NovelToon NovelToon
Perjuangan Dalam Pernikahan Dini

Perjuangan Dalam Pernikahan Dini

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author:

Mentari Senja, gadis desa yang berusia 18 tahun. Anak terakhit dari pasangan Jaka dan Santi. Dia merupakan salah satu gadis yang menjadi primadona di desanya. Dia mempunyai keluarga yang sederhana dan ayah yang sangat disayanginya. Mentari adalah sosok gadis yang lembut, cantik dan pendiam serta sangat menuruti permintaan sang ayah. Namun siapa sangka Mentari tiba-tiba saja dijodohkan oleh sang ayah dengan sosok lelaki yang dia tidak kenal sama sekali. Dia terpaksa harus menerima perjodohan itu demi kesembuhan sang ayah. Mengubur semua cita-citanya selama ini dan harapannya untuk melanjutkan pendidikan. Hidup dengan seorang laki-laki yang berstatus sebagai suaminya, tapi tidak pernah dianggap dan dicintai.

Chapter 7

Willie mencari Mentari dengan menyelusuri seluruh jalanan menuju ke sekolah mereka.

Ia semakin khawatir sebab cuaca menunjukkan akan turunnya hujan. Sedangkan sampai saat ini Willie belum juga menemukan keberadaan Mentari.

"Dimana sih lu gadis kampung."

"Bikin gua susah aja lu jadi cewek" umpat Willie kesal.

Air hujan mulai turun sedikit-sedikit,, suara petir dan gemuruh menambah kesan kalau akan terjadi hujan lebat.

"Ini kenapa sih udah hampir sampe gua di sekolah nggak nemu tu cewek."

"Mending gua tanya sama Queen aja deh."

"Tapi kalau anak itu curiga gimana?"

"Arrghh... sialan" Willie memukul stir mobilnya.

Sementara saat ini Mentari yang sedang berteduh di halte karena hujan mulai lebat merasa semakin kebingung dan ketakutan. Mentari sangat takut dengan suara gemuruh dan petir.

"Ayah Tari takut" Mentari menutup telinganya dengan kedua tangan. Gadis itu menunduk sambil memejamkan mata sangking takutnya.

"Ya Tuhan Tari takut…"

"Arrghh" Mentari berteriak saat mendengar suara petir. Ia menangis sambil semakin erat menutupi telinganya.

Tidak ada satu pun mobil atau orang yang lewat disana. Mentari hanya seorang diri dengan ditemani rasa takut dan panik di dalam dirinya.

Gadis itu juga kehabisan tenaga,, karena ia tadi berjalan cukup jauh untuk menemukan rumah sang suami.

"Kak Willie tolong Tari" ucap Mentari disela isak tangis nya.

Hujan yang semakin deras dan suara petir yang semakin keras membuat Mentari semakin menangis sejadinya.

Disaat ia tengah menangis dan berharap Willie menemukan dirinya, ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan dirinya.

"Hai kamu ngga papa" ucap cowok itu pada Mentari.

Mentari mendengar ada seseorang yang menghampirinya langsung saja mendongakkan kepala dan membuka matanya.

"Mentari" ucap cowok itu terkejut.

"Kak Gibran" ucap Mentari lemah.

Gibran langsung saja duduk di sebelah Mentari sambil merangkul tubuh gadis itu yang bergemetar hebat. Gibran dapat merasakan betapa ketakutannya Mentari. Bahkan Mentari tidak dapat menghentika isakan tangisnya.

"Udah jangan nangis,, ada aku disini" ucap Gibran lembut sambil mengusap lembut bahu Mentari.

Mentari merasa sedikit tenang karena ada di Gibran di sini yang menenangkan dirinya.

"Kamu kenapa bisa disini? Bukannya tadi kamu sudah naik taksi" ucap Gibran.

"Iya kak,, tapi Tari nggak tau alamat pasti Tante Tari kak" jelas mentari sambil sambil sesegukan.

"Lalu kamu turun disini?" tanya Gibran kembali.

"Tidak kak,, Tari tadi turun di ujung jalan sana."

