resmi bersama, kau mengerti kan?"

Dinda pasrah saat Tristan menarik tangannya keluar dari kamar. Muncul bersama dari dalam membuat Siska melongo melihatnya.

"Loh kok Pak Tristannya dari dalam? Bukannya Pak Daren bilang Pak Tristan lagi keluar?"

Tristan menatap Daren yang memalingkan wajah.

"Oh, aku baru saja melihat keadaan Dinda. Karena kamu bilang dia sedang tidur, jadi aku memastikan dia baik-baik saja. Rupanya dia sudah bangun."

Siska melihat sahabatnya. Dia baru tersadar jika gelang yang di pakai Dinda sama dengan gelang yang di pakai Tristan.

"Kalian ...."

Tristan melepaskan genggamannya.

"Rekan kerja," ucap pemuda itu mantap.

Dinda menatapnya dan Tristan hanya tersenyum.

"Kalian sudah makan? Bagaimana kalau makan malam nanti, kita keluar belanja? Kita masak-masak di sini?"

Dinda belum sempat bicara dan Siska sudah mengiyakan.

"Boleh, tentu saja boleh. Bukan begitu, Dinda?"

Gadis itu menatap Siska yang juga tersenyum ke arahnya.

"Ya, boleh."

Daren melihat suasana hati gadis itu yang tak menentu. Dia menoleh pada Tristan seolah menuntut jawaban namun Tristan menepuk pahanya.

"Keluarlah bersama Siska untuk membeli bahan-bahan. Aku dan Dinda akan menyiapkan alat masak."

"Dih, ngga ketukar itu lu ngaturnya?"

Tristan menatapnya 5 detik dan Daren langsung mengangguk setuju.

"Oke, kita belanja bareng, Sis."

Siska tersenyum.

"Oke, Pak."

Dinda menyadari satu hal, Tristan ingin hubungan mereka tidak diketahui oleh siapapun.

Berbeda dengan Dinda, wajah Tristan justru sangat bersinar. Dia semakin tampan dan Siska tak dapat mengalihkan pandangannya.

"Belilah daging, kita masak daging."

Siska senang mendengar itu.

"Wah, kapan terakhir kali aku dan Dinda makan daging ya."

Mendengar itu Daren dan Tristan terpaku.

"Nanti kamu boleh belanja sepuasmu, aku yang traktir," ucap Tristan.

"Asyik!!"

1
LyaAnila
nah emang betul itu. seperti kata ayahku dulu "kalau kamu salah, diam kalau nggak salah lawan." ya wajar kalau diam wong dia tau dia salah. itu artinya dia sadar diri. gimana sih heran gue sama pemikiran si Tristan ini/Angry/
Anyelir
kalau gini sih nyari penyakit sendiri namanya
Anyelir
sabar ya tristan
$ᑕĥ¡ẓน𝕣υ
mahkluk hijau bertaring itu loh din. kau tau kan din, yg klo muncul bikin jantung berdebar-debar 🤣
$ᑕĥ¡ẓน𝕣υ
gpp mah klo mikir yg gak gak, dripda trjdi yg gak gak kan/Grin/
Anul Pendekar
wkwk gass keluarkan pesonamu dindaa 👀🍿
Anul Pendekar
waduh bosnya ketauan manja dari kecil 👀🍿
👑Chaotic Devil Queen👑
Kenapa risih anjay? Tinggal pake headphone😃👊
👑Chaotic Devil Queen👑
Malas! Di saya gak cocok, pak. Saya gak suka ketemu manusia 🗿
Rezqhi Amalia
uhuyy sepertinya Mulu tumbuh sesuatu😂
Rezqhi Amalia
TDK prcaya ya😂
Rezqhi Amalia
cemburu ya😂
MARDONI
Hmm... gue curiga. Ini 'Nenek di rumah sakit' itu BENERAN, apa cuma 'Kartu AS' yang dikeluarin kalo kepepet?
MARDONI
​PAK TRISTAN INI DEFINISI BOS RED FLAG 🚩🚩🚩
ginevra
aduh Dinda jadi ke GE er an... namanya bos butuh sekertarisnya mah biasa kali Din ...
ginevra
gak usah sok berontak Napa tris.... udah baik Dinda mau perhatian sama kamu
ginevra
udah main pegang aja lu Din ....
LyaAnila
aduh Dinda Dinda mulai deh. tapi aku kok mencium bau-bau romansa bos dan sekretaris nya ni🤭
LyaAnila
tapi itu tandanya mulai peduli dong si bos anda kawan?
🌈 Bunga_Ros¹²⁴⁷
Mancung 😩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!