Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Ketika Abel datang dengan mata nyalang—tangan terkepal dengan deru nafas naik turun— Evan dan kawan-kawan refleks mundur. Aura baku hantam menguar begitu kuat, yakin 100% peperangan akan pecah sebentar lagi.
“Bangun, Lak.”
Laksa justru tersenyum tipis—mengejek dengan seringaian angkuh— sebelum melakukan push-up 10 kali lagi sesuai harapan mereka.
“LAKSA!”
“Apa?” Dia menoleh. “Gue ogah punya utang sama mereka.”
“Kalian bener-bener kelewatan, ya?”
“Udah lewat. Nggak ada gunanya lo marah-marah kayak gini.” Laksa menyangklong tasnya, bersiap bertolak ke lantai tiga.
“Bukan masalah marah-marah atau nggak, tapi nggak seharusnya mereka timpang sebelah kayak gini. Gue emang bilang kalau hari ini kemungkinan ada hukuman fisik, tapi bukan berarti harus bikin lo push-up pake tangan terkepal juga dong! Push-up mah push-up aja kayak biasanya, ngapain harus pake gaya kayak gitu? Kita nggak lagi training buat masuk militer.”
“Berisik.”
“Laksa!”
Laksa memejam dengan hela nafas dalam. Abel dengan skill mengocehnya memang begitu merepotkan. Sudah berisik, masih cerewet pula.
“Kasih lihat tangan lo dulu.”
“Nggak usah modus!”
“Gue lagi nggak kepengen gatelin lo, mending lo diem sebelum gue sembur pake es cekek.”
Abel mengamati buku-buku tangan Laksa. Gara-gara push-up dengan posisi terkepal, bagian itu terlihat merah bahkan ada yang terluka juga.
“Nggak usah diusap-usap, kita nggak pacaran.”
“Lo beneran pengen gue sembur pake es cekek?”
Laska menarik tangannya lebih dulu sebelum jantungnya meledak karena salah tingkah. Dia keluarkan semanggi berdaun empat dari dalam ID-Card-nya.
“Kasih ke Bian. Jangan dipatahin, mata gue udah juling buat nyari dia.”
“Bel?”
“APA?!” Abel menjawab dengan nada ketus. “Urusan kita belum selesai, ya, Epan. Jangan harap gue bakal lepasin lo di eval nanti.”
“Pan?” Chandra tersenyum tipis. “Ini mah maju kena, mundur juga kena, nggak sih?”
“Mungkin setelah ini kita bakal jadi remahan tempe.”
Abel termenung di anak tangga, sampai-sampai beberapa teman OSIS mengatainya tengah dirundung badai besar. Bagaimana tidak? Sudah duduk di anak tangga terakhir dengan tangan menyangga kepala pula. Belum lagi dengan wajahnya yang kelewat nelangsa itu.
“Heh, lo tuh kebagian tugas buat nyetting proyektor malah kelayapan sampai sini,” ujar Anjani.
“Biar aja tuh proyektor nyetting sendiri. Manja amat pengen disettingin segala. Gue sibuk. Gue nggak mood. Gue lagi kepengen makan orang.”
Anjani langsung duduk mepet-mepet. Dia sempat tolah-toleh sebelum berbisik seperti admin gosip. “Lo tahu? Kata anak-anak, Bian targetin Laksa karena dia deket-deket sama lo terus. Beritanya udah sampai ke anak baru, Coy! Gila, ya? Sebenarnya lo punya hubungan apa sih sama Bian? Nggak profesional banget kalau bikin dia manfaatin jabatan kayak gini.”
“Nggak ada hubungan apa-apa.”
“Ngga percaya.”
“Yee, orang dikasih tau malah nggak percaya. Yang punya hubungan tuh sebenarnya siapa, gue tanya?”
“Tapi beneran nggak ada apa-apa, ‘kan?” Anjani mengekori Abel yang memboyong kotak P3K.