"Jadi kamu berjalan dari ujung sana ke sini" ucap Gibran yang tak habis fikir dengan Mentari.

Mentari tidak menjawabnya, ia hanya menganggukkan kepala saja.

"Ya sudah dimana alamat Tante kamu itu,, biar aku anterin kamu pulang" ucap Gibran.

Mentari langsung saja panik,, ia tidak mungkin memberi tau Gibran kalau dirinya tinggal satu rumah dengan Willie. Tapi Mentari juga tidak memiliki pilihan lain.

"Anu kak itu…" ucap Mentari gugup.

"Apa Mentari,, mending kamu masuk aja dulu. Nanti dijalan kasih tau alamatnya sama aku yang setau kamu" jelas Gibran.

Gibran langsung saja melepas jaketnya dan memakaikannya ke tubuh Mentari.

"Biar kamu nggak kedinginan,, baju kamu udah basah tuh" ucap Gibran santai.

Gibran membantu Mentari masuk ke dalam mobil, kemudian ia berlari ikut masuk ke dalam mobil juga.

Gibran melajukan mobilnya pelan,, karena hujan semakin lebat. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada dirinya dan juga Mentari. Gibran menatap Mentari sekilas,, ia merasa kasihan melihat gadis itu yang kedinginan dan masih sesegukan.

"Kamu udah mendingan?" tanya Gibran lembut pada Mentari.

"Sudah kak, makasih ya kakak sudah mau bantuin aku" ucap Mentari dengan sedikit senyuman tipis diujung bibirnya.

"Is okay" ucap Gibran.

Setelah itu tidak ada percakapan diantara mereka berdua,, Gibran fokus mengendarai mobil dan Mentari fokus dengan fikirannya.

'Gadis yang cantik' batin Gibran menatap Mentari.

"Ini alamat rumah Tante kamu dimana Tar?" tanya Gibran.

"Eh.. sebenarnya aku tinggal di itu kak" ucap Mentari gugup.

Gibran merasa heran dengan Mentari,, kenapa dia harus gugup seperti ini. Padahal ia hanya ingin tau dimana alamat rumah tante gadis itu. Kalau Mentari tidak memberi tau bagaimana ia bisa mengantar Mentari pulang.

"Gimana aku bisa nganter kamu Tar, kalau kamu aja dari tadi nggak jawab dimana alamat rumah Tante kamu itu" jelas Gibran.

"Sebenarnya aku tinggal di rumah kak... Willie" ucap Mentari sambil menundukkan wajahnya.

Gibran yang mendengar hal itu sok saja terkejut,, ia tidak salah mendengar kalau gadis di sebelah dirinya ini satu rumah dengan sahabatnya.

"Willie!"

"Kenapa bisa kamu tinggal di rumah Willie?" tanya Gibran penasaran.

Mentari terdiam,, ia tidak tau harus menjawab apa. Mentari juga tidak mungkin memberi tahu yang sebenarnya pada Gibran karena pasti itu akan membuat Willie marah besar pada dirinya.

"Tari" panggil Gibran.

"Eh... iya kak."

"Itu bibi aku kerja di rumahnya kak Willie kak" ucap Mentari.

"Owh tante kamu itu kerja di rumah Willie."

"Ha iya kak" ucap Mentari.

"Ngomong dong dari tadi,, kalau gitu kan kita langsung aja kesana" ucap Gibran sambil mengelus lembut puncak kepala Mentari.

.

.

Willie yang sudah kehabisan akal mencari keberadaan Mentari memutuskan untuk pulang ke rumah. Nanti akan ia fikirkan bagaimana cara untuk bicara dengan mama dan papanya.

Ketika Willie tengah memakirkan mobilnya,, datang sebuah mobil yang tidak asing baginya.

"Itu kan mobil Gibran,, ngapain tu anak hujan-hujan gini kesini" gumam Willie,, ia langsung saja keluar dari mobil dan berdiri di depan.

Gibran tepat memarkirkan mobilnya di samping mobil Willie. Cowok itu turun dari mobil dan menatap Willie.

"Tumben lu kesini nggak bilang dulu sama gua Gib" ucap Willie.

