Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENYESAL
"APA YANG KAMU KATAKAN, AUREL?!"
Itu bukan suara Alex, tapi gelegar bentakan Wulan sambil memegangi dadanya.
Aurel tersentak kaget. Dia lupa dengan penyakit ibunya.
"Tenang, Ma, tarik napas... hembuskan pelan..."
ucapnya sambil tangannya langsung mengusap-usap punggung ibunya.
Alex hanya menatap mereka dengan pikiran yang masih ngeblank.
"Bilang sama Mama, Rel, apa itu benar? Ishana sudah tidak bisa mempunyai anak lagi?"
Aurel diam, menatap ibunya.
"Jawab, Rel!" Suara Wulan lebih keras.
"Mama, tenang! Aku tidak mau penyakit Mama kambuh."
"Mama tidak apa-apa!" Mata Wulan tajam, seakan ingin menembus retina Aurel. Menuntut jawaban dari putrinya saat itu juga.
Aurel menoleh pada Alex, bermaksud meminta pendapat. Tapi Alex malah menatap kosong ke arah lainWajahnya terlihat masih syok.
"AUREL!"
Wulan membentak lagi dan refleks Aurel mengangguk.
"Iya..." jawabnya lirih.
Wulan terguncang. Air mata kemarahan langsung mengalir deras dari kedua matanya. Hatinya panas, bergemuruh.
"Dasar perempuan brengsek, penipu! Aku tidak terima ini. Ayo, Aurel, antar Mama untuk temui dia."
"Ma, tenang, Ma... ingat darah tinggi Mama. Jangan sampai Mama nanti malah harus menginap lagi di rumah sakit."
"Mama tidak selemah yang kamu kira. Ayo, antar Mama."
Wulan berdiri dan melangkah menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
"Bang, ini gimana?" Aurel mengguncang tangan kakaknya. Tapi Alex tetap diam.
"Bang, aku takut kalau Mama melabrak Mbak Ishana, malah Mbak Ishana memenjarakan aku atas kasus kemarin. Padahal aku tidak sengaja membuat dia jatuh sampai pingsan."
Setelah diguncang lebih keras, barulah Alex tersadar. Dia menatap adiknya dengan mata merah dan bicara
Dengan suara bergetar.
"Biar aku yang datangi dia. Kamu tahan Mama supaya tidak pergi!"
"Tapi Mama nggak akan bisa ditahan, Bang!" teriak Aurel saat Alex tak menanggapi. Lelaki itu malah terus saja berjalan, menaiki mobilnya, dan langsung tancap gas.
Wulan keluar dari kamar dengan dandanan yang sudah rapi. Matanya berkeliling.
"Alex mana?" tanyanya, saat tak melihat putranya di tempat.
"Bang Alex sudah pergi, Ma. Kita disuruh nunggu di sini. Aku juga sedang menunggu kabar dari polisi tentang anak-anakku."
Wulan menatap Aurel dengan sorot tak terima.
"Biar Mama pergi sendiri kalau kamu tak mau mengantar."
"Ma... bukan aku tak mau mengantar, tapi Mama rela kalau aku masuk penjara? Jika Ishana merasa terus ditekan oleh kita, nggak menutup kemungkinan dia akan melaporkan aku atas kejadian kemarin. Aku bisa dituntut dengan pasal penganiayaan."
Wulan terdiam. Dia juga tidak mau kalau Aurel sampai dipenjara. Apalagi kini dia sedang mengalami masalah dengan suaminya.
Alex masuk ke ruang inap Ishana. Aura wajah lelaki itu tampak kelam. Tersimpan kemarahan besar dari pancaran matanya.
Mata yang memerah itu menatap tajam wajah Ishana yang sedang menonton televisi.
"Katakan padaku, apa yang Aurel bilang itu tidak benar!" desis Alex, pelan namun penuh penekanan.
Ishana sampai terbangun dari tidurannya, saking kaget. Dia tak menyangka Aurel akan ingkar dari kesepakatan yang sudah dia putuskan sendiri.
"Jawab, Ishana!" sentak Alex karena Ishana masih tetap diam.
"Apa yang harus dijawab? Kamu bicara apa, aku nggak ngerti," suara Ishana bergetar, mencoba mengelak
"Jangan pura-pura, Ishana. Kamu tahu betul arah bicaraku. Kamu bukan perempuan bodoh. Kan?" balas Alex, cepat dan sinis.
"Apa selama ini kamu menipu aku?"
"Me-menipu apa?" Ishana berusaha mengelak.
"Jawab yang jujur. Jangan coba berkelit."
Ishana kembali diam, tak berani bersuara.
"JAWAB!" Bentak Alex menggelegar, hampir saja Ishana terlonjak. Lalu menjawab dengan derai airmata.
"Kamu tidak pernah bertanya," desis Ishana, seolah
Sedang membela diri. Membuat Alex semakin naik pitam.
"Kamu tahu persis kenapa aku bercerai dari Livia, lalu menikahimu. Selain karena perasaan iba pada Keysha, aku berharap mendapat keturunan dari kamu. Seharusnya kamu berkata jujur sebelum kita menikah!"
Ishana menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Aku pikir... aku bisa gantiin kekosongan itu dengan Keysha," jawab Ishana pelan. "Kamu sayang dia. Kamu perhatian. Aku kira itu cukup."
"BODOH! Aku yakin kamu sengaja melakukan itu! Aku bahkan lebih baik mempertahankan Livia daripada buang-buang waktu denganmu." Jawab Alex tanpa perasaan. Hatinya bergolak oleh amarah. Makanya setiap kata yang terucap tidak dia saring dulu.
