NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:538
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10

Pagi itu kicauan burung pagi terdengar merdu. Angin yang berhembus tidak terlalu kencang, cuaca juga tidak begitu buruk. Tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Suasana seperti ini sangat pas jika diiringi dengan sarapan satu teh atau coklat panas ditambah dengan roti ataupun nasi yang bisa mengenyangkan perut.

Seorang pemuda juga tengah meresapi keadaan ini. Dia terlihat bersemangat sambil membuat makanan. Senyum nya adalah senyum tulus yang jarang sekali orang bisa melihatnya. Revan hanya akan benar-benar tersenyum jika dia memang sedang ingin. Sayangnya sedang ingin Revan itu adalah kesempatan 1 dibanding 23. Setelah merasa bahwa masakannya sudah siap, Revan melepas apron miliknya dan menuju tempat lain.

Tempat yang dituju Revan tentu saja kamar saudara kembar identiknya. Maklum saja, adiknya atau Devan itu sulit untuk bangun pagi. Namun mata Revan kali ini menunjukkan sedikit keterkejutan. Dia bisa melihat Devan sudah bangun dan dengan seluruh kesadaran sempurna. Seorang Devano duduk sambil belajar. Ini adalah fenomena yang baru pertama kali Revan lihat seumur hidupnya.

"Terima kasih, Ya Allah atas mukjizat ini. Akhirnya adek kembar gue bisa gunain otaknya." Revan berkata sambil memasuki kamar Devan.

Mendengar kalimat itu, Devan sedikit kesal. Dia menggembungkan pipinya kesal dan kemudian bicara. "Kambing! Revano sialan emang selama ini lo pikir gue gaada otaknya?"

"Biasanya kan lo pake otot gak pake otak Dev." Revan menjawab seolah mengiyakan pertanyaan Devan.

Devan membolakan matanya. Mendengar jawaban Revan kekesalannya bertambah. "Masih mending gaada otak, daripada lo gak punya hati."

"Kata siapa? Ada kok. Cuma hati gue terlalu mahal buat di perlihatin ke orang lain." Revan menjawab percaya diri.

Devan mendecih. "Alah masa."

"Iyadong, tapi kalau kok lo dengan gratis gue liatin Dev." Revan menjawab sembari mengedipkan matanya pada Devan.

'Pletak'

Devan segera melempar Revan dengan pulpen yang tadi digenggamnya. "Najis kambing! Sana buruan ke bawah, nanti gue nyusul."

"Aw, barbar banget punya adek kembar. Ngegas mulu tiap harinya." Revan beranjak sembari mengelus-ngelus hidungnya yang tadi dengan sempurna mendapat lemparan Devan.

"Kayak sendirinya kagak suka ngegas aja." Ledek Devan setelah mendengar kalimat sang kakak.

Revan tersenyum jahil. "Gue gasuka ngegas, tapi sukanya elo Dev."

"Bilang kayak gitu lagi atau gue lempar pake buku sejarah hah?" Devan benar-benar sudah habis kesabarannya.

Menyadari Devan yang sudah sangat ganas, Revan segera melesat meninggalkan macan yang akan mengamuk. "Kabuuuuuuuuurrrrrrr!"

"Napa bisa para cewek suka sama dia sih." Batin Devan nestapa.

Kedua anak kembar itu pergi ke sekolah, setelah memakan sarapannya. Setelah beberapa menit, Revan dan Devan tiba di sekolah. Hari ini mereka akan melaksanakan simulasi ujian nasional. Tidak terasa waktu untuk ujian kelulusan semakin dekat. Semua murid tampak lebih sibuk dengan pembelajarannya masing-masing.

Revan berpisah dengan Devan, kini remaja itu menuju ke kelasnya. Tiga hari lagi dia, Devan dan teman-temannya akan melaksanakam ujian kelulusan. Waktu seolah berjalan dengan cepat.

"Mama pengen liat anak mama Revan yang jenius ini bakal segetar-getir apa pas ujian nasional nanti ya. Pengen deh mama liat wajah nistanya kamu Rev. Ayodong Rev, jangan cool terus bosen tau."

Revan tiba-tiba saja teringat masa lalu. Bagaimana sang Mama mengatakan keinginan anehnya waktu itu. Sifat Mama-nya sangat mirip dengan Devan. Baik gelagat, senyum ceria maupun tingkah laku miliknya. Sifat sang Mama hanya sedikit menurun untuknya, Revan lebih dominan memiliki sifat yang persis dengan Papa-nya.

