NovelToon NovelToon
Obsesi Sang Ceo

Obsesi Sang Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta / Dark Romance
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Biebell

Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.

Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.

Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.

Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 — Pertemuan Tidak Terduga

Camelia melangkah masuk ke dalam kafe yang terletak tepat di seberang perusahaan besar itu. Aroma kopi yang baru digiling langsung menyambutnya, bercampur dengan wangi manis pastry yang baru keluar dari oven. Ia berjalan menuju kasir, memesan dua minuman dingin dan dessert untuk dibawa ke ruangannya.

“Take away ya, Kak?” tanya kasir ramah. Camelia hanya mengangguk, lalu menyodorkan kartu tanpa banyak bicara.

Setelah transaksi selesai, pelayan menunjuk ke arah deretan kursi tunggu kecil di samping kasir. Kursi itu sederhana, berbentuk sofa panjang dengan bantalan cokelat tua, hanya muat untuk tiga orang. Di depannya ada rak kecil bertuliskan Pick Up Counter, tempat barista menaruh minuman yang sudah jadi.

Camelia duduk dengan elegan, menyilangkan kaki sambil memainkan ponselnya. Dari sana ia bisa melihat jelas deretan barista yang sibuk meracik pesanan. Reyga dan Deon berdiri tidak jauh darinya, menjaga posisi di dekat pintu masuk, tidak ikut duduk agar tetap bisa mengawasi sekitar.

Beberapa menit kemudian, Camelia merasa bosan dengan ponselnya. Ia memilih mengedarkan pandangan ke sekeliling. Interior kafe dengan dinding bata ekspos dan lampu gantung industrial membuat suasananya hangat, cocok sekali bagi anak-anak muda yang datang untuk nongkrong. Camelia sempat berdecak kagum, lalu matanya berhenti pada sosok yang familiar.

Spontan ia berdiri, menajamkan pandangan. Dan begitu yakin, senyum lebar merekah di wajahnya.

“Mauren!” serunya penuh antusias.

Wanita yang dipanggil itu mendongak, kaget, lalu matanya berbinar. “Loh, Camelia?!”

“Ih, udah lama banget kita nggak ketemu!” Camelia langsung memeluknya dengan senang.

Mauren membalas pelukan itu dengan semangat. “Iya, lo ke mana aja? Nggak ada kabar sama sekali.”

Camelia melepaskan pelukan, wajahnya terlihat menyesal. “Gua udah ganti nomor, terus gua nggak hapal nomor lo. Sorry banget, ya …”

“Santai aja kali.” Mauren tersenyum, lalu menunjuk kursi di depannya. “Duduk dulu, kita ngobrol bentar!”

Camelia menurut. Ia duduk di kursi seberang Mauren. “Lo gimana kabarnya? Sekarang kerja di mana?”

“Kabar gua baik. Gua kerja di perusahaan tempat cowok gua juga kerja,” jawab Mauren sambil menyeruput minumannya. “Lo sendiri gimana?”

“Kabar gua juga baik. Sekarang gua kerja di perusahaan seberang.”

Mauren sontak menoleh ke arah gedung Miller’s Crop yang terlihat dari jendela kafe. “Serius lo kerja di situ?! Gila, keren banget. Gua aja beberapa kali daftar ke sana selalu mental!”

Camelia tertawa kecil, berusaha tidak canggung. “Ya … mungkin gua lagi beruntung aja.”

Mauren bersandar sambil menatap penuh rasa ingin tahu. “Posisi lo apa?”

Camelia sempat ragu. Tapi akhirnya ia menjawab jujur. “Sekretaris CEO.”

“Hah?!” suara Mauren cukup keras hingga membuat beberapa pengunjung menoleh.

“Shhh! Jangan kenceng-kenceng!” Camelia buru-buru melirik kanan-kiri sambil tersenyum canggung.

Mata Mauren membesar, jelas tak percaya. “Lo serius? Sekretaris CEO? Gila, hoki banget lo! Gua yang dulu ranking satu aja sekarang masih karyawan biasa.”

Camelia hanya tersenyum tipis. Dalam hati, ia sempat lupa kalau Mauren memang punya sifat crab mentality—senang membandingkan diri dengan orang lain.

“Eh, tapi lo kenal sama CEO-nya, ya? Atau dia sodara lo?” Mauren bertanya lagi dengan nada penuh selidik.