"Maafkan aku! Aku hanya terlalu bahagia melihat kamu begitu menyayangi Keysha. Kalau aku jujur dari awal, aku takut kamu meninggalkan kami dan Echa kehilangan lagi kasih sayang seorang ayah."
"Tapi kamu tega membalas kebaikan aku dengan kebohongan keji kamu! Aku tidak bisa terima ini Ishana. Mulai detik ini. Kamu bukan istriku lagi. Aku akan urus perceraian kita."
Ishana terguncang oleh keputusan Alex. Bagaimana bisa, dalam sekejap dia kehilangan sandaran, kasih sayang seorang ayah untuk anaknya dan keluarga kecilnya. Semua hancur, terberai dari genggaman. Bagaimana nasib Keysha kedepannya?
Kini dia hanya bisa menangis, merenungi nasibnya yang diujung tanduk.
Alex takut emosinya semakin tak terkendali, diapun pergi dari hadapan Ishana. Pergi ke ruang administrasi untuk melunasi pembayaran biaya rumah sakit Ishana.
"Tolong berikan bukti pembayaran ini pada dia. Karena saya tak akan pernah datang lagi ke sini."
Katanya sebelum pergi meninggalkan rumah sakit.
Begitu keluar dari gedung rumah sakit, angin sore menyambutnya. Tapi bahkan udara segar pun terasa sesak di dadanya.
Livia. Wajah itu kembali muncul di benaknya.
Tatapan kecewa yang dulu dia abaikan. Kata-kata yang dia lontarkan tanpa pikir panjang. Tuduhan kejam yang dia lemparkan tanpa bukti.
"Jangan-jangan benar kata mama, kalau kamu itu mandul, Liv. Aku nggak bisa hidup dengan wanita yang nggak bisa kasih aku keturunan."
Kalimat itu menamparnya sekarang. Keras. Brutal.
Dan memalukan.
Dulu, dia pikir dia punya alasan kuat untuk pergi.
Tapi sekarang, semua alasannya runtuh.
Dia menceraikan wanita yang mencintainya. Wanita yang bertahan bersamanya saat hidupnya paling kacau.
Hanya karena keinginan egoisnya akan seorang anak.
Dan hari ini, dia justru tertipu oleh kebohongan yang dia kira harapan.
Alex menatap ke depan, tapi pikirannya tertinggal di belakang, di masa lalu yang tidak bisa dia perbaiki lagi.
Kalau waktu bisa diputar, mungkin dia tidak akan pergi dari Livia secepat itu. Mungkin dia akan belajar lebih dulu untuk bersabar. Untuk percaya. Untuk tidak membuat keputusan sebesar itu hanya karena emosi sesaat.
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat.
Dia menikah lagi, dengan alasan yang salah. Dan dia harus menerima akibatnya.
Alex memacu mobilnya tak tentu arah.
Dua Minggu sudah, Livia kembali tinggal di Jakarta.
Tak ada keraguan. Sean suaminya. Jadi di manapun laki-laki itu berada, dia harus selalu berada di sisinya.
Jika suatu saat Alex mengetahui kebenaran tentang Cello, Livia tak akan menyesalinya. Dia percaya pada ketentuan Tuhan.
Maka sekarang, dia hanya akan mengikuti ke mana arus akan membawanya.
Kehidupan rumahtangganya dengan Sean pun semakin bergairah dan dipenuhi dengan kebahagiaan.
"Sayang, aku boleh gak jadi Senior consultant lagi di perusahaan kamu. Pekerjaan yang dulu aku tinggalkan? Aku janji akan mengatur waktu. Tak akan mengulangi kesalahan yang sama." Kata Livia di satu malam saat keduanya baru saja selesai menuntaskan hasrat suami istrinya. Dan melakukan pillow talk.
Sean tak langsung menjawab. Tubuhnya masih setengah rebah, satu lengannya melingkari pinggang Livia.
"Kamu serius mau kerja lagi?" tanyanya sambil mengusap rambut istrinya yang terurai di bantal.
Livia mengangguk pelan.
"Aku kangen kerja. Tapi aku juga nggak mau mengulang kesalahan yang dulu. Sekarang prioritas utama aku ya kamu... dan Cello."
Sean tersenyum. "Aku nggak pernah melarang, sayang. Kalau itu membuat kamu bahagia, kenapa nggak?"
Livia membalik tubuh, menghadapnya. "Aku cuma nggak mau kamu merasa aku lebih memilih kantor daripada rumah. Aku janji tak akan pernah mengabaikan kalian dan aku nggak mau kamu dan Cello ngerasain itu."
Sean menarik Livia lebih dekat, mengecup keningnya.
"Selama kamu jujur dan komunikasi jalan, aku nggak akan keberatan."
"Jadi boleh?" tanya Livia, matanya berbinar.
"Boleh banget. Tapi... minimal kamu harus tetap
Bangunin aku pakai morning kiss, ya?" goda Sean sambil tertawa kecil.
Livia ikut terkekeh, memukul dada Sean pelan.
"Nggak usah minta. Itu bonus. Dengan senang hati akan aku lakukan."
Keduanya tertawa ringan. Tak ada beban. Tak ada masa lalu yang mengganggu. Setidaknya untuk malam itu, mereka hanya suami istri yang saling mencintai dan sedang menikmati kehidupan yang tenang.
kewajiban x mendampingi suami ..
semoga selalu rukun ,saling melengkapi
kekurangan masing 2 ...