"Gua kesini bukan nemeuin lu,, tapi gua mau nganterin seseorang" Gibran berjalan ke samping mobilnya. Ia membuka kan pintu mobil dan turunlah Mentari.

"Mentari" gumam Willie lirih.

Willie terkejut saat mengetahui kalau orang yang diantar oleh sahabatnya itu adalah istrinya, Mentari.

"Gua mau nganterin Mentari kesini Will" ucap Gibran santai.

"Lu kenapa nggak bilang sama gua kalau Mentari juga tinggal di rumah lu" lanjut Gibran.

Willie tidak menjawabnya,, ia hanya diam saja sambil menatap Mentari yang dirangkul oleh Gibran.

"Kamu masuk aja dulu Tar,, baju kamu basah soalnya" ucap Gibran pada Mentari.

"Makasih ya kak udah mau nganterin aku" ucap Mentari sambil tersenyum tipis pada Gibran.

Mentari menatap Willie, dan kemudian langsung saja masuk ke dalam rumah.

"Kenapa lu bisa sama tu anak?" tanya Willie dengan nada sedikit tinggi.

"Owh itu,, gua nggak sengaja ketemu sama dia di halte tadi lagi nangis" jelas Gibran.

"Nangis?" Ucap Willie.

"Iya,, kayak nya tu anak takut sama suara petir."

"Badannya aja tadi sampe gemeteran banget. Nangisnya sampai terisak-isak gitu waktu gua lihat dia" ucap Gibran.

"Owh gitu" ucap Willie singkat.

"Lu kenapa nggak bilang kalau Mentari ponakan dari pembantu lu?" tanya Gibran.

Willie terkejut, ternyata gadis itu mengaku sebagai ponakan dari salah satu pembantu di rumah ini. Untung saja,, ia fikir tadi kalau gadis kampung itu akan ngomong yang sejujurnya.

"Emang harus gua bilang sama lu,, lagian dia cuma ponakan dari pembantu gua, bukan gadis yang penting" ucap Willie ketus.

"Nggak ada urusan nya juga sama lu kan" lanjut Willie.

Gibran hanya diam saja,, yang diucapkan oleh Willie itu ada benarnya juga.

"Udah ngapain lu masih disini,, pulang sana."

"Lihat tu baju lu juga basah."

Gibran melihat tubuhnya,, ternyata bukan hanya baju Mentari saja yang basah, baju ia juga basah.

"Yaudah gua balik dulu" Gibran menepuk bahu Willie dan langsung masuk ke dalam mobilnya.

Setelah memastikan Gibran sudah pergi dari rumahnya,, Willie langsung saja berjalan cepat masuk dalam rumahnya.

"Tari.. tari" teriak Willie dari luar kamar.

Willie membuka pintu kamar dengan kasar,, sehingga membuat Mentari terkejut.

"Seneng lu pulang dianterin sama Gibran."

"Nggak tau lu dari tadi gua pergi cariin lu ah" bentak Willie pada Mentari.

“Emang wajah lu aja yang sok polos, tapi kelakuan lu sama kampungan-nya dengan tempat asal lu tinggal.”

"Dasar gadis kampung nggak tau diri lu" maki Willie yang terus merendahkan Mentari.

"Maaf kak" ucap Mentari lirih.

"Ingat lu tu udah jadi istri orang,, jadi nggak usah kecentilan sama cowok."

"Muka aja lu yang polos,, tapi kelakuan murahan" ucap Willie ketus.

Mendengar dirinya disebut kampungan dan murahan oleh Willie, Mentari sangat sakit hati dan tidak terima. Dia tidak pernah sedikit pun ada niat untuk mendekati cowok lain, apalagi teman-teman suaminya sendiri.

"Maaf kak kalau aku salah pulang sama kak Gibran,, tapi aku bukan murahan" ucap Mentari dengan sedikit menaikkan suara.

"Berani lu meninggikan suara sama gua!" bentak Willie.

"Lu tu harus nya sadar diri,, lu itu cuma gadis kampung yang beruntung menikah dengan cowok tajir kayak gua."