“Kalau sama Laksa sih, mungkin aja bakalan iya dalam waktu dekat.”
“Gue lebih percaya kalau Gemini nggak suka HTS-in anak orang.”
“Ahahah, sial!”
Kehadiran mereka sempat menyita perhatian, terutama kotak P3K yang memenuhi telapak tangan si Kalula. Tapi seperti tidak pernah terjadi apa-apa, dia berjalan dengan santai, menuju bagian belakang aula seolah tidak peduli dengan tatapan Bian.
“Lanjut aja, Kak. Cuma lewat kok,” ujarnya.
Anjani langsung menggeser posisinya, kini lebih merapat pada Dito yang tengah mengabadikan momen. “To. Dito. Lo mencium bau-bau peperangan nggak sih?”
“Gue lebih mencium bau parfum lo yang kemanisan itu sih.”
“Semprul! Masih aja ngejekin bau parfum gue padahal baunya enak begini.”
“Bikin laper.”
Bian memimpin jalannya acara, sesekali melirik Abel yang terang-terangan menatapnya tanpa gentar. Di tengah acara, seseorang datang dengan langkah tergesa. Peluh sebesar biji jagung terjun bebas dari pelipisnya.
“Maaf sudah terlambat, Kak.”
“Kenapa bisa terlambat?”
“Kehabisan bensin di tengah jalan.” Ia berusaha tenang, sekali pun semua orang mulai memperhatikannya. “Tapi, saya udah kasih tau ke kakak pendamping kok. Dia bilang saya bisa langsung ke sini tanpa perlu menjalani hukuman.”
“Kalau begitu s—“
“Ambil posisi push-up!” teriak Abel dari tempatnya. “Dua puluh kali sesuai ketentuan.”
“Tapi, Kak, kata kakak pendamping saya nggak akan dihukum selama kasih bukti akurat. Saya nggak bohong kok, bensin saya memang abis di tengah jalan.”
“Ambil posisi push-up!”
“Bel, lo mau ngapain sih?” Anjani berbisik sembari menarik lengan sahabatnya.
“Push-up pakai posisi biasa, kalau pake tangan terkepal takutnya malah menyalahi aturan. Ada yang bilang, telat bakal tetap jadi telat entah apapun alasannya, jadi jalanin aja hukumannya.”
Bian sempat menatapnya. Si target sempat melirik kakak pendampingnya sebelum akhirnya pasrah.
“Thank you udah kooperatif. Lo keren!” puji Abel. Dia bahkan tak segan-segan mengacungkan dua jempolnya.
“Heh, lo beneran mau cari gara-gara sama Bian, ya? Nggak lihat itu mukanya udah mau nelen orang?”
“Dia yang mulai duluan. Di mana-mana, anggota, ‘kan, cuma ngikut perintah ketua.”
Di saat yang sama, Abi refleks berdehem pelan ketika Bian terang-terangan menghujani Laksa dengan tatapan tajam. Ia memang belum mendengar detail ceritanya, tapi melihat buku tangan Laksa yang terluka, agaknya sesuatu yang menyenangkan telah terlewat olehnya.
“Lo utang cerita ke gue,” bisiknya.
“Ogah!”
Sisa acara terasa lebih tegang daripada kemarin-kemarin. Bahkan setelah jam istirahat dimulai, sisa ketegangan itu belum juga usai.
“Lo mau ke mana? Abel!” Anjani hanya bisa menghela nafas. Si sinting itu benar-benar ingin cari perkara dengan Bian.
“Duduk!”
Laksa yang hampir meninggalkan tempat duduk kontan menoleh. “Minggir. Gue mau ke toilet.”
“Lo bisa pergi nanti. Gue lagi nggak sabaran, kalau lo sengaja ngajak baku hantam, gue ladenin sampai cape. Tapi sekarang duduk dulu. Kalau kelamaan, keburu nasi kotak gue diembat sama Dito.”
