Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Mereka memperebut bayi kecil sementara ibunya sedang berjuang untuk hidup
Suasana tegang antara Hansel dan Rayyan mendadak buyar saat pintu terbuka lebih lebar.
“Assalamu’alaikum.”
"Waalaikumsalam," sahut Rayyan bersamaan dengan Hansel.
Suara berat seorang pria terdengar, dan diikuti langkah-langkah masuknya Rohana dan suaminya, keluarga Malik yang disegani. Namun bukan hanya mereka yang muncul, melainkan juga Alisa, ibunya Rayyan, yang tampak elegan namun terkejut begitu matanya menangkap pemandangan di depan.
Alisa melangkah pelan, menatap pada Hana yang terbaring koma.
“Jadi … ini maksudnya? Anak Jamilah … jadi ibu pengganti untuk Hansel dan Laudya?” ucapnya lirih, suaranya penuh keterkejutan bercampur dengan nada tak percaya.
Hansel tercekat, tak mampu langsung memberi jawaban. Laudya yang baru saja kembali dari pekerjaannya masuk kemudian, wajahnya menegang melihat kehadiran keluarga besar itu. Rohana mengangguk pelan atas jawaban iparnya.
Namun, kejutan lebih besar datang dari Rayyan. Dengan tatapan penuh keyakinan, ia berdiri di hadapan ibunya.
“Ma…” suaranya bergetar, “aku ingin mama melamar Hana untukku.”
Semua orang di ruangan itu membeku. Hansel menatap Rayyan dengan mata terbelalak, Laudya hampir kehilangan kata, Jamilah menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Rayyan, kamu sadar apa yang kamu ucapkan?” Alisa berbisik, nyaris tak keluar suara. “Hana sekarang istri orang, dia...”
“Aku sadar, Ma,” potong Rayyan dengan tegas.
“Aku mencintainya ... dan aku nggak bisa terus diam melihat keadaan seperti ini.”
Keheningan yang menyesakkan memenuhi ruangan. Namun, bukannya membicarakan ucapan Rayyan, Rohana justru mengalihkan perhatian pada hal lain. Ia menoleh pada Hansel dengan nada hangat, seolah mengabaikan badai yang baru saja melanda.
“Bagaimana cucu pertama Mama?” tanyanya.
Suaminya ikut menambahkan, “Apa sudah diberi nama? Kita harus memikirkan masa depannya dengan baik.”
Hansel terdiam, Rayyan menoleh pada keluarga itu dengan tatapan penuh luka. Bagaimana bisa mereka membicarakan nama dan masa depan bayi di depan ibunya yang masih berjuang antara hidup dan mati?
Dadanya sesak, rahangnya mengeras. Tak sanggup lagi mendengar, Rayyan akhirnya berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah berat dan hati yang hancur.
Hansel menatap punggung Rayyan yang menghilang, dan untuk pertama kalinya ia benar-benar mengerti. Ia mengerti perasaan Rayyan pada Hana. Rayyan keluar dari ruang rawat intensif dengan langkah besar, udara rumah sakit yang dingin tak mampu meredakan panas di dadanya. Nafasnya memburu, wajahnya tegang, matanya memerah menahan gejolak. Kalimat ibunya yang terkejut, lalu ucapan Rohana tentang cucu pertamanya, semua berputar dalam kepalanya.
“Apa mereka nggak punya hati?!” Rayyan mendesis, mengepalkan tangan. “Hana masih koma, bahkan belum tahu dia berhasil melahirkan atau tidak … tapi mereka udah sibuk mikirin nama bayi dan masa depan bayi itu!”
Dia berhenti di lorong, bersandar ke dinding, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Rayyan merasa seluruh dunia menentang hatinya. Hana wanita yang ia cintai diam-diam, kini menjadi pusat pertarungan antara ego, cinta, dan nasib.
Di dalam ruang rawat, keheningan terasa janggal setelah Rayyan pergi. Hansel menatap kosong pintu yang baru saja tertutup, sementara Laudya menarik napas panjang.
“Dia terlalu emosional,” gumam Rohana, seakan mencoba menutupi ketegangan. “Wajar, karena Hana wanita yang dia cintai," sela Laudya sembari melirik sang suami, diam diam wajah Hansel menegang.
Alisa menatap Rohana tajam. “Emosional? Anakku itu ngomong jujur dari hatinya. Apa Kakak pikir mudah buat Rayyan sampai bilang ingin melamar Hana di hadapan kalian semua? Itu bukan hal sepele.”
Laudya meremas ujung rok gaunnya, hatinya gamang. Mendengar Rayyan memohon ibunya untuk melamar Hana membuat dadanya panas, namun sekaligus tersadar betapa dalamnya perasaan pria itu. Selama ini ia kira hanya Hansel yang akan terus berdiri di samping Hana. Nyatanya, Rayyan juga tak pernah pergi dari sisinya.
Hansel akhirnya membuka suara, nadanya berat. “Aku … ngerti kenapa Rayyan marah. Aku pun merasa sama. Nggak seharusnya kita bicara soal nama bayi atau masa depannya sekarang, sementara ibunya masih koma.”
