Yoga Permana, 22 tahun, pekerja biasa yang hidupnya terasa hampa setelah patah hati dan gagal move on dari cinta pertama. Pelariannya? Menulis webnovel… meski lebih sering buka Facebook daripada nulis.
Suatu malam, saat mencoba menulis prolog novel barunya Pe and Kob, laptopnya rusak, lalu menariknya masuk ke dalam dunia novel yang bahkan belum ia selesaikan.
Kini terjebak di dunia isekai hasil pikirannya sendiri, Yoga harus menjalani hidup sebagai karakter dalam cerita yang belum punya alur, belum punya nama kerajaan, bahkan belum punya ending.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Segalanya (3)
Melihat tubuhku sendiri tanpa busana, bertubuh pria tanpa pedang suci diantara paha-paha, dengan kesal aku membentak bayanganku sendiri.
“Bahkan ini lebih parah dari meme jomok di fesnuk!”
Lantang suara bergetar di tanah kosong, sedikit jauh dari kediaman. Agoy hanya menimpalinya sederhana dengan bentuk bayangan diri.
“Y-ya maafkan aku sih...”
Raut wajahku memerah, kesal sekaligus menahan malu.
“Kalo tahu begini, kenapa gak bilang sedari awal!”
Situasi seperti ini sangat menggambarkan aku seperti pria transgender dengan gangguan jiwa, sedang memarahi bayangan diri sendiri.
Lima belas menit berselang, tubuhku menyusut, raut wajahku berubah, tatapan yang tadinya tajam perlahan berganti dengan tatapan sayu berbulu mata lentik.
Tubuhku melemas.
“A-apa lagi sekarang?” gumamku setengah memejamkan mata.
Pandangan sekitarku menjadi sunyi, kabur, dan menggelap.
Brukk!
Sekejap tubuhku tergeletak pada rerumputan pendek yang aku pijaki. Kurang lebih lima menit aku tergeletak lalu tersadar. Agoy kembali bergumam.
“Ahh akhirnya kamu sadar.”
Baru saja mataku terbuka, suara pertama yang kudengar adalah Agoy, bayangan diri.
“Ahh aku paham, jadi efek sampingnya seperti itu.”
Tubuhku kembali menjadi Lala Rosalia berusia empat tahun, namun tanpa busana. Kemudian aku melanjutkan ucapanku.
“Kalo telanjang begini sebaiknya jangan pernah digunakan.” ujarku cepat pada Agoy.
Agoy menjawab, selalu dengan nada santainya.
“Ya kamu benar, tapi ada satu hal yang bisa kulakukan lagi.”
Sontak mataku membelalak, rasa curiga kembali timbul.
“Satu hal aneh lagi maksudmu?!” Sinisku memeluk tubuh sendiri tanpa sehelai kain ditubuh.
“Bukanlah.” timpal Agoy terdengar kesal dengan nada khasnya. Lanjut ia berucap “Aku bisa menyimpan barang tanpa batasan kapasitas, namun tak bisa menyimpan makhluk hidup yang bernyawa.”
“Menarik, lanjutkan saja, jangan berbuat hal yang konyol lagi.” seruku meminta Agoy melanjutkan semua yang ia ingin jelaskan.
“Mode dewasa itu bukan hanya tubuh dewasa kita saja, namun mode dewasa Lala bisa kita gunakan.”
“Dan bahan yang tersimpan dalam bayangan, maksudku dalam diriku, bisa dikeluarkan kapan saja.”
“Keunggulan kita adalah kegelapan, semakin banyak bayangan yang menyatu dengan kita, semakin besar kekuatan kita, namun satu batasan Mana dirimu sekarang mustahil untuk menggunakan potensi penuh kekuatan.”
“Satu hal lagi, janji kamu gak marah?”
Jelasnya panjang namun dapat kupahami dengan mudah, kepribadian Agoy, sangat berbeda saat di alam baka dengan dirinya saat ini, bukan hanya itu—ucapan akhirnya membuatku semakin penasaran.
“Apa maksudmu gak boleh marah? Jelaskan saja!”
Lantang suaraku, menyeru.
“Jika kamu memasukan pakaian dewasa, saat bertransformasi menjadi dewasa, pakaian itu akan langsung terpakai oleh dirimu.”
“Dan sebenarnya, pakaian anak-anak Lala tidak hancur, aku menyimpannya dalam bayanganku.”
Hening.
Seketika diriku membeku, bagai patung tak bernyawa.
Amarahku sedikit demi sedikit memuncak.
“KENAPA GAK BILANG?! KAMU SENGAJA MENJAHILIKU HAH?!” Emosiku membeludak, namun tak bisa kupukul sebuah bayangan, suaraku keras dengan nada anak berusia empat tahun.
“Hahahaha reaksi seperti itu yang ku mau.” tawa jelek Agoy, tanpa wajah hanya sebuah bayangan, aku tahu dirinya sangat puas dengan hal ini.
