NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Intrigue Istana

​Keesokan paginya, Elara memutuskan bahwa dia tidak akan menghabiskan waktu meratapi makan malam yang gagal. Jika Kaelen ingin merajuk di menaranya seperti naga yang sakit gigi, biarkan saja. Elara punya pekerjaan yang harus dilakukan.

​Dia keluar ke halaman samping istana, area yang dulunya mungkin taman mawar yang megah, namun kini hanya hamparan tanah gersang dengan semak-semak berduri hitam yang melilit patung-patung malaikat yang patah sayapnya.

​Udara pagi Shadowfall selalu lembap dan dingin, tapi Elara menyukainya. Itu membantunya berpikir jernih.

​Dia berjongkok di dekat sisa-sisa air mancur kering, menggali tanah dengan sekop kecil yang dia pinjam dari gudang tukang kebun (yang sudah lama tidak dipakai).

​"Tanahnya keracunan," gumam Elara, meremas segenggam tanah abu-abu yang hancur menjadi debu di tangannya. "Tidak ada nutrisi. Akarnya tercekik energi gelap."

​Namun, matanya menangkap sesuatu di dekat kaki patung malaikat. Sebatang rumput liar kecil berwarna kuning pucat. Sunroot. Tanaman yang sangat tangguh.

​Elara tersenyum. "Kau pejuang kecil, ya?"

​Dia baru saja hendak menyalurkan sedikit sihirnya untuk menguatkan akar tanaman itu ketika suara derap kuda terdengar mendekat.

​Bukan Nightmare—kuda monster milik istana. Ini suara kuda biasa, tapaknya terdengar lebih ringan dan berirama.

​Elara berdiri, menepuk-nepuk tanah dari gaun kerjanya yang sederhana. Sebuah kereta kuda berwarna putih gading dengan hiasan emas yang mencolok meluncur masuk melewati gerbang samping yang terbuka. Lambang di pintu kereta itu mirip dengan lambang kerajaan, tetapi mahkotanya tidak dililit duri, melainkan dililit ular emas.

​Kereta berhenti. Seorang pelayan dengan seragam rapi melompat turun dan membukakan pintu.

​Seorang pria melangkah keluar.

​Dia tampan, dengan cara yang sangat terawat. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang tanpa cela, jubah sutra ungunya terlihat sangat mahal dan kontras dengan suasana suram Shadowfall. Wajahnya memiliki kemiripan dengan Kaelen—rahang tegas dan hidung mancung yang sama—tetapi matanya berbeda. Jika mata Kaelen adalah badai dan api, mata pria ini adalah air rawa yang tenang namun menghanyutkan. Hijau, licik, dan dingin.

​Duke Valerian Vane. Paman sang Raja.

​Elara ingat peringatan Kaelen semalam. Jangan sebut nama dia di depanku.

​Duke Vane melihat sekeliling dengan hidung berkerut, seolah dia baru saja menginjak kotoran, lalu tatapannya mendarat pada Elara. Senyum lebar yang terlihat berlatih sempurna merekah di wajahnya.

​"Ah," katanya, suaranya halus seperti sutra. "Kau pasti gadis itu. 'Upeti' terbaru yang sedang ramai dibicarakan."

​Elara membungkuk hormat, sedikit kaku. "Nama saya Elara, Tuanku."

​Vane berjalan mendekat, tongkat jalannya mengetuk jalan setapak batu dengan irama tak-tak-tak yang mengganggu.

​"Elara," ulangnya seolah mencicipi nama itu. "Sudah empat hari, bukan? Rekor yang mengesankan. Gadis terakhir—siapa namanya? Lira? Lara?—hanya bertahan dua hari sebelum dia mencoba memanjat dinding dan jatuh."

​Vane berhenti di depan Elara, menatapnya dengan intensitas yang membuat bulu kuduk Elara berdiri.

​"Kau terlihat... sehat," komentar Vane. "Tidak ada tanda-tanda keracunan Void. Tidak ada tanda-tanda kegilaan. Menarik."

​"Saya hanya melakukan tugas saya, Tuanku," jawab Elara diplomatis.

