Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Jevan dan hasil Pertandingan Basket.
Tidak lama kemudian pertandingan basket pun mulai, suara sorak sorai dari kedua pendukung tim terdengar.
Dan mereka empat sudah duduk di tribun dekat lapangan, dan mereka duduk dekat dengan pendukung timnya Jevan.
"Jevan ganteng ya ternyata?" ucap Nadia menatap binar ke arah Jevan yang sudah mulai bertanding.
Dewi hanya mendengus kesal.
"Rupa monyet kayak gitu, dibilang ganteng?" entah punya dendam apa Dewi ke Jevan sampai segitunya, dia tidak pernah berpikir positif tentang Jevan.
Selama pertandingan dimulai, skor yang didapatkan kedua tim sangat beda tipis, tapi diungguli oleh tim jurusan IPA.
Terlihat Jevan sudah berkeringat, menambah daya tarik tersendiri.
Kenzo juga menatap intens ke arah Jevan, melihat gaya bermainnya, karena jika tim Jevan menang, maka di final mereka akan berhadapan.
Alena selalu memperhatikan setiap pergerakan Jevan, karena Alena juga akui bahwa Jevan yang sekarang ini sangat berbeda dengan biasanya dia lihat.
Kalau sekarang Jevan memiliki aura yang tajam seperti melihat Kenzo kedua.
Sedangkan Jevan di lapangan hanya memfokuskan bermain, karena saking fokusnya dia disenggol keras oleh salah satu lawan yang berusaha mengambil bola.
Bruk!!!
Jevan terjatuh dengan keras akibat disenggol oleh pemain lawan.
Jevan menjerit pelan, merasakan pergelangan kakinya sangat sakit.
Wasit yang melihat itu langsung meniup peluit sambil mengangkat tangan kanan dengan telapak mengepal dan tangan kiri lurus menunjuk ke arah Jevan dan seseorang yang tidak sengaja menyenggol kuat Jevan.
Setelah itu, sang wasit berjalan menuju ke arah Jevan yang sudah duduk sedikit meringis kesakitan saat dia memegang pergelangan kakinya.
Dan wasit yang melihat pun langsung memberitahukan paramedis untuk masuk lapangan.
Suasana lapangan agak tegang karena kejadian yang dialami oleh Jevan. Sedangkan orang yang menyenggolnya tadi sudah mendatangi Jevan, langsung berjongkok.
"Bro, maafin gue ya?" ucap pemain itu dengan wajah yang terlihat bersalah, dia tidak tahu bahwa dia bisa membuat lawannya cedera.
"It's okay, bro, ini mungkin agak sakit sih, tapi aman nggak bikin nyawa gue melayang," jawab Jevan dengan candaan.
Wasit dan paramedis yang mendengar perkataannya Jevan hanya tersenyum paksa.
Jevan yang berakhir dibawa keluar lapangan untuk diperiksa lebih lanjut, dan pelatih mereka memutuskan bahwa pertandingan tetap berlanjut tanpa Jevan dan mengganti pemain.
Sang wasit memberi kode Substitutions, yang dimana tanda jika ada pergantian pemain, sambil meniup peluit sambil membuat gestur menyilangkan lengan di depan dada.
Karena dilihat keadaan kakinya Jevan sangat tidak memungkinkan untuk dia berlari apalagi loncat, yang ada malah tambah parah.
Kalau kata Jevan sih,
"Kenapa? Kalian mau gue kayak cerita-cerita luar sana, yang dimana gue dengan gagahnya menolak dilarang bermain dan melanjutkan permainan itu, tanpa peduli dengan keadaan kaki? Dan menjadi pahlawan? Sorry bro, gue lebih sayang kaki daripada poin.😌🤌"
Di saat permainan berjalan dan Jevan sudah di kursi cadangan, sambil mengelus sayang kakinya yang sudah diperban.
Saat dirinya mengelus perban di kakinya, Jevan baru sadar satu hal, yaitu warna perbannya yang tidak seperti biasanya.
Dia menegang dan mencari keberadaan paramedis yaitu anak-anak PMR
. Saat menemukan posisi mereka, ia menatap permusuhan. Ingin rasanya Jevan membunuh mereka satu-satu, percayalah warna perban ini salah satu musuh bebuyutannya.
