Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Sejauh kaki melangkah yang ada dihati tetap kamu.
Langkah Rayyan terhenti ketika matanya menangkap sosok itu. Di taman rumah sakit yang sepi, di bawah rindangnya pohon flamboyan, Hana duduk sendiri. Wajahnya pucat, namun tetap memesona dibalut hijab putih. Di tangannya tergenggam sekuntum bunga mawar merah yang sudah mulai layu, kelopaknya menunduk seperti kehilangan daya hidup.
Rayyan terdiam sejenak, hatinya bergetar hebat. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perlahan ia melangkah mendekat, mencoba menahan degup jantung yang semakin keras.
“Hana…” panggilnya lirih. Perempuan itu menoleh, seulas senyum tipis tersungging di bibirnya, namun matanya memancarkan kesedihan yang dalam.
“Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?” tanya Rayyan, suaranya bergetar, penuh kerinduan yang tak lagi mampu disembunyikan. Hana menunduk pada bunga di tangannya. Jemarinya mengusap kelopak layu itu dengan lembut, seolah merasakan luka yang sama.
“Aku hanya … bertanya pada diriku sendiri,” bisiknya lirih.
Rayyan menunduk sedikit, mencoba menangkap setiap kata. “Bertanya tentang apa?”
Hana menghela napas panjang, lalu menatap Rayyan tepat di matanya. Ada keberanian sekaligus luka di sana.
“Kalau aku kembali … apakah aku masih punya tempat di hatimu?”
Rayyan terhenyak, pertanyaan itu menohok tepat di jantungnya. Ia tak sanggup berkata apa-apa, hanya tubuhnya yang spontan bergerak maju, meraih kedua tangan Hana dengan erat. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, matanya menatap dalam ke mata Hana. Binarnya tak pernah padam, meskipun waktu dan keadaan telah menguji segalanya.
“Hana…” Rayyan berbisik, suaranya penuh getaran emosi. “Rasa ini … tidak pernah pergi. Bahkan saat dunia mencoba merenggutmu dariku, hatiku tetap memilihmu ... sampai detik ini.”
Hana terdiam, bibirnya gemetar. Senyum samar muncul, bercampur air mata yang nyaris jatuh. Rayyan menarik napas dalam, lalu berucap dengan keberanian yang akhirnya ia lepaskan.
“Kalau aku memilihmu … apa kamu bersedia ikut denganku? Kita mulai hidup baru. Kita buang masa lalu, kita tulis ulang semuanya dari awal, hanya kita berdua.”
Keheningan tercipta, hanya suara dedaunan yang berbisik diterpa angin. Hana tidak menjawab segera, hanya menatap Rayyan dengan senyum yang entah apa artinya. Antara keraguan, harapan, dan rasa sakit yang sulit dijelaskan. Rayyan menunggu, hatinya hampir hancur oleh penantian itu. Hingga Hana mengulum senyum tipis, bibirnya bergerak seakan hendak menjawab. Namun, seketika dunia runtuh. Cahaya taman memudar, suara alam menghilang, Rayyan terlonjak.
Matanya terbuka, yang ia dapati hanya langit Turki yang membentang indah di balik jendela apartemen tingginya. Pagi itu, mentari menyinari ruangannya, namun hatinya justru terasa kosong. Ia tersadar, semua itu hanyalah mimpi. Bayangan Hana yang selama ini mengisi malam-malamnya, tetap datang menghantui bahkan dalam tidurnya.
Rayyan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela dengan mata yang sendu. “Hana…” gumamnya lirih. Di balik ribuan kilometer jauhnya, Hana masih terbaring koma di rumah sakit. Dan ia hanya bisa berdoa, menunggu keajaiban agar suatu hari, pertanyaan dalam mimpinya itu benar-benar bisa terucap nyata.
Rumah sakit, Jakarta.
Ruang rawat VIP rumah sakit dipenuhi aroma antiseptik yang menempel di udara. Mesin monitor di sisi ranjang masih setia mengeluarkan bunyi teratur, tanda denyut jantung Hana stabil. Dua bulan sudah ia terbaring koma tanpa sekali pun membuka mata, membuat Jamilah, ibunya, hampir kehilangan harapan. Namun, hari itu Jamilah merasa ada yang berbeda.
Perawat masuk sambil membawa alat pemeriksaan.
“Bu, mari kita periksa lagi kondisi putri Ibu,” ucapnya dengan lembut.
Jamilah berdiri dari kursi, mendekat dengan tatapan penuh doa.
“Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Saya hanya ingin melihat mata anak saya terbuka lagi…” suaranya serak menahan tangis.
Dokter yang mengikuti perawat segera mengambil alih, memeriksa refleks saraf Hana dengan cahaya senter kecil. Beberapa kali cahaya diarahkan ke mata Hana. Lalu dokter memberi isyarat pada perawat untuk mencatat hasilnya.
“Ada respons … meski lemah,” gumam dokter.
Jamilah tertegun. “Respons? Maksud dokter…?”
“Bukan hal besar, tapi ada pergerakan pupil, itu tanda kesadaran bisa kembali kapan saja.” Air mata Jamilah menetes deras, tangannya gemetar ketika menggenggam jemari Hana. “Nak … dengar Ibu, tolong bangun, Ibu masih di sini menunggumu.”