"Mas Bro!!!!!!!!" Kian menyapa dengan sangat ramah, menepuk punggung Revan dengan sangat keras.

Revan memutar badannya, menghadap pada Kian. "Cari mati?"

"Ehehehe sorry Rev kelepasan nepoknya." Jawab Kian dengan cengiran khasnya.

Revan mendengus. "Kelepasan ya? Tangan lo gue bantu buat lepas dari bahu ya Yan."

Kian yang sadar tangannya sedang dipelintir oleh Revan berusaha melepaskan diri. "Anjir Rev, ampun woy ampun. Iyah tadi gue sengaja nepoknya keras bukan kelepasan."

"Lo bilang apa?" Revan semakin kesal.

Dari arah lain, ternyata Raka juga sudah tiba. "Kasian Rev anak orang tar mewek. Lumayan kan Kian masih bisa disuruh."

"Nih gua lepas." Revan melepas dengan sangat 'lembut'.

Kian mengelus lengannya dan menatap Raka tidak suka. "Makasih nambahin beban gua."

"Sama-sama bro." Jawab Raka. Kemudian dia bertanya. "Lagian napa lo cari gara-gara sama Revan, udah tau galaknya lebih dari Kim Jong Un."

Kian menjawab. "Habisnya dia tadi ngelamun sih, bukannya lanjut jalan malah berhenti di tengah-tengah. Nanti kalau kesambet yang repot satu sekolah. Ngelamunin apa lo Rev? Ngelamunin gimana caranya jadi Kian biar banyak cewek yang suka?"

"Halu banget lo Nyet!" Raka menoyor kepala Kian.

Kian balas menoyor. "Rakambing sialan! Terus kalau bukan ngelamunin itu, lo ngelamunin apa Rev?"

"Ngelamunin kenapa gue diciptakan sangat tampan." Revan menjawab penuh senyuman.

Raka dan Kian berhenti saling menoyor. Raka langsung membrondong Revan dengan pertanyaan. "Lo gak sakit kan Rev? Baik fisik terlebih mental dan jiwa?"

"Gue tanya balik ke lo Ka, mau pisau lipat atau gunting merah?". Revan menyeringai.

Raka langsung diam tak berkata. Sementara Kian sibuk menertawakan sang sahabat.

"Dah, masuk kelas cepet. Kalau gue sampe telat, kalian yang bakal gue 'nasehatin'."

Kian yang tertawa jadi berhenti dan segera menyusul Revan bersama Raka. Dia berbisik pada Raka. "Baru juga awal mau nge-prank ultahnya nih macan udah buas banget Ka."

"Kagak apa-apa gue yakin kita bisa kok." Balas Raka dengan pelan.

Untung saja mereka tidak terlambat. Pengawas simulasi ujian kali ini adalah Bu Sheila, The Killer Sensei. Kalau sampai mereka terlambat, tamatlah riwayat Raka dan Kian. Lalu Revan? Tentu saja dia akan mengamuk pada Raka dan Kian.

Sementara itu di kelas IPS mereka mendapat guru pengawas yang tidak terlalu ketat. Si kembaran Revan, atau kita panggil Devan terlihat tidak terlalu kesulitan. Proses belajarnya tidak mengkhianatinya. Ditambah Revan yang mengajarinya, dia menjadi lebih mudah untuk memahami mata pelajaran, apa lagi matematika.

Akhirnya simulasi ujian selesai semua. Para murid kelas IPS itu bersorak karena mereka pulang cepat. Ardli mendengus, mengeluh mengenai soal-soal yang menurutnya tidak manusiawi tadi.

"Surem amat muka lo Dli." Celetuk Devan.

Ardli menatap sahabatnya malas. "Emang lo kagak? Soal-soal tadi udah kayak ujian kehidupan aja tau gak?"

"Makanya belajar Dli." Jawab Devan apa adanya.

Ardli mendengus sebal. "Gue belajar kok. Sayangnya kapasitas otak gue kagak muat, gak kayak lo."

"Idih gak kayak Revan kali maksud lo. Kalau gue mah kapasitas otaknya 11-12 sama lo ah. Cuma gue berusaha biar bisa." Bantah Revan.

Ardli mencibir. "Ngikutin siapa tuh?"

Devan tersenyum. "Revan lah, kalau katanya tuh. Usaha gakan pernah mengkhianati hasil."

