Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Bayangan yang Tertinggal
(Flashback – Dua Tahun Sebelum Wina Masuk)
Langit Wira Dharma sore itu mendung tipis. Mahasiswa lalu-lalang di pelataran kampus dengan jaket almamater setengah dikancingkan. Suara pengumuman dari speaker fakultas bergema samar di antara dedaunan yang bergoyang pelan.
Ale duduk sendirian di taman belakang, bangku batu yang waktu itu belum ditumbuhi lumut. Di tangannya, ada lembaran rundown ospek yang penuh coretan. Dia menarik napas panjang dan menunduk, jemarinya mengetuk pelan lututnya, seperti menahan amarah yang sudah lama berdiam.
“Sendirian terus, Le?” suara tajam datang dari arah belakang.
Ale menoleh pelan. Zara.
Perempuan itu mengenakan rompi panitia dengan penuh percaya diri. Langkahnya ringan tapi penuh kepastian, dan senyumnya seperti biasa, penuh maksud tersembunyi.
“Aku lagi mikir. Bukan saatnya nyapa,” sahut Ale dingin.
Zara duduk tanpa diundang di sampingnya. “Kamu selalu kayak gini. Serius, tertutup, susah diajak ngobrol.”
Ale menoleh padanya. “Aku susah diajak basa-basi. Bukan ngobrol.”
Zara tertawa pelan, seolah jawaban itu justru membuatnya semakin tertarik. “Tapi kamu panitia terbaik yang kita punya. Dan kamu tahu itu.”
“Panitia baik bukan buat disukai,” gumam Ale. “Cukup untuk kerja bener.”
Zara menatapnya lebih lama dari seharusnya. “Kamu tahu nggak? Aku suka kamu, Ale.”
Ale diam. Tak kaget. Tak tersenyum. Hanya mata yang menegang.
“Aku tahu,” katanya akhirnya.
Zara menunggu, berharap kalimat itu akan disambung. Tapi tidak.
“Aku tahu sejak lama,” lanjut Ale, pelan, nyaris sinis. “Dan aku juga tahu kamu bukan orang yang aku bisa percaya.”
Zara mencibir. “Kamu masih marah soal rapat fakultas semester lalu? Itu bukan salah aku, Ale. Semua orang sepakat waktu itu kamu terlalu... idealis.”
Ale bangkit. “Aku nggak butuh pembenaran.”
Zara ikut berdiri, mendekat. “Kamu benci aku karena aku jujur?”
“Bukan,” Ale menatap langsung ke matanya. “Aku benci kamu karena kamu pura-pura jujur. Kamu senang dilihat baik, tapi diam-diam menusuk dari belakang. Kamu suka dianggap paling tahu, tapi sering menyembunyikan fakta demi tampil sempurna.”
Zara tercekat. Kata-kata itu bukan kemarahan, tapi kebenaran yang telanjang.
“Aku bukan musuhmu, Ale.”
Ale menunduk, suara terakhirnya nyaris tak terdengar.
“Tapi kamu bukan orang yang akan aku titipkan kebenaran.”
Dan sejak hari itu, Ale menjauh. Tidak lagi menjawab chat, tidak datang ke rapat, bahkan saat Zara memaksa menyusul ke kosan, ia memilih pergi ke luar kota dengan alasan kunjungan dosen. Jarak itu tak pernah kembali utuh.
Wina membalik halaman catatan tua yang ditemukannya di sela buku-buku filsafat di perpustakaan siang tadi. Tulisan tangan Ale, rapi, halus, dan dalam:
“Jangan pernah titip kejujuran pada orang yang memperdagangkannya demi posisi. Bahkan cinta bisa dipalsukan, apalagi kepercayaan.”
Wina menutup catatan itu pelan. Dadanya sesak.
Kini dia mengerti… ada jejak luka di balik semua kelembutan Ale. Jejak yang belum tuntas. Jejak yang mungkin... masih mencari jalan pulang.
***
Bab ini menambahkan lapisan emosi dan konflik batin Ale, yang memperdalam misteri sekaligus menguatkan alasan mengapa Ale “bertahan” di antara dua dunia. Di sisi lain, Wina mulai terhubung tak hanya secara perasaan, tapi secara jiwa, karena ia perlahan menjadi saksi luka yang tak sempat ditutup.
Lanjutkan ke Bab 9 ya cuplikannya saja:
—di mana Wina dan Nayla mulai menyusuri jejak masa lalu Ale, membuka lapisan-lapisan kebenaran yang terkubur rapi di balik nama, dokumen, dan bisikan waktu. Bab ini penuh dinamika antara rasa ingin tahu, rasa takut, dan ikatan persahabatan yang makin kuat.
“Aleandro Reza Fatur,” gumamku pelan sambil menatap layar ponsel.
Pencarian Google tak menunjukkan hasil yang berarti. Tak ada akun media sosial aktif, tak ada berita mahasiswa berprestasi, tak ada unggahan apapun. Padahal, jika benar dia dulu aktif di kampus, pasti ada jejak digitalnya.
Kecuali jika... semua itu sengaja dihapus.
“Aku masih bingung,” kata Nayla sambil mengupas permen mint di sebelahku. “Kenapa kamu tiba-tiba pengin tahu soal kakak itu?”
Penasaran kan???
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup