NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

“Omong kosong! Tak tahu malu kau, Surya!”

Tiba-tiba sang instruktur meledak, memecah keheningan yang menekan ruangan. “Ulahmu jelas! Dugaan penuh motif busuk, akhirnya kelihatan juga ekor rubahmu. Kau ini pengkhianat, budak Belanda, pendosa tanah air!”

Sambil berteriak, ia langsung mencabut pistol dari pinggangnya.

“Joko!” Mayor Wiratmaja menahan gerakannya dengan satu tangan, menepis moncong pistol agar tak diarahkan ke Surya.

“Mayor, apa kau tidak mengerti?” sang instruktur hampir berteriak histeris. “Bukti sudah jelas! Orang ini pasti dibeli Belanda! Dia sengaja menyebar kepanikan supaya kita meninggalkan benteng. Begitu kita kabur, Belanda tinggal masuk tanpa perlawanan!”

“Tapi kita tidak tahu itu!” jawab Wiratmaja, matanya menatap tajam.

“Mana mungkin pasukan kita sudah mundur total? Baru beberapa jam sejak serangan dimulai! Ingat, pasukan Divisi Militer dan barisan laskar rakyat juga ditempatkan di sekitar sini!”

Wiratmaja mengeraskan suaranya: “Kalau begitu, kenapa sampai sekarang tidak ada pesawat kita di udara? Kenapa tak ada tembakan dari luar? Kenapa kita tidak dengar kabar bala bantuan?”

Sang instruktur terdiam sejenak. Wajahnya menegang, lalu ia menoleh dengan suara yang lebih serius:

“Mayor Wiratmaja, jangan bilang kau percaya ocehan pengkhianat ini! Ingat, kau adalah ketua di sini. Para prajurit mempercayaimu, rakyat di luar sana bergantung padamu. Kau bertanggung jawab pada mereka, pada benteng ini, pada tanah air!”

Wiratmaja menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas:

“Aku bertanggung jawab, Joko. Justru karena itu, kita harus mencari kebenarannya. Jangan lupa, beberapa jam lalu pun banyak yang yakin Belanda tak akan berani menyerang dengan terbuka. Tapi lihat kenyataannya sekarang: pesawat mereka mondar-mandir di atas kepala kita, meriam mereka menghantam tembok kita, dan peluru mereka sudah merobek tubuh kawan-kawan kita.”

Wiratmaja berhenti sejenak. Tak perlu ia katakan lebih jelas, semua orang di ruangan tahu. Ia sendiri pernah hampir diseret ke meja pemeriksaan karena dianggap menyebar kabar palsu saat memperingatkan serangan Belanda.

Instruktur menahan napas, lalu mencoba membantah:

“Baik, aku akui kita salah menilai Belanda. Tapi itu tidak berarti ocehan pengkhianat ini benar! Tidak mungkin pasukan kita hilang begitu saja!”

“Kenapa tidak kita cari buktinya?” sela Surya, suaranya tajam menembus ketegangan.

Ia muak melihat instruktur seenaknya menuduh orang pengkhianat tanpa penyelidikan, apalagi sampai hampir menembaknya di depan umum.

“Tutup mulutmu!” bentak sang instruktur. “Kau tidak punya hak bicara di sini!”

Kalau bukan karena perlindungan Mayor Wiratmaja, mungkin Surya sudah lama diikat dan diseret keluar.

“Tidak, biarkan dia bicara,” Wiratmaja menahan. Ia menoleh ke seluruh ruangan. “Kita perlu kepastian. Kalau memang benar kita dikepung, kita harus tahu sekarang, bukan nanti saat sudah terlambat.”

Semua mata tertuju pada Wiratmaja. Ia kemudian memutuskan:

“Kita kirim regu pengintai. Suruh mereka menuju kota di belakang kita. Di sana ada markas militer dan barisan rakyat. Kalau mereka masih ada, kita bisa hubungi. Kalau tidak, berarti dugaan Surya ada benarnya.”

Beberapa perwira muda tampak gelisah. Semua tahu, keluar benteng di siang bolong sama saja dengan bunuh diri. Belanda pasti sudah menutup jalan dengan patroli dan senapan mesin.

Namun perintah adalah perintah. Tak lama, sebuah regu kecil dengan tiga truk lapis baja keluar dari benteng. Mereka melaju ke arah jalan menuju kota yang jaraknya puluhan kilometer.

Waktu berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti jam.

Akhirnya, lebih dari satu jam kemudian, deru mesin terdengar lagi. Ketiga kendaraan lapis baja itu kembali.

Namun kondisinya mengenaskan. Tubuh kendaraan penuh lubang peluru, kaca depan pecah berantakan, ban nyaris sobek.