​"Tentu, tentu," Vane mengangguk. Dia mengeluarkan saputangan berenda dan menepuk hidungnya pelan. "Aku datang untuk memeriksa keponakanku tersayang. Bagaimana keadaannya? Apakah penderitaannya sudah... berakhir?"

​Kata-kata itu terdengar penuh simpati, tapi nada bicaranya menyiratkan harapan yang berbeda. Elara menangkap maksud tersembunyi itu.

​"Raja Kaelen masih sangat kuat," jawab Elara tegas, menatap langsung ke mata hijau Vane. "Kondisinya stabil."

​Senyum Vane menipis sedikit. "Stabil? Sayang sekali. Maksudku... syukurlah."

​Dia melangkah lebih dekat, merendahkan suaranya hingga menjadi bisikan konspirasi. "Dengar, Nak. Kita berdua orang yang realistis, bukan? Kaelen... dia menderita. Kutukan itu memakannya hidup-hidup. Memperpanjang hidupnya hanya berarti memperpanjang rasa sakitnya."

​Vane merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah kantong beludru kecil. Terdengar bunyi gemerincing koin emas yang berat dari dalamnya.

​"Kadang-kadang," bisik Vane, menyelipkan kantong itu ke tangan Elara yang kotor oleh tanah. "Bantuan terbaik yang bisa diberikan seorang penyembuh adalah... melepaskan pasiennya dari rasa sakit. Dengan cepat. Dan tenang."

​Darah Elara mendidih.

Pria ini... dia baru saja secara halus meminta Elara untuk membunuh Raja. Atau setidaknya, membiarkannya mati.

​Elara menatap kantong emas itu, lalu menatap Vane. Dengan gerakan perlahan namun pasti, dia meletakkan kantong itu kembali ke telapak tangan Vane yang terbuka.

​"Maaf, Tuanku," kata Elara, suaranya bergetar karena menahan marah. "Di desa saya, kami diajarkan bahwa tugas penyembuh adalah melawan kematian sampai napas terakhir, bukan mengundangnya minum teh."

​Mata Vane menyipit. Kilatan berbahaya muncul di sana, seperti ular yang siap mematuk.

​"Idealisme," desis Vane. "Sangat manis. Tapi idealisme tidak bisa membeli makanan untuk adikmu di desa, bukan? Siapa namanya... Mila?"

​Jantung Elara berhenti berdetak sesaat.

​"Jangan berani-berani Anda menyentuh adik saya," geram Elara. Rasa takutnya lenyap, digantikan oleh naluri pelindung yang buas.

​Vane tertawa kecil, menepuk bahu Elara dengan tongkatnya. "Oh, aku tidak akan menyentuhnya. Aku hanya mengatakan, dunia ini berbahaya. Kecelakaan bisa terjadi pada siapa saja. Terutama pada keluarga dari orang-orang yang memilih sisi yang salah dalam sejarah."

​"Mundur dari dia, Vane."

​Suara itu membelah udara seperti cambuk.

​Elara dan Vane menoleh serentak.

​Vorian berdiri di ambang pintu masuk halaman. Tangan kanannya sudah berada di gagang pedang di pinggangnya. Di belakangnya, dua prajurit Shadowguard sudah siap dengan tombak terhunus.

​"Lord Vorian!" seru Vane ceria, seolah dia tidak baru saja mengancam seorang gadis. "Anjing penjaga setia Kaelen. Apa kabar? Masih suka menggonggong?"

​"Raja tidak menerima tamu hari ini," kata Vorian datar, melangkah maju dan memposisikan dirinya di antara Elara dan Vane. "Terutama tamu yang tidak diundang."

​"Aku pamannya. Aku punya hak untuk melihatnya."

​"Kau punya hak untuk pergi sebelum aku memerintahkan penjaga untuk melemparmu keluar gerbang," balas Vorian dingin.

​Vane mendengus. Dia merapikan kerah jubahnya, lalu menatap Elara dengan tatapan terakhir yang penuh arti.

​"Pikirkan tawaranku, Elara," katanya lembut. "Kaelen adalah kapal yang akan karam. Jangan ikut tenggelam bersamanya."