“Widih, ada yang mau pacaran nih.” Abi mulai menaik-turunkan alisnya, menggoda. “Gue harus jadi tukang hore apa penonton bayaran lalala yeyeye?”
“Bantu gue ambilin jatah makan siangnya aja, Bi.”
“Bayar pake cerita lengkap, ya?”
“Lo admin lambe turah?” Yang diejek malah cengengesan. Tak urung tetap berlalu setelah mengejek Bian.
“Gue bisa obatin sendiri.”
“Kalau bisa, sok. Gue lihatin sampai selesai.”
Laksa mendengus. Meskipun dia bilang bisa, tapi tak kunjung melakukannya juga.
“Katanya bisa? Sok, kerjain.”
“Nanti juga sembuh sendiri. Minggir! Gue mau cabut.”
Abel malah sengaja menghalangi jalan. Kini, dia menyangga kepala dengan bertumpu pada kursi Laksa.
“Ck! Lo mau ngapain sih? Kayak anak kecil aja.”
“Apa sih? Orang gue cuma mau obatin bapaknya. Kasihan kalau luka, nanti tangannya nggak kelihatan ganteng kayak kemarin-kemarin lagi.”
“Stress.”
Abel mengobati dengan telaten, bahkan meniupinya seolah tengah mengobati luka anak kecil. Meskipun terlihat sederhana, tapi Anjani hampir dibuat gigit lengan—Dito yang jadi korban— karena terlalu gemas.
“Tadi disuruh push-up berapa kali?”
“Lupa.” Alhasil, Abel menekan lukanya cukup kencang. “Akhhh. Lo bisa ngobatin orang nggak sih?!”
“Makanya jawab yang bener. Kalau bohong lagi, gue doain hidung lo melar sampai satu meter.”
Laksa melengos. “Dua puluh tujuh.”
“Kok ganjil?”
“Menurut lo aja gimana?”
“Yang tujuh kali cuma dianggap satu?” Yang lebih muda terdiam lagi. “Kenapa disuruh push-up tiba-tiba? Bukannya udah dapat semangginya?”
“Tanya aja ke mereka.”
“Karena telat?”
“Berhenti nanya-nanya, lo berisik.”
“Berisiknya, ‘kan, karena sayang.” Abel mulai membalut tangan Laksa dengan hati-hati. “Kalau gue nggak sayang sama lo dan anak-anak gugus Harimau, gue nggak akan cerewet di grup cuma buat ingetin barang bawaan kalian. Gue juga nggak akan bela-belain begal abang-abang tukang siomay cuma buat kasih kalian apresiasi kecil. Kalau gue nggak sayang, gue nggak akan di sini, Laksa. Mending makan nasi kotak sampai kenyang daripada cosplay jadi dokter kecil begini.”
Laksa masih melengos. Entah kenapa, ia jadi merasa bersalah sekarang.
“Udah gue ambilin jatah makan siang lo nih. Sekarang bayar ongkosnya pake cerita,” Abi duduk di hadapan keduanya.
“Sariawan tuh temen lo.”
“Ah, masa? Sariawan apa lagi nahan salting?”
“Ngada-ngada.”
“Btw, waktu gue mau pinjem pulpen, gue lihat kotak isi risol mayo di dalam tas lo. Buat siapa tuh, kok ada pitanya segala?”
“Bukan buat siapa-siapa.”
Abi kontan tersenyum lebar. Menggoda Laksa dengan kekehannya. “Ya elah, udah mulai bales-balesan makanan nih ceritanya? Kira-kira, jadiannya episode berapa?”
“Gue beli buat gue makan sendiri.”
“Ohhh, gituuu.”
Abel segera bangkit. Dia sempat menjatuhkan tepukan di masing-masing kepala Abi dan Laksa sebelum berlalu dengan Anjani yang masih tergila-gila karena interaksi itu.
“Selamat makan siang, Anak-Anak Harimauku.”