Seorang perwira muda turun dengan kepala berbalut perban berdarah Letnan Timka, pemimpin regu pengintai itu.

“Mayor!” Letnan Timka yang masih berlumuran darah melapor dengan suara serak:

“Semua pintu keluar sudah diblokir, Mayor. Jalanan dipasangi truk-truk terbakar, jadi penghadang. Di timur, kami melihat sebuah tank Belanda menjaga jalur. Tidak mungkin kita bisa keluar dengan tergesa-gesa!”

Mayor Wiratmaja mengangguk pelan, wajahnya berat dan pasrah. Ia menepuk bahu Timka, lalu memberi isyarat agar sang letnan turun untuk dirawat.

Karena tak mungkin mengirim pengintai lagi, satu-satunya jalan mencari tahu keadaan luar adalah dengan menangkap tentara Belanda hidup-hidup. “Mereka pasti tahu lebih banyak daripada kita,” pikir Wiratmaja. Bahkan seorang kopral rendahan sekalipun pasti lebih paham kondisi pasukan Belanda di luar benteng dibanding mereka yang terkepung.

Ia lalu memberi perintah singkat:

“Hati-hati. Kalau bisa, tangkap beberapa orang hidup-hidup. Kita butuh keterangan mereka.”

Pasukan pun menunggu dengan tegang. Tapi tak lama, harapan itu buyar.

Tiba-tiba, dari arah barisan Belanda, suara pengeras terdengar. Suara itu berbicara dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa kental:

“Saudara-saudara di dalam benteng! Saya Kopral Yudho, bekas anggota militer Resimen Infantri ke-3! Kalian sudah terkepung! Tidak ada bala bantuan! Menyerahlah! Belanda menjamin keselamatan kalian kalau menyerah sekarang. Jangan buang nyawa sia-sia!”

Para prajurit sontak terpaku. Mereka saling pandang, wajah-wajah bingung bercampur geram. Mereka sadar, Belanda sengaja memaksa tawanan militer berteriak dari pengeras suara untuk mematahkan semangat perlawanan.

Sialnya, waktu munculnya teriakan itu justru memperburuk keadaan. Suara itu datang persis setelah Surya sebelumnya menyampaikan analisis yang sama.

Instruktur pun langsung menoleh, matanya menyala penuh kemenangan:

“Lihat! Apa kubilang? Kalimat mereka sejalan dengan ocehan pengkhianat ini!” ia menunjuk Surya dengan telunjuk gemetar. “Sekarang jelas sudah! Surya ini kaki tangan Belanda!”

Suasana ruangan mencekam. Surya menggertakkan gigi, menahan emosi. Ia tahu suara dari pengeras bukan kebohongan, melainkan kenyataan pahit. Tapi bagaimana ia bisa membuktikan kebenarannya?

Dan yang lebih gawat rencana menangkap tawanan pun tak ada gunanya lagi. Kalaupun ada, apa pun yang mereka ucapkan akan segera dituduh sebagai tipuan Belanda.

Instruktur semakin berani. Ia menatap Surya dengan tatapan membunuh.

“Apa lagi yang bisa kau katakan sekarang, hah?”

Surya hanya menoleh kepada Mayor Wiratmaja, berharap pada keadilan komandannya. Tapi kali ini pun Wiratmaja terdiam, wajahnya tegang.

“Lepaskan senjatanya!” seru instruktur sambil tersenyum penuh kemenangan. “Bawa pengkhianat ini keluar!”

Tak seorang pun berani menolak. Semua tahu apa arti “membawa keluar.” Di masa perang, tuduhan pengkhianat sama saja dengan vonis mati di tempat.

Surya hanya bisa mendesah panjang dalam hati. Ia tak menyangka perjalanan hidupnya akan tamat dengan cara sekotor ini. Ia mati bukan karena peluru Belanda, tapi karena fitnah orang sendiri.

Instruktur itu menyeret Surya keluar sambil menodongkan pistol di tangannya. Mereka menuju lapangan tanah lapang di sisi kanan markas tempat tubuh-tubuh prajurit sudah berserakan.

“Berlutut!” bentak sang instruktur, sambil melepaskan satu tembakan peringatan ke tanah.

Surya menatap tanah berdebu di hadapannya. Dadanya bergemuruh, tapi ia tetap diam.

Saat moncong pistol mulai terangkat ke arah kepalanya, tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah markas.

“Tunggu! Joko! Berhenti dulu!”

Mayor Wiratmaja berlari tergesa keluar, wajahnya tegang. Nafasnya terengah, tapi suaranya penuh wibawa:

“Kau harus datang dan mendengarkan ini dulu!”

1
Nani Kurniasih
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻lanjut Thor yg banyak
Nani Kurniasih
berasa ikutan perang
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!