Tiba-tiba, seolah suara ibunya menembus alam bawah sadar, jari-jari Hana bergerak sangat pelan. Perawat menahan napas, begitu juga Jamilah.
“Dia bergerak! Dokter, tangannya bergerak!” seru Jamilah dengan suara bergetar.
Dokter mendekat lagi, kali ini dengan wajah penuh fokus. “Ayo, Hana … coba buka mata…” ucapnya pelan, penuh harapan.
Beberapa detik terasa seperti selamanya. Lalu kelopak mata Hana bergetar, perlahan membuka sedikit demi sedikit. Cahaya putih dari langit-langit kamar menusuk matanya, membuatnya meringis.
“Ya Tuhan…” bisik Jamilah sambil terisak. “Anakku … kau sadar…”
Ruangan itu seketika dipenuhi haru. Perawat berlari keluar untuk memberi kabar pada bagian administrasi untuk memberitahu jika pasien Hana yang koma sudah siuman. Sementara dokter menenangkan semua orang agar jangan terlalu emosional dulu.
“Dia baru saja bangun, jangan dipaksa berbicara banyak. Biarkan dia menyesuaikan diri.”
Hana menatap sekeliling, matanya yang sayu menangkap langit-langit putih, lalu bergeser pada wajah ibunya. Senyum tipis terbentuk, meski wajahnya masih lemah. Itu adalah senyum pertama setelah dua bulan lamanya. Jamilah langsung menunduk, mencium kening putrinya berkali-kali.
“Alhamdulillah … Tuhan mengembalikanmu padaku…”
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Hansel masuk tergesa bersama Laudya yang menggendong bayi mungil berusia dua bulan. Mereka sebenarnya datang untuk imunisasi sang bayi, tapi memutuskan menjenguk Hana sekalian yang mereka kira masih dalam keadaan koma. Begitu masuk, Hansel terhenti. Ia melihat semua orang di dalam ruangan tersenyum. Dokter mendekat, berkata tenang, “Tuan Hansel, Nyonya Hana sudah sadar.”
Hansel membeku, matanya melebar. “Apa? Dia sadar?”
Laudya juga terkejut, hampir menjatuhkan bayi dalam pelukannya. Tubuhnya refleks memeluk lebih erat, seakan takut bayi itu direbut. Hatinya bergetar keras, campuran bahagia sekaligus takut. Hansel segera berlari kecil mendekati ranjang.
“Hana…” panggilnya dengan suara yang sudah lama dipendam.
Hana mengalihkan pandangannya, melihat sosok suaminya. Senyum lemah itu muncul lagi, kali ini bercampur air mata. Namun, tatapannya kemudian bergeser pada sesuatu yang digendong Laudya.
“Siapa … itu?” suara Hana serak, lirih, nyaris tak terdengar. Laudya tercekat, lidahnya kelu. Ia ingin menjawab, tapi suaranya terkunci.
“Siapa bayi itu?” tanya Hana lagi, kali ini menatap lebih dalam, menuntut jawaban. Keheningan mencekam memenuhi ruangan. Jamilah menatap Hansel, memberi isyarat agar ia yang menjawab. Hansel menghela napas panjang, menunduk sesaat sebelum akhirnya berkata pelan, “Itu … anakmu, Hana. Anak kita … dan Laudya yang merawatnya.”
Air mata Hana langsung mengalir, bukan karena sakit, tapi karena rasa yang tak bisa diungkapkan. Tangannya terangkat perlahan, berusaha menggapai ke arah Laudya.
“Boleh … aku melihatnya? Aku ingin memeluknya?”
Laudya terdiam, tubuhnya kaku, langkahnya tak bergerak. Hatinya seakan diremas-remas. Bayi itu sudah dua bulan berada di pelukannya, ia yang memberinya susu saat bayi itu haus bahkan tengah malam, mengorbankan karirnya sebagai artis beberapa bulan ini, menidurkannya, menenangkan tangisnya. Rasa sayang telah tumbuh begitu dalam, dan sekarang harus diserahkan kepada ibu kandungnya.
Hansel mendekat, menepuk lembut bahu istrinya.
“Sayang … biarkan Hana melihat anaknya. Hanya sebentar, tolong…”
Laudya menunduk, bibirnya bergetar. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia tahu ini saat yang seharusnya indah, tapi hatinya hancur. Dengan langkah gemetar, ia maju mendekat, menyerahkan bayi itu ke pelukan Hana. Hana menerima dengan tangan bergetar, mendekap bayi mungil itu erat-erat ke dadanya. Suara tangisnya pecah, penuh kerinduan yang tak pernah ia sadari.
“Anakku … akhirnya Ibu bisa memelukmu…”
Di sisi lain, Laudya berdiri kaku, menatap kosong. Air matanya terus menetes, seakan setiap detik bayi itu berada di pelukan Hana, hatinya semakin takut kehilangan. Hansel terjebak di antara dua dunia, kebahagiaan Hana yang akhirnya bangun dan bisa memeluk bayinya, serta kesedihan Laudya yang telah merawat bayi itu dengan sepenuh hati.
'Jangan ambil dia dariku ...' lirih Laudya dalam hatinya.