Rohana terdiam, suaminya menghela napas. “Kami hanya ingin memberi semangat, Hansel ... bayi itu harapan besar. Kamu Laudya harus menjaganya dengan benar,"
“Harapan besar buat siapa?” potong Hansel, nada suaranya meninggi. “Buat kalian? Atau buat Laudya? Harapan itu buat Hana! Karena tanpa dia, nggak ada bayi itu.”
Ruangan mendadak hening. Semua mata terarah pada Hansel yang berdiri dengan mata berkilat, tangannya mengepal di sisi tubuh. Beberapa jam berlalu, suasana rumah sakit mulai mereda. Jamilah kembali masuk setelah pulang sebentar, membawa pakaian baru untuk dirinya dan Rayyan. Namun ia terkejut mendapati Rayyan tak ada.
“Mana Tuan Rayyan?” tanyanya cemas.
Hansel menggeleng. “Dia pergi ... sepertinya nggak sanggup lihat suasana tadi.”
Jamilah menunduk, hatinya nelangsa, dia tahu persis isi hati pria itu. Ia tahu Rayyan sudah lama menaruh cinta pada Hana, meski tak pernah diucapkan dengan jelas. Dan kini, cinta itu meledak di waktu yang salah, di depan orang-orang yang salah.
Malam hari.
Hansel duduk di ruang tunggu, matanya sembab. Sejak Hana masuk koma, ia nyaris tak tidur. Dalam hati, ia merasa bersalah, meski tak bisa menyebut salahnya di mana. Ia menoleh ke arah inkubator bayi yang berada di ruangan kaca khusus. Bayi laki-laki mungil itu tidur tenang, seakan tak sadar betapa ributnya dunia orang dewasa di sekelilingnya.
Laudya datang menghampiri dengan langkah pelan. Tangannya membawa sebungkus roti dan termos berisi teh hangat.
“Kamu harus makan, Han. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan urus Hana sama bayinya?”
Hansel menerima roti itu, tapi hanya menatapinya. “Laudya … aku merasa gagal.”
“Kenapa bilang begitu?”
“Karena Hana harus menanggung semua ini. Karena aku biarin kamu, Laudya, dorong dia buat jadi ibu pengganti. Karena aku nggak bisa jaga dia sampai akhirnya koma begini.”
Laudya tercekat, kata-kata itu seperti pisau yang menembus dadanya. Namun alih-alih membela diri, ia hanya menunduk.
“Aku juga salah ... Aku yang minta, aku yang memaksa.”
Keduanya terdiam lama. Di luar ruangan, suara perawat bergema samar, terdengar bunyi roda troli dan instruksi dokter. Tapi di antara Hansel dan Laudya, hanya ada keheningan yang berat.
Keesokan harinya.
Rayyan baru kembali ke rumah sakit dengan mata sembab, wajahnya pucat, dia menghindari bertemu siapa pun, langsung menuju ruang Hana. Saat masuk, ia mendapati Hana masih terbaring sama, tubuhnya lemah, selang infus menempel di tangan mungilnya.
Dia duduk, menggenggam tangan Hana. “Bangunlah, Hana … Aku tahu kamu kuat. Kamu pasti bisa buka mata dan lihat bayi kamu. Jangan biarkan mereka ambil semua darimu. Jangan biarkan aku kehilanganmu.”
Air mata jatuh membasahi tangan Hana. Dan untuk sesaat, jari Hana bergerak sedikit. Rayyan terperanjat. “Hana? Kamu denger aku?” suaranya gemetar penuh harap.
Namun gerakan itu cepat hilang. Hana tetap terlelap dalam dunia komanya. Tak lama kemudian, Hansel masuk. Matanya bertemu dengan mata Rayyan. Seketika ketegangan kembali terasa.
“Kita harus bicara,” kata Hansel dengan nada tegas.
Rayyan bangkit berdiri. “Aku nggak ada urusan sama kamu.”
“Ada, Rayyan!” Hansel menahan bahunya. “Hana istri aku ... tapi aku tahu kamu cinta sama dia. Aku bisa lihat itu dari cara kamu jaga dia, dari cara kamu marah kemarin karena orang-orang tak menghargai Hana sebagai ibu dari bayi itu.”
Rayyan terdiam, rahangnya mengeras. Hansel melanjutkan, suaranya bergetar.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Tapi kalau suatu saat … kalau aku harus mundur … aku ingin tahu kamu orang yang bisa jaga Hana.”
Ucapan itu membuat Rayyan terperangah. Untuk pertama kalinya, Hansel mengakuinya perasaan itu, keberadaannya, dan kemungkinan bahwa cinta untuk Hana bukan hanya milik satu orang. Namun sebelum salah satu dari mereka menambahkan kata lagi, pintu kembali terbuka. Laudya masuk dengan wajah cemas.
“Hansel, Rayyan … cepat! Bayinya ... bayinya sesak napas!”
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