"Cieh lagi akur cieh." Ejek Ardli.

Devan mengerutkan kening. "Idih temen apaan gak seneng liat temennya akur ma sodaranya."

"Iyalah, soalnya gaada drama gratis yang bisa gua tonton." Balas Ardli tersemyum jahil.

Devan mencubit lengan Ardli keras. "Sialan dasar."

"Aw aw aw sakit Dev, lepas iyah maaf iyah aw. Itu Revan tuh udah nungguin lo." Ardli mengaduh.

Mendengar itu Devan melepaskan cubitannya. Dia membereskan tasnya dan meninggalkan kelas. Kalau Ardli dia menunggu mobil jemputannya. Ketika berjalan menuju keluar kelas Devan merasa kepalanya sedikit pusing. Mungkin ini efek karena akhir-akhir ini dia belajar keras.

Tanpa Devan sadari dari arah lain ada seorang siswi yang berjalan menuju Revan juga. Mereka bertabrakan membuat minuman yang dipegang siswi tersebut jatuh tumpah.

Kesal karena minuman yang akan diberikannya pada Revan tumpah. Siswi bernama Siska itu meneriaki Devan. "Kalau jalan tuh pake mata! Bisa liat gak sih lo?!"

"Perasaan yang nabrak duluan kan lo." Balas Devan acuh.

Siska mendengus. "Yang oleng duluan siapa? Kan lo? Tanggung jawab lo, minuman gue buat Revan tumpah semua."

"Baguslah, lagian gue yakin Revan gakan mau minum minuman itu. Lebih baik daripada mubazir." Jawab Devan dengan menyeringai.

"Dasar penyakitan lo! Bisanya ngerepotin Revan doang lo!" Siska membalas keras. Tidak lupa lengannya dia layangkan untuk menampar Devan.

Mendengar kalimat itu membuat Devan mematung.

Namun belum sempat lengan Siska menampar Devan, seseorang sudah menahannya dengan keras.

"Berani lo nyentuh Devan, gue gak segan-segan remukin tangan lo ini, sekalipun lo cewek berengsek!" Revan berucap dengan sangat dingin.

Siska gelagapan, sudah jelas dia tertangkap basah. "Rev, gue bisa jelasin."

Revan melepas pegangannya dan menjatuhkan Siska ke tanah. Dia menatap tajam dan dingin dari posisinya berdiri. "Bagi gue semua udah jelas, dan apa yang Devan bilang tadi bener sekalipun lo ngasih gue minuman termahal di dunia gue gak bakal minum."

"Woy, woy ribu-ribut apa ini?" Ketua OSIS baru atau Dafka datang menghampiri mereka.

Revan menatap sekeliling murid-murid yang menonton mereka. Selanjutnya Revan berkata dingin. "Bubar lo semua."

Ditatap sedemikian, membuat para murid yang menyaksikan takut dan menurut. Siska yang tidak mau terlibat dengan OSIS segera melarikan diri. Menyisakan Dafka, Revan dan Devan.

"Kak Revan sebelumnya saya minta maaf Kak, tolong jangan bikin ribut di sekolah Kak. Apalagi masih ada yang belum beres simulasi ujiannya." Dafka meminta dengan sopan. Bagaimnapun dia sangat tahu bahwa Revan sangat disegani di sekolah ini.

Revan berusaha menenangkan kembali dirinya. Dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf Daf, gue gak bermaksud bikin ribut kayak tadi."

"Iyah Kak, gapapa setelah denger cerita Kak Revan tadi saya ngerti. Mohon dimaklumi ya, soalnya Kak Siska anak salah satu komite sekolah disini. Jadi sedikit semena-mena." Balas Dafka ramah.

Setelah Dafka pergi, Revan memandang Devan yang masih diam dari tadi. Bertanya dengan sangat lembut. "Lo gak apa-apa Dev?"

"Gue gak apa-apa kok Rev. Maaf bikin lo kena marah sama OSIS." Devan menjawab.

Tatapan Revan menyendu. Dia tahu adiknya ini sedang berbohong. "Plis kasih tau gue yang sebenernya Dev."

"Apa bener gue cuma ngerepotin lo doang Rev? Gara-gara gue penyakitan ya?" Akhirnya Devan meluapkan semuanya.

