“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.10
Diana makan siang dengan lahap. Rasa masakan Daisy benar-benar enak, jauh berbeda dengan buatan Ivana. Kalau boleh jujur, Diana lebih suka masakan Daisy—terasa pas, sedangkan masakan Ivana selalu ada yang kurang: kadang hambar, kadang terlalu asin, kadang malah manis berlebihan.
Bahkan kemarin, Diana sampai mengambil alih masakan Ivana dan membuang yang terlalu asin untuk menggantinya dengan yang baru.
Sesaat Diana termenung. Apa benar Daisy seburuk yang Ivana katakan? Pandangannya melirik ke arah Daisy yang tengah makan sambil bermain ponsel, lalu teralih pada box bayi di ruang tengah. Di sana, Vio yang sehat dan montok yang dijaga oleh Tyas.
“Tambah lagi, Bu?” suara Daisy membuyarkan lamunan.
“Tidak, sudah cukup. Mungkin besan ingin tambah?” tanya Diana sambil menoleh ke arah Jasmin.
Daisy mengulum senyum, ikut melirik ibunya.
“Tidak, Mbak Diana. Aku sudah kenyang. Kamu nggak lihat ini sudah piring kedua?” gerutu Jasmin pelan.
Mereka pun kembali makan. Jasmin sempat melirik Daisy yang tersenyum manis dan Jasmin seolah berkata, ‘Kamu, mau bikin timbangan Mommy naik, ya?’
Tapi Daisy sama sekali tak sadar. Ia malah berencana memasak lagi untuk makan malam, agar Diana bisa membawa pulang masakannya.
Tak jauh berbeda dengan Diana dan Jasmin, Niklas serta Damian di kantor pun makan dengan lahap.
“Masakan Mommy enak banget,” gumam Niklas, tanpa tahu kalau sebenarnya yang masak adalah Daisy.
*
*
Tak terasa, jarum jam menunjuk pukul empat sore. Diana begitu berat berpisah dengan Vio. Bahkan bayi itu menempel padanya, sampai-sampai Jasmin pun diacuhkan.
“Daisy, lebih baik kamu bikin lagi anak yang banyak!” titah Jasmin kesal.
“Dih, Mommy aja. Mommy masih cocok hamil, lagian Daddy kaya,” balas Daisy cepat.
“Ogah! Mommy nggak mau hamil lagi. Kontraksi sama melahirkannya sakit.”
“Lebih sakit aku lah, Mom. Bahkan aku melewati kematian lebih dulu.” Gumam Daisy.
“Apa?” Jasmin tertegun.
“Eh, nggak ada, kok Mom.” Daisy cepat-cepat mengalihkan.
Tak lama, Niklas tiba. Daisy sempat cemberut, sementara Jasmin langsung sigap menyambut suaminya.
“Mana Damian, Dad?” tanya Daisy.
Niklas sempat terdiam, lalu menoleh ke arah besannya. “Mungkin masih di kantor.”
“Daddy…” desis Daisy kesal. “Aku kan udah bilang jangan sampai suamiku lembur.”
Niklas buru-buru mengirim pesan ke Vano, menyuruh Damian pulang. Daisy masih menatapnya curiga, tapi akhirnya hanya tersenyum tipis.
“Sudahlah, Dad. Ayo mandi. Lebay amat kamu, baru juga beberapa jam nggak ketemu Damian udah kangen,” cibir Jasmin, menarik Niklas masuk.
Daisy memutar bola mata malas, lalu melamun. Ia teringat masa lalunya bersama Jasmin—dulu mereka sering bercanda, bahkan pernah tidur bertiga di ranjang dengan Niklas. Semua berubah sejak ia kuliah dan mulai terjerumus ke dunia klub malam bersama teman-temannya. Di sanalah awal pertemuannya dengan Andreas. Kenangan manis sekaligus pahit yang tak mungkin ia lupakan.
“Kamu kenapa?” tanya Diana lembut.
“Eh? Aku nggak apa-apa, Bu. Cuma rindu sama Damian.” Daisy tersenyum malu.
Diana ikut tersenyum. Perlahan, hatinya mulai luluh. Ia berdoa dalam hati agar Daisy benar-benar bisa membahagiakan Damian.
*
*
Sementara itu, Mia mondar-mandir di depan apartemen Andreas dengan wajah masam. Sudah berkali-kali datang, tetap saja tak bisa masuk.
“Sebenarnya, kemana sih dia?” gerutunya menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Ia mencoba membujuk satpam. “Pak, izinkan saya masuk. Saya kekasih Tuan Andreas.”
“Mohon maaf, Nona. Tuan Andreas tidak memberi izin siapa pun untuk masuk.”
“Dasar keterlaluan!” pekik Mia.
Padahal, orang yang dicari masih tertidur pulas di klub milik Riko setelah mabuk berat.
“Bos, ponselnya berisik. Dari tadi ada panggilan masuk,” keluh bodyguard.
Riko mengintip layar. “Mia lagi. Kasih alamat klub ke dia. Suruh jemput pacarnya sendiri, gue males ngurusin.”
Beberapa waktu kemudian, Mia tiba di klub Paradise. Tempat itu masih sepi karena baru buka malam hari. Dengan kesal, ia mencari Andreas.
“Dimana dia?” tanyanya ketus.
“Di ruang VIP nomor satu, Nona,” jawab pelayan.
Mia segera menuju ruangan itu. Begitu membuka pintu, ia mendapati Andreas tertidur di sofa.
“Andreas, bangun!”
Pria itu menggeliat lalu bergumam, “Sayang… Daisy, kamu datang. Aku tahu kamu nggak mungkin mengabaikan aku.”
Mia terperangah. “Daisy? Siapa Daisy?”
“Andreas!” bentaknya.
“Sayang, jangan teriak. Ayo kembali padaku, aku janji akan menikahi mu. Aku mencintaimu, Daisy…”
“Andreasss!” teriak Mia tepat di telinganya.
Andreas terbangun kaget. Pandangannya kabur, lalu menatap Mia yang penuh amarah.
“Siapa Daisy?” tanya Mia dingin.
“Bukan siapa-siapa.”
“Jangan bohong! Aku dengar jelas kamu sebut dia dengan panggilan sayang.”
Andreas memijit pelipisnya. “Sudahlah, Mia. Aku lagi pusing. Ada apa kamu ke sini?”
Mia melemparkan sebuah kartu hitam ke meja. “Itu! Kartumu sudah diblokir. Nggak ada gunanya lagi.”
“Apa?!” Andreas langsung terbelalak. “Serius?”
“Iya! Kalau nggak percaya cek sendiri!”
Dengan terburu-buru, Andreas menyeret kakinya menuju ruangan Riko. Ia meminta temannya mengecek kartu itu.
Riko menghela napas panjang. “Dre, ini kartumu error. Udah diblokir.”
“Coba sekali lagi!”
“Lo nggak percaya sama gue? Harusnya lo mikir kenapa bisa diblokir.”
Andreas terdiam. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia tahu persis siapa yang sanggup melakukan itu.
“Daisy…” desisnya pelan, penuh kebencian dia mengepalkan tangannya sampai kukunya memutih.
Kartu hitam itu kini terasa seperti penghinaan. Harga dirinya diinjak-injak. Dan dalam hati, Andreas berikrar—ia tak akan tinggal diam.
Bersambung ....