Dengan perasaan menggebu-gebu Jevan berjalan tertatih-tatih menuju kelompok PMR itu.
Mereka yang melihat Jevan ada yang heran dan ada yang tertawa melihat betapa anehnya warna perban di kaki Jevan.
"Yaaakkk..! Kalian, berani-beraninya kalian pakaikan warna ini di tubuh gue, mau cari gue pukul?"
Marah Jevan yang sudah sampai di hadapan para anggota PMR.
"Lah kenapa? Bagus kok malahan cocok di kaki lo," ucap salah satu cowok anggota PMR.
"Sialan! lo bilang cocok?" tanya Jevan dengan wajah syok, tidak menduga bahwa mereka bilang warna cerah itu cocok di kakinya.
"Cocok? Waah parah kalian semua," Jevan yang masih tidak terima.
"Iya cocok sama wajah lo," dia meyakinkan Jevan, tapi dia masih tidak terima.
"Lambe mu cocok!!! It's okay warna lain, tapi jangan warna PINK JUGA..!!" teriak Jevan di akhir dengan nada dramatis.
Setelah mendengar perkataan Jevan, akhirnya mereka tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah tertekannya Jevan.
Hah, sungguh menyenangkan melihat wajah itu sekarang.
Tidak lama kemudian guru pembina PMR datang sambil terkekeh.
"Maaf ya Jev, ini sebenarnya mereka salah beli. Daripada dibuang, kan sayang. Makanya kita pakai yang ini dulu," jelas sang pembina PMR.
"Tau ah, malas sama kalian bikin nggak mood aja." Jevan pun berjalan kembali ke tempat duduknya.
Jevan yang masih mengoceh tiba-tiba berhenti karena terdengar suara peluit panjang dan sorak sorai para penonton.
Wasit memberi kode Charged Time Out, tanda kalau waktu pertandingan telah habis. Dan terlihat wasit memberikan isyarat dengan cara meniup peluit sambil membentuk huruf T menggunakan kedua telapak tangan.
Jevan yang menyadarinya langsung melihat ke arah papan skor. Yaps, mereka kalah.
Iya, kalian tidak salah baca, timnya Jevan kalah tertinggal beberapa poin skor.
"Kalian, harap apa? Tim gue menang? Yakali. Tim gue kebentuk aja dipaksa, yaa karena diancam sebenarnya. Makanya tim gue kalah atau menang mah bodoh amat, yang penting skor mereka nggak dikurangin. Kalau dikurangin atau dihapus bisa jadi bencana kalau emak bapak kita lihat nanti. You know lah, IPS ni BOSS."
Sedangkan di sisi lain, Kenzo yang melihat itu hanya tersenyum menatap ke arah Jevan yang sedang menatap binar papan skor.
Karena menurut Kenzo, Jevan adalah lawan yang kuat. Dilihat dari hasil pertandingan ini, Kenzo bisa bernapas lega.
"Yaaa!! Mereka kalah, padahal tinggal dikit lagi," ujar Nadia kecewa.
"Biarin aja, asal lo tahu kita harus setia sama jurusan kita. Ya walaupun di final nanti jurusan kelas 10 IPA vs 11 IPA, tapi it's okay,"
ujar Dewi yang tidak suka melihat bahwa, Nadia lebih memilih angkatan jurusannya Jevan.
Dewi langsung beralih menatap ke arah Kenzo.
"Wahh, selamat yaa, semangat tandingnya buat besok lusa. Len, lo nggak semangatin ayang lo sih, si Kenzo?" ucap Dewi melirik Alena yang tatapannya masih fokus ke arah lapangan.
"Eh, Apa?" Alena sedikit tidak fokus mendengar perkataannya Dewi.
"Ha..! Len, lo nggak mau semangatin ayang lo? Si Kenzo."
Alena yang mendengar itu hanya menatap Kenzo dengan bingung.
"Oh, emang Lo masuk final?" tanya Alena.
"Hummm," deheman Kenzo sambil anggukan kepala."
"Selamat ya" ujar Alena.
""Balik yukk!" Dewi yang mulai bosan dan sebentar lagi bakal merengek.