Tanpa pikir panjang, Camelia menjawab spontan, “Dia pacar gua.”

Begitu kalimat itu meluncur, Camelia langsung menyesali. Niat hati hanya ingin membuat Mauren semakin panas karena Camelia kesal dengan sikapnya yang tak pernah berubah, tapi itu malah membuat Mauren langsung heboh.

“Astaga! Pacaran sama anak tunggal keluarga Miller? Lo tuh bener-bener hoki maksimal, Mel!”

Sebelum Camelia sempat menimpali, terdengar suara seorang pria memanggil. “Sayang?”

Mauren langsung bangkit berdiri, menyambut pria itu dengan senyum manis. “Camelia, kenalin. Ini Adit, cowok gua sekaligus manajer di perusahaan.”

Camelia ikut berdiri, sedikit menunduk sopan. “Hai, gua Camelia. Temen satu kelas Mauren pas SMA.”

“Adit,” balas pria itu singkat, memberi senyum tipis.

“Nah, kebetulan cowok gua tadi ke toilet. Sekarang kita mau pulang dulu, ya. Semoga bisa ketemu lagi kapan-kapan.” Mauren melambai singkat sebelum beranjak pergi bersama Adit.

Camelia menatap punggung Mauren dan Adit sampai keduanya benar-benar menghilang di balik pintu kaca kafe. Ia kembali ke kursi tunggu, bersandar pelan sambil merapikan rambutnya. Pesanannya ternyata belum selesai; kafe hari itu cukup ramai.

Ia menarik napas panjang. Setiap kali berhadapan dengan Mauren, selalu ada rasa aneh yang tertinggal di dadanya. Bukan sekadar canggung, tapi seperti ada ketidaknyamanan yang sulit dijelaskan—mungkin karena sifat Mauren yang selalu membuat orang lain merasa dibanding-bandingkan.

Di tengah lamunannya, telinga Camelia menangkap suara berat seseorang dari arah kasir.

“Saya pesan rice bowl chicken teriyaki satu, sama air mineral satu.”

“Take away atau dine in, Pak?”

“Dine in.”

Camelia sontak mendongak. Suara itu begitu familiar. Pandangannya langsung jatuh pada sosok pria berperawakan tegap, kemeja biru lengan panjang digulung rapi hingga siku. Matanya membulat pelan. “Heksa …?” bisiknya hampir tak terdengar.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Mantan kekasihnya itu terlihat sama sekali tidak berubah—masih dengan senyum tipis yang dulu selalu berhasil membuatnya tenang.

Camelia buru-buru menunduk, berharap Heksa tidak melihatnya. Namun usahanya gagal. Tepat saat itu, barista memanggil namanya dengan suara lantang. “Orderan atas nama Camelia, sudah siap!”

Camelia tersentak. Ia bangkit cepat, meraih paperbag berisi dua minuman dan dessert miliknya. Namun sebelum sempat melangkah pergi, sebuah tangan menahan pergelangan tangannya.

“Camelia? Ini beneran kamu?” suara Heksa terdengar penuh keterkejutan sekaligus bahagia.

Camelia menegakkan tubuhnya perlahan, menatap pria itu dengan canggung. “Hm … iya. Maaf, Heksa. Aku harus pergi. Jam istirahat kantorku sebentar lagi selesai.”

Heksa menatapnya dengan sorot mata memohon. “Tidak bisakah kita ngobrol sebentar saja?”

Camelia menghela napas, menunduk sejenak. “Lima belas menit lagi jam istirahatku selesai. Aku nggak bisa lama.”

“Lima menit aja. Aku janji.”

Camelia sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. “Ya sudah …”

Heksa tersenyum lega, lalu menarik tangannya dengan lembut menuju kursi kosong di sudut kafe—tempat yang sepertinya memang sudah ia incar sejak tadi. Mereka duduk berhadapan, suasana sekitar mendadak terasa asing bagi Camelia, seolah hanya ada mereka berdua di sana.

“Kamu apa kabar?” tanya Heksa, senyum hangatnya sama sekali tak pudar sejak tadi.

Camelia menatap wajah itu sesaat, lalu menunduk, berusaha menetralkan perasaannya. “Aku baik, sibuk kerja aja. Kamu sendiri?”

“Aku juga baik.” Heksa bersandar, matanya tak lepas dari Camelia. “Nggak nyangka kita ketemu di sini, Mel. Setelah sekian lama …”

Camelia tersenyum tipis, tapi dalam hatinya muncul rasa campur aduk—antara senang, canggung, dan sedikit tertekan. Ia tahu, obrolan lima menit ini bisa saja membuka kembali kenangan yang sudah ia tutup rapat-rapat.

Heksa menatap Camelia tanpa berkedip, seolah tak ingin kehilangan kesempatan memandangi wajah yang sudah lama tak ia lihat. “Mel … kamu tahu nggak? Aku sering banget mikirin kamu. Kita putus terlalu mendadak waktu itu, aku bahkan nggak punya kesempatan buat jelasin apa-apa.”

Camelia menegang. Jemarinya meremas paperbag berisi pesanannya. Ia buru-buru menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Heksa, jangan bahas itu lagi semua sudah lewat.”

“Tapi aku nggak bisa pura-pura lupa,” potong Heksa cepat, suaranya merendah penuh emosi. “Kamu masih sering muncul di mimpi aku, Mel. Dan sekarang, ngeliat kamu lagi rasanya kayak takdir ngasih aku kesempatan kedua.”

Camelia terdiam. Pandangannya melirik sekilas ke arah pintu kaca kafe. Ia bisa melihat bayangan Reyga dan Deon berdiri di luar, wajah keduanya serius mengawasi. Jantungnya makin cepat berdetak. Jika mereka tahu ia bertemu Heksa, Nerios pasti akan mendengarnya. Dan itu bisa jadi masalah besar.

“Heksa, tolong …” bisiknya dengan nada panik. “Aku nggak bisa lama-lama di sini. Mereka di luar bisa curiga.”

Heksa mengerutkan kening. “Mereka? Maksud kamu siapa?”

Camelia menelan ludah, menunduk. Ia tidak mungkin jujur tentang statusnya sekarang, bukan? Jadi ia hanya tersenyum getir. “Teman kantor yang kebetulan lagi bareng aku.”

“Tapi kenapa cara kamu ngomong kayaknya kamu … dikawal?” tatap Heksa penuh selidik.

Camelia tersentak, buru-buru berdiri. “Aku harus pergi. Makasih udah nyapa aku, Heksa."

Namun Heksa ikut bangkit, menahan tangannya sekali lagi. Kali ini genggamannya lebih erat, nada suaranya penuh rasa sakit. "Aku boleh peluk kamu sekali aja? Aku takut kita nggak punya kesempatan untuk ketemu lagi."

Camelia melirik ke arah depan sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Ia membiarkan Heksa memeluknya dengan erat, aroma tubuh yang lebih maskulin dari yang terakhir ia ingat membuat Camelia teringat masa lalunya dengan Heksa—mantannya yang pernah ia cintai lebih dari yang lain.

Saat mereka akan melepaskan pelukannya, Camelia menatap kaget pada pria yang berjalan masuk dengan tatapan penuh amarah, pria itu dengan kasar menarik tangan Camelia ke arahnya.

"Aku kira terjadi sesuatu denganmu, tapi ternyata kau senang bertemu mantan kekasihmu ..."

Nerios panik karena Camelia lama sekalu kembali, ia mengira wanita itu kabur atau lebih parahnya terjadi sesuatu hal yang buruk, tapi saat Reyga mengirimi foto Camelia yang duduk berduaan dengan Heksa membuatnya bergegas menghampiri, dadanya sesak bukan main.

"Nerios aku bisa jel—

"Jelaskan semua ini di ruangan!" bentak Nerios sambil menarik paksa Camelia agar beranjak jalan mengikutinya.

Heksa tau siapa Nerios, jadi dia tidak bisa berbuat apa pun. Dia hanya menatap sikap kasar Nerios dengan amarah yang dirinya pendam. Jika bukan karena kekuasaan yang dimiliki oleh pria itu, mungkin dia bisa menahan Camelia agar tetap di sisinya.

Berikan dukungan kalian teman-teman!

Jangan lupa like dan komen

Koreksi aja kalau ada kesalahan kata atau typo ya!

Salam cinta, biebell

1
Satsuki Kitaoji
Gak nyangka bakal se-menggila ini sama cerita. Top markotop penulisnya!
Alucard
Baca sampe pagi gara-gara gak bisa lepas dari cerita ini. Suka banget!
MilitaryMan
Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!