Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Harapan dan Kehancuran
Malam itu, keheningan menyelimuti Benteng Blackstone, lebih pekat dari kabut terburuk yang pernah ada. Di dalam kamar yang tak mewah namun rapi, Liora Blackshade duduk di dekat perapian, wajahnya diterangi oleh cahaya api yang menari.
Noir berdiri kikuk, tubuhnya masih terasa asing dalam pakaian bersih, sebuah kemewahan yang ia tak pernah minta. Ia bukan lagi budak John Vale, melainkan milik seorang wanita yang auranya begitu kuat, seolah-olah ia adalah badai yang terperangkap dalam tubuh manusia.
Liora menatap Noir, suaranya begitu lembut, kontras dengan pedang yang tergantung di pinggangnya.
"Aku tahu kamu takut," katanya, suaranya memecah keheningan.
"Dunia ini... sudah sangat lama tak memberi belas kasih padamu, bukan?" Noir diam. Ia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu bagaimana merespons kebaikan yang terasa asing.
"Aku bukan orang baik, Noir," lanjut Liora, tatapannya tak melepaskan Noir.
"Tapi aku juga bukan monster. Aku tidak membeli budak untuk dijadikan mainan... aku membeli mereka yang patah, karena aku tahu rasa hancur itu seperti apa."
Sebuah pengakuan yang begitu jujur, menusuk relung hati Noir yang paling dalam. Noir mendongak, menatap Liora, dan di sana, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat di mata John Vale atau Geraldine: pemahaman, keteguhan dari luka yang tersembunyi.
"Seseorang tidak akan menyentuhmu tanpa izinku,"
Liora melanjutkan, suaranya kini terdengar seperti janji.
"Tapi aku akan memberimu pilihan. Mulai malam ini, kamu akan memilih... apakah kamu ingin hidup sebagai budak yang menunggu kematian, atau sebagai manusia yang ingin merebut kendali atas hidupnya kembali."
Liora bangkit, mengambil sepiring buah beri kering dan sepotong roti, lalu meletakkannya di dekat Noir.
"Makanlah. Istirahat malam ini. Besok, kita bicara tentang masa depanmu."
Kemudian ia melangkah ke sisi lain ruangan, memberi ruang bagi Noir. Malam itu, Noir makan, tidur, dan bermimpi. Ia memimpikan kebebasan, memimpikan hidup yang bukan lagi miliknya, tetapi miliknya sendiri.
Pagi itu, di kamar bernuansa ungu kelam, Noir membuka mata perlahan. Aroma parfum herbal dan bau besi yang samar menyelimuti udara. Semalam, suara lembut itu membisikkan harapan. Liora menyentuh pipinya, menyebutnya "tamu istimewa," dan berjanji akan merawat serta melindunginya.
Namun, pagi ini, yang tersisa hanyalah kesunyian, dan sebuah firasat buruk yang merayap di dalam dirinya.
Pintu terbuka. Liora masuk, masih dalam pakaian tidurnya, dengan mata tajam seperti pisau baru yang siap mengiris. Di tangannya, sebuah botol kecil berisi cairan hijau berkilau. Tanpa berkata-kata, dia duduk di sisi ranjang dan menyodorkan botol itu.
"Minum ini," katanya pelan.
"Kita mulai bermain lagi pagi ini."
Noir memandang cairan itu. Tangannya gemetar.
"Tuan... kau bilang aku bukan—"
Liora tersenyum tipis. Kali ini senyum itu bukan kehangatan, melainkan cerminan dari sesuatu yang busuk dan menakutkan. Sebuah senyum yang tak menjangkau matanya.
"Aku bilang banyak hal semalam, Noir. Dan kamu percaya? Dunia ini hanya punya dua jenis orang—yang menipu... dan yang tertipu."
Noir menunduk. Luka-luka lama yang nyaris mengering kini robek kembali. Kepercayaan, harapan, semua itu hanyalah tipuan.
Liora berdiri, berjalan ke rak berisi berbagai ramuan dan buku tua.
"Kalau kamu bertahan... kamu bisa jadi lebih dari sekadar budak. Mungkin... kamu bisa jadi monster yang pantas ditakuti," katanya, setengah mengejek.
Di sudut kamar, Noir menggenggam erat seprai. Dia menahan batuknya, menyembunyikan darah yang merembes di ujung bibir. Dalam diam... ia bersumpah. Jika dunia ini hanya memberinya dua pilihan, maka ia akan menjadi pisau paling tajam yang pernah ada. Ia akan menjadi monster yang Liora janjikan.