Aku menatap langit, berketus pada Dewi di ranah surga.
“Ya Mulya... Kenapa nasibku begini.” terdengar sedih, sindiran kecil untuk Agoy.
“Hei! Aku jadi seperti penjahat yang menyakitimu tahu! Padahal cuman dijahilin biasa.” Ujar Agoy cepat menimpali keluhanku.
“Baiklah aku akan membuatmu berpakaian lagi.”
Lanjut Agoy, bayangan keluar dari tanah kembali menyelimuti diriku, setelah bersatu, perlahan bayangan turun.
“Sekarang kamu sudah berpakaian lagi.” Agoy kembali berketus.
“Baguslah....” Jawabku pelan.
Setelah kejadian konyol yang cukup membuatku merasa lelah, aku menyimpulkan diriku dengan Agoy, sifat kami berbalik, rasanya seperti tidak percaya bahwa Agoy adalah diriku di dimensi bumi yang berbeda.
Kami bercengkrama sejenak ditanah lapang dekat kediaman, bukan tanah lapang yang biasa aku dan para protagonis bermain.
“Masalahnya tubuh ini kembali menjadi bocah empat tahun, sedangkan tubuh ini belum cukup kuat untuk ke Gunung Lunagen.”
“Apalagi Litch yang bertransmigrasi dari dunia asalmu itu.”
Keluhku terduduk nyaman diatas rerumputan.
“Ahh sepertinya aku belum menjelaskan semuanya ya.” Agoy menjawab dan meneruskan. “Litch itu bukan dari duniaku, namun dari bumi fiktif novel ini, villain itu berasal dari kisah novel yang aku tulis.”
Sontak ku menoleh pelan pada bayangan.
“Bisa-bisanya kamu buat plot twist begitu...” sedikit nadaku panjang bernapas.
“Hah... Aku juga heran.” keluh Agoy padaku.
Dibawah matahari bersinar langsung pada tubuh Lala, aku menyusun rencana bersama Agoy.
Pertama, kembali berlatih Mana dalam tubuh. Kali ini dengan pengetahuan yang mumpuni.
Kedua, mempelajari skill Tamer.
“Kita harus bertemu Silvanna secepatnya, aku rindu dia.”
Ketiga, bertambah kuat untuk enam tahun mendatang, dimana Larasati tersandra bandit.
Keempat, walau enam tahun mendatang, perkiraan kekuatan tubuh anak kecil melawan villain utama novel Pe and Kob terdengar mustahil, namun setidaknya memperkecil kemungkinan bendera kematian.
Kelima, Daun Sirih Perawan tetap menjadi prioritas.
Setelah menyusun rencana yang sudah matang kami diskusikan, aku terpikirkan satu hal.
“Menara Babel, haruskah kita kesana diusia yang sekarang?” Ujarku cepat bertanya pada Agoy.
“Mustahil, pikirkan Dave dan Liria.” Jawab Agoy dengan cepat juga. Kemudian meneruskan “Namun skill Tamer itu penting, mari memperbanyak pet, mungkin juga roh suci.”
Aku memukul kedua tanganku sendiri, kebuntuan kembali menemukan jalan pintas.
“Ya kita harus menyebarkan seluruh binatang jinak untuk informasi, itu bagus.” namun dibenakku kembali tersentuh sebuah masalah yang lain. “Minusnya skill ini keterbatasan, kita tidak bisa berbahasa hewan dan monster.”
Agoy kembali berucap.
“Sebab itulah Menara Babel penting untuk kita jelajahi, untuk sekarang kita lakukan saja yang kita bisa.”
Setelah bercengkrama cukup panjang langkah kaki Lala kembali menuju kediaman.
Dunia ini terlalu nyata, tidak ada yang instan, semua perlu kerja keras, tidak ada plot armor, terlalu nyata untuk disebut dunia novel, segalanya memiliki perhitungan yang nyata.
Sebab dan akibat, sihir, fisik, alam, memiliki perhitungannya masing-masing. Ini membukakan cara berpikirku tentang dunia.
Dunia yang kuanggap belum jadi sedari awal prolog, ternyata dunia novel berbeda dari dimensi yang lain bumi tempatku berasal.
Lembaran baru kini terbuka, kali ini tanpa kegagalan.
Demi mencapai Bab Satu yang tak pernah tercapai, demi keberlangsungan hidup.
Demi Dave dan Liria, dan segala hal yang harus aku hadapi saat ini, maupun hal yang belum tentu terjadi.
Segalanya harus dipikirkan.
“Takdir sialan, kali ini aku akan meludahi dirimu.”
“Aku takkan kalah, jika harus merobek semua bab novel yang ada.”
“Kisahku bukan kisah yang ditulis.”
“Bab Satu, sungguh sial, mengapa sulit untuk menuju outline bab paling awal.
“Namun aku takkan menyerah, demi menghajar semua realita dunia dalam novel ini.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.