Revan mengepalkan tangannya, berusaha meredam emosinya yang makin menjadi pada gadis tersebut. "Apa pernah gue ngomong kayak gituh ke lo Dev? Yang lo harus tau gue gak pernah sekalipun ngerasa direpotin sama lo. Lo satu-satunya keluarga yang gue punya Dev. Lo gak usah dengerin omongan orang lain. Dari dulu juga gue selalu bilang bahwa siapapun yang nyakitin lo, mereka bakal berurusan sama gue. Yang penyakitan tuh cewek tadi, udah sakit jiwanya dia."

Devan menghangat dan tenang setelah mendengar kata-kata Revan. "Gue selalu percaya lo kok Revano."

"Kita pulang aja yuk, sebelum ujan. Gue denger dari Ardli badan lo sedikit anget." Ajak Revan dengan lembut.

Setelah Revan dan Devan meninggalkan tempatnya, ada orang lain yang mendengar percakapan mereka tadi. Siswa laki-laki itu meninju kuat tembok di sebelahnya.

"Liat aja lo Devano, berani lo nyakitin cewek gua. Gue bakal bikin perhitungan sama lo."

Ketika tiba di rumah Revan langsung meraba kening Devan. Remaja berwajah dingin itu menghela nafasnya, Devan memang demam. Revan menyuruh Devan untuk membersihkan diri dulu kemudian beristirahat di kamar.

Revan dengan sabar menunggu Devan yang hanya memainkan buburnya. Meskipun hanya setengah, bubur yang masuk ke dalam perut Devan setidaknya adik kembarnya itu perutnya tidak terlalu kosong. Devan kemudian meminum obatnya.

"Gue bilang apa, belajarnya jangan terlalu keras. Demam kan." Revan mengacak surai Devan gemas.

Devan hanya memberikan cengirannya. "Hehe."

"Huha hehe mbahmu." Dengus Revan.

Devan menjawab. "Tapi gue yakin hasil ujian gue nanti bagus Rev."

"Iyah simulasi ujiannya, pas ujian aslinya gak bisa masuk gimana?" Ucap Revan memperingati.

Devan merengut. "Yah, gak gituh juga dong Rev."

"Makanya kalau kakak lo ngomong tuh didengerin, bukan masuk telinga kiri terus keluar telinga kanan." Petuah Revan pada sang adik.

"Widih Rev, omelan lo udah makin khas ibu-ibu aja." Cibir Devan.

Revan memutar bola matanya malas. "Nih bocah ngejawab mulu. Sekarang lo istirahat, gue mau siap-siap kerja. Awas lo nanti bukannya istirahat malah main game, mau gue sita Hp sama PSP lo selama 6 bulan sama gue?"

"Si emak ngancem dong. Iyah gue istirahat gakan nakal kok." Devan menjawabnya meski agak terpaksa.

Revan beranjak sambil membereskam mangkuk bekas bubur Devan. "Deal, lo tahu kan gue orangnya paling benci diboongin."

"Iyah, iyah sana pergi hush hush, kalau lo ngoceh mulu kapan gue bisa istirahatnya." Ucap Devan sebal.

Revan akhirnya pergi. "Met bobo, dedek."

"Sumpah gue yakin bakal mimpi buruk abis ngedenger lo tadi Rev." Devan meneriaki sang kakak yang hanya berlalu tanpa rasa bersalah.

.

.

.

.

.

.

Seperti biasa Revan sedang melakukan pekerjaan paruh waktunya. Hari ini pengunjung cukup lumayan, mungkin karena para murid kelas 1 dan 2 sudah ada yang diliburkan menjelang ujian nasional yang akan segera diadakan.

Revan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Para pelanggan datang silih berganti, hingga senyuman ramah Revan tiba-tiba saja memudar. Kali ini bukan Haris yang datang mencari masalah, ini adalah Om Arya yang merupakan suami dari Andrea.

Arya masih belum bisa mengenali seseorang yang kini sedang melayaninya. Beberapa menit setelah memesan, akhirnya dia mulai mengenali Revan.

"Revan, kamu kerja disini?" Tanyanya.

Revan balas menjawab. "Iyah om, udah lumayan lama."

"Rajin yah kamu." Puji Arya padanya.

Revan selalu tidak mengerti sejak dulu dirinya sangat tidak nyaman dengan Arya. "Lumayan buat nambah-nambah Om."

Arya mengerutkan alisnya dan hanya beroh. "Oh, gituh. Bagus lah jadi Om sama Tante kamu gakan terlalu banyak ngeluarin uang."

"Maksudnya Om?" Revan mencoba meminta penjelasan.