Mentari sakit hati mendengar ucapan suaminya itu,, tapi ia harus kuat. Mentari harus bisa meluluhkan hati Willie. Dia sudah tau resiko menerima perjodohan ini, jadi Mentari tidak boleh menyerah.

"Awas ya kalau sampai lu bilang sama orang lain kalau kita udah nikah,, gua nggak mau mereka tau gua nikah sama gadis kampung kayak lu."

"Lu udah lihat sendiri kan kalau pacar gua jauh di atas lu."

"Jadi lu nggak usah berharap gua bakalan suka sama lu."

Willie langsung saja keluar dari kamar,, namun sebelumnya dia menatap Mentari tajam.

"Satu lagi awas lu sampai deketin Gibran atau pun Geral" Willie langsung keluar dari kamar dengan membanting pintu keras.

Seketika air mata Mentari kembali turun,, kini bukan karena ia takut akan suara petir atau gemuruh, tapi karena ucapan Willie yang sangat menyakitkan hatinya.

Mentari mendudukkan tubuhnya di pinggir tempat tidur sambil menangis terisak-isak.

"Ayah Mentari nggak kuat" gumam Mentari lirih.

"Mentari ingin balik aja ke kampung dan bisa berkumpul dengan ayah dan teh arumi."

Gadis itu menengelam kan wajahnya sambil memeluk kedua kakinya.

Mentari tidak pernah berfikir kalau kehidupan rumah tangga yang dibilang ayah nya akan indah menjadi seperti sebuah neraka bagi dirinya.

Memang mama dan papa mertua dia sangat menyayangi Mentari seperti anaknya sendiri,, tapi ia tidak di perlakukan oleh Willie selayak nya seorang istri. Malah lebih tepatnya dia dianggap sebagai benalu yang menyusahkan bagi cowok itu.

Willie yang sebenarnya tidak pergi kemana-mana dan hanya berdiri di depan pintu kamarnya mendengar isak tangis dari Mentari.

Ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya karena telah berkata kasar pada Mentari,, tapi ia tidak boleh luluh hanya karena suara tangisan gadis itu.

Pusing akan semua ini,, Willie memutuskan untuk pergi keruangan gym yang ada di rumahnya.

.

Sedangkan saat ini di kampung Arumi merasa tidak tenang akan Mentari,, dari tadi ia selalu kefikiran adik kecil nya itu.

'Ya tuhan semoga Mentari baik-baik saja disana' batin Arumi mengusap dadanya.

"Rum.." ucap Jaka.

"Ayah.. ayah butuh sesuatu?" tanya Arumi pada ayahnya.

"Tidak Rum,, ayah perhatikan dari tadi pagi kamu seperti sedang memikirkan sesuatu hal" ucap Jaka sambil mengusap lengan Arumi.

"Arum baik-baik saja yah" ucap Arumi.

Arumi tidak mengatakan pada ayahnya tentang rasa khawatir dalam dirinya terhadap Mentari. Arumi tidak ingin penyakit sang ayah kambuh karena hal ini.

"Kamu yakin Rum."

"Kamu itu putri ayah,, jadi ayah tau bagaimana kamu."

"Yakin yah,, udah ayah nggak usah mikir yang aneh-aneh. Arum baik-baik aja" ucap Arumi sambil tersenyum.

Jaka menarik tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya,, ia mengusap lembut kepala Arumi.

"Ayah hanya ingin kalian semua bahagia."

"Ketika ayah sudah tidak ada lagi,, ayah bisa tenang meninggalkan kalian semua."

"Ayah nggak boleh bicara seperti itu,, kita semua ingin ayah sembuh dan selalu bersama kita" Arumi menatap sang ayah.

"Ayah kangen Mentari rum" ucap Jaka.

Akhirnya ucapan itu keluar dari mulut Jaka,, sejak kepergian sang putri ikut dengan keluarga suaminya, ada yang hilang dalam diri Jaka.

"Biasanya kalau hujan begini Mentari selalu lari kepelukan ayah karena takut akan suara petir" Jaka tersenyum lirih.

