Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08
"Itu kantorku." Daisy menunjuk ke lantai atas pada bangunan. "Nah, kamu bisa tunggu di situ." Telunjuknya lalu beralih ke kedai kopi yang berada di lantai bawah bangunan. "Pemiliknya bosku." Kemudian ia mengeluarkan kartu anggota dari dalam dompet.
Singgih mencondongkan tubuh ke depan mengamati bangunan dua lantai dari dalam mobil. Lantai atas merupakan kantor Enbuk―yang entah bergerak di bidang apa―sedangkan lantai bawah adalah Coffee Taste.
"Pesan aja makanan atau minuman. Terserah." Daisy mengulurkan kartu anggota ke Singgih
Singgih menerima kartu anggota dari tangan Daisy dengan patuh.
"Bilang aja Daisy. Dan, suruh mereka masukkan ke tagihanku. Paham?"
Singgih mengangguk mengerti.
Keduanya lalu melompat keluar mobil. Daisy menyerahkan kunci mobil ke Singgih.
"Nggak takut aku bawa kabur mobilmu."
"Bawa aja. Aku tinggal beli yang baru."
Singgih tertawa hambar. Anak-anak kaya seperti Daisy gampang sekali bilang tinggal beli yang baru, tanpa mereka ketahui bahwa orang-orang seperti Singgih harus berjuang keras untuk hidup. Kalau mau beli barang pun harus dipertimbangkan dengan masak apakah barang itu berguna atau hanya untuk memenuhi napsu belaka.
"Apa pekerjaanmu?" setidaknya Singgih harus tahu pekerjaan yang digeluti oleh tuan putrinya ini.
"Ilustrator. Kalau mau detailnya cari aja di internet. Sampai ketemu maksi nanti." Daisy memanggul tali tas di kedua bahu, lalu berjalan menuju tangga di samping bangunan.
Singgih mengamati sekitarnya. Tempat baru; suasana baru; dan pekerjaan baru. Mengikuti perintah sang tuan putri, Singgih menuju ke Coffee Taste.
Terdapat sebuah ruang yang menarik perhatian Singgih. Ruang perpustakaan kecil, di mana pengunjung bisa membaca buku di tempat sambil menikmati secangkir kopi. Setidaknya ia bisa betah menunggu di sini sambil membaca buku... sambil menunggu maksi.
"Maksi apaan, ya?" gumam Singgih dengan kening mengerut.
Singgih lantas mencari bacaan ringan. Terakhir kali membaca, seingatnya, waktu masih duduk di bangku SMA. Berarti kurang lebih dua belas tahun lalu. Karena sekarang otaknya tak cukup mampu mencerna kalimat-kalimat sastra, pilihannya jatuh pada komik aksi.
Setelah mengambil beberapa komik, ia lalu memesan minuman dan beberapa makanan di konter. Tak lupa menyerahkan kartu anggota ke seorang barista di depan kasir. Laki-laki itu menempelkan kode batang ke mesin pemindai, lalu mengamati Singgih.
"Ini member card-mu?"
"Atas nama Daisy. Dia bilang masukkan saja ke tagihannya."
Yovi―nama barista yang dibaca Singgih melalui label nama yang tersemat di kemeja cokelat laki-laki itu―lantas mencatat nama Daisy di sebuah buku besar.
"Pacarnya Daisy?" Yovi bertanya ingin tahu seraya mengembalikan kartu anggota ke tangan Singgih.
"Bukan."
Singgih mengambil kartu anggota yang diulurkan oleh barista tersebut, lalu beranjak mencari meja kosong sebelum sempat si barista itu bertanya lebih padanya.
Pandang Singgih tertuju pada meja yang berada di dekat dinding kaca. Dari situ ia bisa mengawasi dan mengamati sekitarnya dari sesuatu yang mencurigakan.
Tugasnya adalah melindungi sang tuan putri dari marabahaya. Seperti seorang ibu yang menjaga anaknya dari ketakutan. Sebisa mungkin menciptakan keamanan radius dekat.
Seorang waiter datang membawa pesanan Singgih.
"Kantor yang ada di lantai atas," Singgih menyela saat waiter itu menyuguhkan roti bakar ke atas meja, "Enbuk. Kantor apa?"
"Penerbitan."
"Penerbitan?" Singgih seakan paham. Terima kasih.
"Sama-sama." Waiter itu membalas ucapan terima kasih Singgih dengan senyum simpul.
Singgih mulai membaca setelah waiter itu pergi.
"Jadi dia illustrator di penerbitan." Ia lanjutkan ke halaman berikutnya. "Kenapa nggak kerja di perusahaan keluarganya?" herannya, yang kemudian kembali menekuri bacaannya.
*
Setelah satu jam membaca beberapa bab pada naskah, Daisy mulai membuat sketsa kasar pada buku sket. Pensilnya menggores tajam sementara pikirannya membayangkan karakter yang pas untuk ilustrasinya. Selain menjadi illustrator di Penerbit Enbuk, ia punya hobi sampingan yang cukup menyita waktu.
Sekitar tujuh bulan lalu, Daisy iseng-iseng mengikutkan hasil karyanya di salah satu media webtun. Dan, siapa sangka hasil keisengannya malah menjadikannya sebagai komikus resmi di media webtun tersebut.