​Vane berbalik dan kembali ke keretanya. Pintu ditutup, dan kereta putih itu berputar pergi, meninggalkan jejak debu di udara pagi yang kelabu.

​Setelah kereta itu menghilang, Vorian berbalik menghadap Elara. Bahunya yang tegang perlahan rileks.

​"Kau baik-baik saja?" tanyanya. Suaranya masih kaku, tapi ada nada kekhawatiran di sana.

​"Dia tahu nama adikku," bisik Elara, tangannya memegang sekop begitu erat hingga buku jarinya memutih.

​"Vane punya mata dan telinga di mana-mana," kata Vorian. "Itu sebabnya Kaelen mengusirmu kemarin. Dia tahu Vane akan datang. Dia tidak ingin kau terlibat dalam politik kotor ini."

​Elara tertegun. "Jadi... Kaelen marah semalam bukan hanya karena dia melukaiku?"

​Vorian menghela napas panjang, suara yang terdengar aneh keluar dari balik topeng besi itu.

​"Raja menyalahkan dirinya sendiri atas segalanya. Kutukan itu. Kematian orang tuanya. Kehancuran kerajaan ini. Dan sekarang, kehadiranmu di sini membuat Vane gelisah," Vorian menjelaskan. "Vane menginginkan takhta. Selama Kaelen masih hidup—meski sebagai monster—Vane tidak bisa menjadi Raja sah. Dia butuh Kaelen mati."

​Elara menatap ke arah jendela menara tempat Kaelen biasanya berada.

​"Dia kesepian," gumam Elara. "Dia menghadapi monster di dalam tubuhnya dan monster di keluarganya sendiri sendirian."

​"Dia Raja, Nona Elara. Kesepian adalah takdirnya," jawab Vorian.

​"Tidak," Elara menggeleng tegas. Dia menancapkan sekopnya ke tanah. "Tidak lagi. Bukan selama aku masih di sini."

​Elara berbalik menatap Vorian.

​"Lord Vorian, saya butuh bantuan Anda."

​"Bantuan apa?"

​"Kaelen tidak akan mau menemui saya hari ini, kan?"

​"Kemungkinan besar tidak. Dia sedang dalam mood menghancurkan perabot."

​"Bagus," Elara tersenyum licik. "Kalau begitu, kita tidak akan menemuinya. Kita akan membuatnya datang kepada kita."

​"Apa rencanamu?" Vorian tampak waspada. "Tolong jangan bilang kau akan meledakkan sesuatu."

​"Tidak meledakkan," koreksi Elara. "Menanam."

​Dia menunjuk ke arah rumah kaca (greenhouse) kuno di sudut terjauh halaman yang kacanya sudah pecah dan tertutup lumut hitam.

​"Rumah kaca itu," kata Elara. "Apakah sistem pengairannya masih bekerja?"

​"Mungkin. Tapi pipanya tersumbat lumpur selama bertahun-tahun."

​"Kalau begitu, carikan saya kunci inggris dan dua orang prajurit yang tidak takut kotor," perintah Elara, semangatnya kembali menyala. "Kita akan melakukan renovasi."

​Vorian terdiam sejenak, menatap gadis kecil yang berani memerintah Tangan Kanan Raja itu. Lalu, perlahan, bahunya berguncang. Dia tertawa pelan.

​"Kau benar-benar keras kepala, sama seperti dia," kata Vorian. "Baiklah. Aku akan carikan orang."

​Elara menatap kembali ke arah menara tinggi itu.

​Kau mungkin ingin mendorongku pergi, Kaelen, pikirnya. Tapi aku akan menanam akar yang begitu kuat di sini, hingga kau tidak akan bisa mencabutnya.

​Ancaman Vane tentang adiknya memang menakutkan, tapi itu justru menegaskan satu hal: Kesembuhan Kaelen adalah satu-satunya cara untuk melawan Vane. Jika Kaelen pulih dan kembali kuat, Vane tidak akan berani menyentuh siapa pun.

​Perang sudah dimulai. Dan senjata Elara bukanlah pedang, melainkan sekop dan benih.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share ❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!