"Semoga saja saat ini Willie bisa menenangkan Tari" lanjut Jaka.

Arumi hanya diam saja,, ia mendengarkan ucapan sang ayah. Sebenarnya Arumi ingin menangis mengingat hal itu tapi ia tidak boleh menangis di depan sang ayah.

'Semoga Tari bahagia disana yah' batin Arumi dengan tersenyum pada ayahnya.

"Gimana kalau kita telfon Mentari yah" usul Arumi.

"Apa tidak menganggu Tari Rum?" tanya Jaka.

"Kita coba dulu ya yah,, siapa tau Tari lagi santai."

"Yasudah" ucap Jaka singkat.

.

Mentari yang saat ini masih sesegukan,, tiba-tiba saja mendengar ponselnya berbunyi.

Tring... Tring...

Mentari langsung saja mengambil ponselnya dalam tas.

"Teh Arumi" Mentari terkejut dengan orang yang menelfon dirinya. Mentari langsung menghapus air matanya dan mencoba mengatur nafas.

"Hallo Assalamualaikum teh" ucap Mentari tersenyum manis.

"Waalaikumsalam Tar,, kamu apa kabar disana?" tanya Arumi dari sebrang sana.

"Alhamdulillah Tari baik-baik saja teh."

"Ayah gimana keadaan nya teh?" tanya Mentari.

"Assalamualaikum sayang" ucap Jaka tersenyum.

"Waalaikumsalam ayah,, Tari kangen sama ayah" ucap Mentari.

"Ayah sehat-sehat aja kan disana?"

"Ayah baik-baik saja sayang,, kamu gimana disana, betah?" tanya Jaka.

Mentari tidak menjawabnya,, ia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.

"Alhamdulillah" ucap Jaka merasa senang.

"Tari kamu habis nangis?" tanya Arumi.

Mentari langsung saja gelagapan dibuat nya,, bagaimana ini, apa yang harus dia jawab.

"Hehe iya teh,, biasa Tari nangis karena suara petir."

"Teteh sama ayah kan tau kalau Tari takut sama suara gemuruh dan petir."

"Lalu bagaimana kamu sekarang sayang?" tanya Jaka khawatir dengan putri kecilnya itu.

"Sekarang tari udah nggak papa yah."

"Willie mana Tar?" tanya Arumi.

"Kak Willie keluar sebentar teh,, ngambilin minum untuk Tari."

"Sungguh suami yang baik nak Willie itu" ucap Jaka.

"Terus yang nenangi kamu waktu nangis siapa Tar?" tanya Arumi,, ia merasa kalau Mentari sedang menyembunyi kan sesuatu hal.

"Kak Willie teh" ucap Mentari.

"Syukurlah kalau Willie yang nenangin kamu,, teteh kira dia acuh aja sama kamu" ucap Arumi.

"Rum kamu nggak boleh bicara seperti itu tentang nak Willie" ucap Jaka.

"Ya maaf yah" ucap Arumi.

"Sayang kamu baik-baik disana ya,, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk hubungi ayah" ucap Jaka.

"Iya Tar,, kalau kamu kenapa-napa hubungin aja teteh ya" ucap Arumi.

"Iya yah,, teh. Makasih masih sayang sama Tari" ucap Mentari tersenyum.

"Kamu ngomong apa,, sampai kapan pun kita semua sayang kamu" ucap Arumi.

"Yaudah kamu istirahat sana,, maaf teteh video call ya."

"Teteh ngomong apa sih,, Tari malah senang kalian video call” ucap Mentari.

"Kamu jaga kesehatan disana ya sayang" ucap Jaka.

"Iya yah,, ayah juga harus jaga kesehatan ya."

"Udah dulu ya Tar,, assalamualaikum" ucap Arumi.

"Waalaikumsalam teh" Mentari langsung saja mematikan sambungan video call nya.

Mentari kembali menangis dengan terisak.

"Maafin Tari ayah, teh harus bohong sama kalian" gumam Mentari lirih.

Bersambung....

1
Kyo Miyamizu
Wuih, plot twistnya dapet banget sampe gak tau mau bilang apa lagi.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!