Tiap minggu ia harus mengunggah per episode cerita dan tak pelak harus begadang demi menyelesaikan panel-panel cerita. Beberapa kali pula ia harus hiatus dari webtun karena kondisi kesehatan serta tumpukan pekerjaan dari Enbuk.
"Lo mending pilih salah satu deh," kata Sofie di jam makan siang mereka. "Pilih yang lebih menguntungkan," sarannya lebih lanjut.
Daisy menyobek daging ayam geprek, lalu menyuap seraya berpikir. "Dua-duanya aku suka. Ibaratkan kayak milih di antara nikah atau karier. Princess Daisy kan," bingung.
"Nikah aja sana." Sofie mencocol tahu goreng dengan sambal.
"Pangeranku belum datang," lenguh Daisy.
"Ngomong-ngomong, ya." Gendis yang sedari tadi diam mendengarkan, sekarang gilirannya buka suara. "Tuh cowok ganteng nggak dikenalin ke kita?" matanya beralih ke seorang laki-laki yang sedang makan sendirian di meja yang tak jauh dari mereka tempati.
"Kan, tadi udah dikenalin. Namanya Singgih." Daisy menggigit tempe goreng.
"Nemu di mana?" mata Sofie menyipit ingin tahu.
"Dia menyelamatkanku waktu diculik kemarin. Pahlawanku."
"Ksatriamu akhirnya muncul." Sofie mengerling jenaka. "Kalau diculik, terus diselamatin sama cowok ganteng gitu sih, aku juga mau dong diculik. Culik aku, Mas. Culik hati dedek, Mas." Ia mengikik geli.
Daisy menyuap makanannya dengan tak acuh. Setelah tadi pagi ia mengirimkan pesan singkat ke Gendis dan Sofie yang memberitahukan bahwa dirinya baik-baik saja―selamat dari penculikan, eh siapa sangka dua temannya ini langsung menyambanginya ke tempat kerja. Alhasil ia seakan terciduk―saat bersama Singgih di Coffee Taste.
"Ganteng gitu bisa dijadikan pacar." Sofie memandangi Singgih dengan binar antusias.
Saran Sofie tersebut berhasil membuat Daisy tersedak. Ia menyambar gelas minumnya dan menenggak teh hangat yang mulai dingin.
"Lo kan, jomblo. Bisa tuh digebet."
"Nggak asal gebet juga kali, Sof." Suara lembut Gendis seakan tak sanggup membuatnya berubah galak. "Harus dilihat juga bibit, bebet, dan bobotnya."
"Tuh dengerin apa kata Raden Roro Gendis Kencana." Daisy menyahut setuju ucapan Gendis.
"Gue sih nggak perlu tetek bengek semua itu. Yang penting hati." Sofie menekan dadanya dengan tangan yang bebas dari bekas makanan.
"Oh, ya?" skeptis Daisy. "Hatimu selalu bermasalah, Sof. Ketemu cowok baik, perhatian, udah langsung suka aja. Teliti dulu kek dia orangnya kayak gimana? Dia ada maunya nggak deketin kamu. Jangan kayak yang udah-udah, pacarin kamu cuma buat numpang tenar doang. Kalau mau tenar, usaha dong. Kerja keras. Banting tulang. Jangan tulangnya aja yang dibanting-banting. Nggak ada sesuatu yang instan di dunia ini. Mie instan aja butuh proses buat dimasak."
"Gue ngomongnya satu kalimat. Ibu Guru kita ini ngomongnya puluhan kalimat," dengkus Sofie.
"Mulai sekarang kalau ada cowok yang disuka langsung dikenalin ke kita. Biar kita terawang, cermati, dan teliti seperti apa dia."
"Sewa detektif sekalian," usul Gendis. "Mata kita bisa saja ditipu oleh penampilannya. Tapi detektif bisa memberikan bukti dari penyelidikannya."
"Nggak sia-sia gue menghabiskan masa muda gue buat bestie-an sama elo," bangga Sofie.
"Kita bisa mencobanya lebih dulu pada seseorang." Gendis menyeringai senyum.
Daisy dan Sofie menoleh ke Gendis. Orang yang ditoleh lalu melempar pandang ke arah Singgih.
"Kemunculannya di tempat kejadian tiba-tiba banget. Kebetulan atau memang disengaja?" Gendis berbisik lirih.
Terdiam Daisy menatap Gendis dengan prasangka yang ada.
"Nggak ada salahnya kita mencurigai. Karena dunia saat ini udah nggak aman. Justru orang-orang terdekatlah yang punya potensi melukai kita. Sori, Dai, bukannya aku nakut-nakutin. Hanya saja kamu perlu waspada. Kamu pernah diculik dan kemungkinan diculik lagi pun ada. Aku nggak menuduh, cuma kemunculannya yang tiba-tiba mungkin pantas buat kita mencurigainya. Tapi aku harap kecurigaanku yang salah."
Daisy mengalihkan pandang kembali ke Singgih yang telah meninggalkan meja. Haruskah ia curiga―di saat ia telanjur memercayai Singgih sebagai penyelamatnya?
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