Arya tersenyum. "Jangan salah sangka dulu Revan. Maksud Om tuh baik, jadi kamu sama adek kamu bisa belajar buat gak bergantung sama orang lain terus. Apalagi adek kamu."

Bagaimana Revan tidak salah sangka, kalimatnya ini saja sudah menjelaskan semuanya bagi anak itu. "Maaf Om, kalau Om emang keberatan karena dana yang udah dikasih Tante Andrea ke kita, secepatnya bakal Revan ganti. Kalau perlu Revan bakal minta ke Tante Andrea buat berhenti ngasihanin Revan sama Devan, segera Om."

"Apa sih kamu Rev? Om gak bilang gituh. Jangan bikin Om sama Tante kamu berantem kenapa?" Arya berusaha mencegah hal yang akan dilakukan Revan.

Namun remaja itu tidak menjawab, dia malah mengatakan kalimat lain. "Hidangan Om udah jadi, silahkan dibawa dan dinikmati di meja makannya Om."

Sekarang sudah waktunya tutup, tapi perkataan Arya tadi selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Revan membuang sampah dan menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Revan sudah tahu, sejak dulu Arya memang tidak pernah menyukainya apalagi Devan. Semuanya terus bertambah semenjak orang tua mereka meninggal.

"Ngelamun mulu, nih minum dulu dinginin tuh kepala." Seniornya di tempat kerja menempelkan minuman dingin di pipinya.

Revan mengambil es kopi tersebut. "Makasih Kang Aksa."

"Sini sebelum balik ngobrol-ngobrol dulu bentar." Aksa mengajak Revan duduk di dalam. "Ada masalah?"

Revan menghela nafasnya. "Ada Kang, hari ini juga nambah lagi."

"Masih muda, banyak banget masalah idup kamu Rev." Aksa tertawa sambil meminum kopinya.

Revan hanya tersenyum canggung. "Ya gituhlah Om, kadang saya pengen marah sama takdir. Perasaan saya mulu yang kena sial."

"Ngaco kamu Rev Hahahaha. Tapi kalau gituh, saya juga dulu pernah. Tapi akhirnya saya ngerti semua orang gaada yang bisa minta takdirnya pengen kayak gimana. Alhasil kita cuma bisa ngejalaninnya dan berusaha ngelakuin hal-hal sebaik mungkin." Aksa memejamkan mata, sedikit mengingat tentang kisah masa lalu. "Ada sebuah studi yang bilang kalau manusia pada umumnya akan mengalami masalah atau bertarung sama dirinya sendiri waktu umur mereka 23-25 tahun. Saya sendiri ngerasain gimana prosesnya. Ngeri emang."

Revan tiba-tiba saja bertanya. "Emangnya Kang Aska kenapa?"

"Waktu itu saya menikah di usia 23 tahun, saya punya satu istri yang cantik. Nggak lama istri saya mengandung, tapi waktu proses mau lahiran saya harus milih salah satu dari mereka. Akhirnya saya memilih anak saya, karena mengingat istri saya yang begitu memperjuangkannya. Anak saya lahir, selama setahun dia sehat. Tapi lagi-lagi takdir berkata lain, anak saya dinyatakan hilang nafas, karena ada penumpukan udara di paru-parunya."

"Maaf Kang, saya gak maksud." Revan merasa bersalah karena menanyakan hal tadi.

Aksa menggeleng. "Gapapa kok. Saya lanjut lagi, sambil nostalgia masa lalu. " Kemudian dia melanjutkan. "Waktu itu saya persis kayak kamu, marah-marah, ngamuk-ngamuk. Ngomong kenapa dan kenapa harus saya yang ngalamin ini? Terus saya merenung, saya keinget satu kalimat. Tuhan gakan ngasih ujian di luar batas kemampuan umatnya. Waktu itu saya ngebulatin tekad daripada merenungi kesialan-kesialan saya, saya berusaha ngelakuin hal-hal sebaik mungkin setiap harinya. Sampai istri saya yang sekarang datang. Karena saya yakin semua akan indah pada waktunya Rev."

"Saya takjub Kang." Revan berkata dari dasar hatinya.

Aksa tertawa. "Segitu takjub? Justru saya yang balik takjub sama kamu. Kenapa bisa anak seumur kamu kuat ngejalanin semuanya? Saya yang waktu itu diatas dua puluhan ngeluhnya melebihin kamu. Makanya kamu harus percaya sama saya, kalau kamu pasti bisa ngejalanin semua ini Rev."

