karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Menuju Bab 1 (4)
Matahari masih terpapar di atas kepala, panas terasa menusuk meski langit mulai berawan.
Hari ini, Jumat tahun 666 bulan 6 tanggal 8, kucatat sebagai awal kami menentukan arah hidup menuju masa depan.
Sepuluh tahun mendatang, aku dan para protagonis kecil akan memasuki akademi. Kami berempat telah bertekad untuk berlatih sejak usia dini.
Usia kami memang berbeda tipis. James dan Natasya lebih tua satu tahun dariku. Aku berusia empat tahun, sedangkan dengan Ryan hanya terpaut enam bulan.
Kelak, sepuluh tahun kemudian, kami akan menjadi remaja akademi. Di situlah cerita utama Pe and Kob dimulai, sesuai premis dan outline yang pernah kutulis. Event prolog sudah terlewati—dan hari-hari selanjutnya bagaikan naskah kosong tanpa arah, seolah filler yang tak pernah kurancang.
Di bawah terik matahari, James dan Ryan berlatih pedang menggunakan ranting pohon. Sementara itu, aku dan Natasya mencoba memperdalam mana di bawah pohon rindang. Tanpa guru, tanpa pembimbing—kami berlatih secara otodidak, hanya berlandaskan pengalaman.
Namun ada perbedaan. James memiliki Ryan, pria yang datang dari masa depan. Aku tak tahu alasannya, tapi kuduga Ryan ingin mengubah nasib James—entah sebagai teman atau rival.
Sedangkan Natasya… dia memiliki aku, sang penulis dunia ini. Sebagai pencipta konsep pedang dan sihir, aku memahami dasar kekuatan lebih dari siapapun.
“Apa kamu bisa merasakan mana, Nasya?” tanyaku ketus, yakin kalau ia berbakat.
Natasya mengepalkan kedua tangannya, wajahnya berusaha memahami instruksiku.
“Hmm… gimana ya… aku nggak paham,” gumamnya.
Aku tersenyum, lalu mengajaknya duduk bersila.
“Coba kita semedi. Duduk seperti ini.”
Natasya menuruti dengan patuh.
“Terus apalagi…?” tanyanya polos.
“Perhatikan aku dulu.” Aku memejamkan mata.
“Inti mana itu ada di jantung. Rasakan panas tubuhmu. Bayangkan sesuatu yang kuat… atau menenangkan. Dari inti, biarkan mengalir ke seluruh saraf tubuhmu.”
Aku mencoba merasakannya. Sedikit sihir mengalir, meski belum ada reaksi nyata. Saat membuka mata—
“G-gila!!” seruku kaget.
Natasya sudah melakukannya. Duduk bersila, mata terpejam, rambut merah pendeknya terangkat oleh hembusan angin sihir.
Baru saja kujelaskan, tapi dia langsung bisa.
“Aku tahu dia berbakat, karena dia bagian dari protagonis… tapi sihir pertama yang kulihat darinya sungguh luar biasa.”
Tanpa rapalan, sihir itu muncul begitu saja—mungkin inilah bentuk mana alaminya.
Natasya membuka mata, terkejut merasakan sihirnya sendiri.
“E-ehhh…” ucapnya, lalu angin berhenti dan rambutnya jatuh normal kembali.
“Bagaimana kamu melakukannya?” tanyaku.
“A-aku nggak paham,” jawabnya sambil memainkan jari telunjuk. “Aku cuma merasa sejuk… seperti angin berhembus.”
Aku termenung, pikiranku bergolak.
“Mungkinkah sihir bekerja di alam bawah sadar? Saat berimajinasi, kita masuk ke alam bawah sadar, seperti melamun. Tubuh sadar, tapi akal melayang. Apa sihir adalah bentuk emosi terdalam manusia?”
---
“Lala!” panggil Natasya keras.
“Y-ya?” aku tersentak.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi aku manggil, nggak denger-denger.”
“Eh, maaf ya Nasya…” aku sungguh-sungguh meminta maaf.
Ia mengangguk.
“Aku coba sekali lagi,” kataku.
“...Aku perhatikan,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku memejamkan mata lagi, berusaha menyalurkan mana. Kali ini aku memilih rapalan sederhana.
“Feuerball.”
Api kecil muncul di telapak tanganku.
“Wahhh, kamu berhasil Lala!” seru Natasya dengan mata berbinar.
Aku menatap api itu. Kecil, sebesar api korek.
“…Kecil banget,” wajahku masam.
“Ihh, kamu! Yang penting bisa keluarin sihir dulu,” sahut Natasya sambil cemberut manis.
Aku menepuk pundaknya.
“Natasya, kamu itu terlalu berbakat.”
“E-ehh, Lala?” ia kebingungan.
Namun aku tahu, bakat seperti itu akan berbahaya jika dunia mengetahuinya terlalu cepat. Anak berusia lima tahun yang bisa menyalurkan sihir tanpa rapalan? Itu hal yang mustahil.
“Berjanjilah padaku, Nasya! Jangan gunakan sihir tanpa mantra!” kataku tegas.
“K-kenapa?” tanyanya polos.
“Nanti kamu bisa diculik orang!” jawabku cepat.
“Aku janji! Aku janji!” balasnya panik.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar keributan. James berteriak pada Ryan.
“B-bagaimana kamu bisa lakukan itu!?”
Aku dan Natasya hanya tersenyum melihat rivalitas mereka yang tak pernah membuat suasana sepi.
“Yah, bagaimana lagi…” batinku. “Ryan adalah pria dewasa dengan seribu pengalaman, meski kini terjebak dalam tubuh anak-anak. James tak mungkin bisa mengalahkannya.”
Namun senyumku perlahan pudar.
“Ryan… kamu misteri yang tak bisa kupahami. Kuharap kamu bukan musuh. Tapi jika iya…”
Aku menghela napas, menatap masa depan yang belum tertulis.
“Aku akan bersungguh-sungguh kali ini. Semoga kemalasanku hilang di dunia ini.”
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.