"Saya harus kuat buat adek saya Kang. Dia satu-satunya keluarga yang saya punya." Balas Revan dengan senyum canggung.

Aksa terkekeh melihat tingkah malu juniornya. "Bagus. Jagalah dengan baik apa yang kamu punya sekarang, karena kita gakan tahu takdir akan ngebawa kita kemana. Setidaknya kita tidak akan menyesal karena sudah melalukan yang terbaik."

"Makasih Kang, saya selalu nanemin kalimat Kang Aksa di diri saya." Balas Revan dengan ramah.

Aksa melihat jam dinding, waktu sudah sedikit larut. "Gih pulang, biar saya yang nutup. Adek kamu pasti nungguin. Ini es krim dari saya buat adek kamu itu. Meskipun kalian kembar, tapi saya liat adek kamu emang lebih gemesin dan kekanakan. Saya angkat jadi adek saya aja gimana?"

"Eh? Eh? Ga boleh Kang! Devan adek saya gaada yang boleh ambil pokoknya!" Revan membalas dengan offensive.

Aksa kembali terkekeh. "Becanda. Lagian mana berani saya ambil dari kakaknya yang galak ini."

"Hehe sorry Kang. Kalau gituh saya pamit Kang."

Setelah pamit Revan menaiki sepeda motornya dan pulang.

.

.

.

.

.

Entah kenapa saat ini muka Revan 'Ngegas' sekali. Hari ini dia sedang rapat final persiapan acara perpisahan sekolah, sementara besok sudah waktunya ujian Nasional. Revan ingin rasanya memaki si ketua OSIS yang baru karena memberikan jadwal yang seperti ini. Sayang Raka melindunginya.

"Jadi di acara perpisahan nanti bakal siapa aja yang kita undang udah di fix belum Daf?" Tanya Raka di sela rapat.

Dafka menyahut. "Udah Kang Raka. Kita bakal ngundang Band lokal satu dan Band Nasional satu sebagai tamu utama. Terus ada beberapa anak kelas 1,2 dari IPS dan IPA bakal ikut ngisi acara juga."

"Spesifik mereka ngisinya?" Kali ini Revan sebagai sang ketua panita perpisahan sekolah bertanya.

Annisa sebagai wakil memberi penjelasannya. "Ada yang nampilin band, dance, sing, drama, calung, stand up juga."

"Udah pada lo semua pastiin dananya cukup? Baik buat seluk beluk peralatan acara ataupun konsumsi nanti? Inget para siswa dateng sama orang tua mereka. Pastiin apa yang mereka bakal tampilin emang cocok dan gak melenceng dari konsep." Setiap perkataan Revan diperhatikan seksama baik oleh OSIS maupun panitia.

Kian mengangkat tangannya. "Semua dana udah dipastiin cukup. Tim-tim yang akan tampil udah sesuai sama konsep."

"Sebentar Rev." Kali ini Raka yang mengangkat tangannya. "Rasanya gak seru aja kalau mereka cuma ikut partisipasi doang, gimana kalau dijadiin lomba aja? Ini juga bisa nambah keseruan dan ningkatin keinginan mereka di ekstrakulikuler mereka masing-masing?"

Revan menganggukkan kepalanya. "Gue suka sarannya Raka. Panitia atau OSIS lain ada yang keberatan? Kalau emang ada yang keberatan mending jujur dari sekarang, gue gamau kalau nanti pas hari H kalian kerjanya karena terpaksa."

Faizal wakil ketua panitia mengangkat tangannya. "Apa gak terlalu mendadak diubah ke lomba? Kasian yang bikin hadiahnya nanti Kang."

"Oh buat itu, Zal lo gak usah khawatir beberapa anak kelas 3 termasuk kita sendiri seudah UN kan senggang, tentu bakal kita bantuin. Kita gakan nyerahin semuanya ke anak kelas 1 dan 2 kok." Raka memberikan klarifikasi.

Revan menyetujuinya. "Ada lagi yang mau menyampaikan sesuatu?"

Mewakili yang lain, Dafka menjawab. "Gaada Kang, kita tinggal persiapan aja."

"Kalau gaada, kita akhirin rapat ini. Inget kalian bakal capek dari sekarang, jaga kesehatan, jaga pola makan, jangan sampai sakit. Gue gak mau gara-gara ini  banyak dari kalian yang jatuh sakit. Karena kalian semua tanggung jawab gue." Ucap Revan sebelum mengakhiri rapatnya.

"Siap Kang Revan!" Jawab mereka serempak.

Sekarang di ruangan rapat hanya menyisakan Raka, Kian, dan Revan. Entah kenapa Raka dan Kian merasakan firasat buruk. Mereka saling memandang satu sama lain, sebelum melakukan persetujuan untuk kabur bersama.

Tetapi dengan santainya Revan menarik tas mereka berdua hingga membuat Raka dan Kian kembali duduk.

"Kenapa Rev? Masih mau perhatian sama kita ya?" Tanya Kian cengegesan.

Raka mengiyakan. "Kiw. Gak kebayang tuh anggota panitia yang cewek pasti pada fly dikasih perhatian kayak tadi. Cieh udah bisa ngardus lo sekarang Rev."

"Kurdas kardus. Jangan geer lo pada. Gue gak ngeliat singa depok masuk list." Revan menyeringai.

Kian menegang, Revan itu orang yang memegang kata-kata. "Ah dana, dana kalau kita ngadain itu juga dananya gakan cukup. Bener kan Ka?"

"Nah iya, pinter tuh si Kian tumben." Raka ikut berusaha menyelamatkan diri.

Revan memandang mereka malas. "Bisa aja lo berdua cari alesan. Untung gue lagi mode baik."

'Emang kapan lo pernah mode baik Rev?!' Raka dan Kian membatin serempak.

"Sebagai gantinya, traktir gue makan siang selama dua bulan." Revan berlalu setelah menepuk bahu mereka berdua.

Di sisi lain Devan sudah selesai belajar bersama dengan Ardli. Sahabatnya itu meminta Devan untuk mengajarinya sebelum perang sesungguhnya besok. Karena kebetulan Revan ada rapat dulu, dengan senang hati Devan mengajari sahabat super pelitnya ini. Untung saja Ardli tidak akan pelit kalau sedang ada maunya.

Devan dan Ardli masih asyik mengobrol. Lebih tepatnya Devan mengoceh banyak hal pada Ardli. Tapi  itulah salah satu hal yang Ardli sukai dari Devan. Namun obrolan asyik mereka terintrupsi oleh beberapa murid laki-laki yang datang menghampiri.

Ardli mengernyit, dia segera memasang pose siaga. Ardli merasa cukup familiar dengan mereka.  Geng berandal di sekolah yang ketuanya adalah anak salah satu komite sekolah juga, Bara.

"Ada urusan apa kalian?"  Tanya Ardli galak.

"Santai bro, kita gaada urusan sama lo. Kita ada urusan sama bocah yang namanya Devano." Jawab salah satu dari mereka.

Devan yang merasa terpanggil, memandang mereka tajam. "Apa urusan kalian sama gue?!"

"Oh gak selembek yang kita duga ternyata. Kalau emang lo berani ikut kita ke belakang sekolah." Jawab salah satu dari mereka.

Ardli meperingatkan Devan. "Gak usah Dev, jangan didengerin."

"Ngapain gue harus ikut kalian?" Devan langsung menolak.

Mereka menjawab acuh."Oke kita semua bakal ngejadiin Revan buat jadi bulan-bulanan ngegantiin lo."

Devan langsung menggebrak meja. "Gue ikut kalian. Tapi jangan sentuh Revan."

"Devano, lo udah gila!" Ardli menolak keras jawaban Devan.

Mereka menyeringai. "Lo emang bukan pengecut ternyata."

"Dev, gue nolak. Woy Devano!" Ardli berusaha menyusul Devan namun dia ditahan salah satu dari mereka.

'BUG'

Ardli langsung terhuyung saat perutnya dipukul keras oleh orang yang menghalanginya.

Karena Devan yang sudah tidak mungkin lagi disusul, Ardli kini berusaha mencari keberadaan Revan untuk memberitahukan hal yang terjadi.

Untung saja baru melangkah beberapa, Ardli sudah melihat tiga sekawan kelas IPA itu menghampirinya dengan ekspresi khawatir.

Raka langsung bertanya. "Oy Dli, lo gapapa?"

"Gue abis dipukul orang." Jawab Ardli sambil menahan sakit.

Kian cukup terkejut. "Kok bisa? Siapa?"

"Gengnya Bara." Ardli menggeleng. "Sekarang bukan waktunya ngekhawatirin gue. Rev, Devan dibawa sama mereka ke belakang sekolah!"

Revan sangat syok mendengarnya. "Devan kenapa?"

"Rev, lo ada masalah apa sama si Bara?" Tanya Raka.

Revan mencoba berpikir. "Gue gatau yang namanya Bara. Yang punya masalah sama gue kemarin itu cewek brengsek yang namanya Siska."

"Anjir, dia ceweknya!" Kian baru mengingatnya.

Ardli kembali menjelaskan. "Mereka bilang bakal bikin perhitungan. Kalau Devan gak ikut, lo yang bakal dibikin babak belur."

Mendengar itu Revan sudah tidak bisa menahan emosi dan rasa khawatirnya. Dia bergegas mengendarai sepeda motornya dan menggasnya maksimal.

Raka bisa melihat bagaimana sinar mata Revan menyiratkan kemarahan. Emosi Revan itu sulit terkendali. Dia takut sampai sahabatnya itu melakukan hal yang gegabah.

"Yan lo temenin Ardli sampe jemputan dia dateng, abis itu susulin gue nyusul Revan." Perintahnya pada Kian.

Kian mengangguk. "Oke Rev. Secepetnya gue nyusul kalian."

Raka segera menaiki motornya juga untuk menyusul Revan. Dia harus datang tepat waktu. Raka berdoa di dalam hati semoga kedua anak kembar itu baik-baik saja.

Revan sendiri yang sudah tiba di belakang sekolah hanya bisa membanting helmnya. Dia sama sekali tidak menemukan Devan disana. Revan tidak menyangka kejadian kemarin akan menjadi sepanjang ini. Revan tidak ingin kejadian masa lalu terulang.

Tidak ingin membuang waktu, Revan kembali mengendarai sepeda motornya untuk mencari Devan. Dia tidak mempedulikan bagaimana pengendara lain mengklaksoninya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Devan.

Sementara itu Devan sudah tiba di tempat yang mereka maksud. Bukankah ini GOR tidak terpakai mereka yang dulu?

"Jadi ada perlu apa lo sama gua?!" Devan bertanya keras.

Bara berjalan pelan menuju Devan. "Elo kan yang bikin cewek gua dipermaluin sama Revan di depan satu sekolah."

"Cewek lo? Kok malah ngejar-ngejar kakak kembar gue? Kalau gue jadi lo dah gue putusin." Jawab Devan sakartis.

Bara menyeringai. "Silahkan lo ketawain gua, sebelum nerima perhitungan dari gue."

"Perhitungan? Setau gue gaada yang lebih jago matematika dibandingin Revan." Jawab Devan acuh.

"Bacot! Habisin!" Perintah Bara pada rekan-rekannya.

Devan menangkis pukulan-pukulan dari mereka. Untung saja dulu dia sempat belajar dari Revan. Tapi sayang lawannya tidak adil 4-1. Devan melawan mereka sendiri. Terlebih kondisi fisiknya sekarang ini yang terbilang tidak memungkinkan.

Melihat celah itu salah satu dari mereka memukulkan tongkat baseball di kepala Devan dengan keras.

"Devano!"

Devan sangat familiar dengan suara yang memanggilnya. Sayang darah yang mengalir dari kepalanya membuat pandangannya berbayang dan perlahan menjadi gelap.

'BRUK'

Revan yang amarahnya sudah sangat tersulut makin tersulut. Dia dengan beringas melawan mereka ber-4 sendirian. Lawan-lawannya sama sekali tidak bisa berkutik.

Dia menghampiri Bara dan memukulnya habis-habisan. Dari arah lain Raka segera menarik Revan mundur.

"Cukup Revano!"  Raka menahan Revan.

Revan tidak terima. "Lo bilang cukup? Liat yang udah dia lakuin ke adek gua!"

"Lo mau kejadian Haris keulang Rev?!"

'DEG'

Mendengar itu emosi Revan langsung meredam. Dia menghampiri Devan dan mengangkat kepala Devan ke atas pangkuannya.

Tangannya sangat basah, Revan sudah jelas yang ada di tangannya berwarna merah itu adalah darah. Dia memeluk Devan dengan kuat.

"Dev plis jangan tinggalin gue!"

Bersamaan dengan tangisan itu suara ambulance terdengar datang.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue......

Mohon maaf jika masih banyak kekurangan, seperti typo dan lain-lain.Jangan lupa vote dan comment dan masukkin ke reading list kalian

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!