KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 3
Halo, readers tersayang! 😍👋🏻✨️
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk mampir dan membaca karya author ya 🫶🏻 Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, supaya author tahu kalau karya ini disukai. Dukungan kecil dari kalian berarti besar banget buat semangat author biar nggak nyerah dan terus menulis! 📖🖊🤗💖
...—...
Ketika Nara membuka mata, kamar itu sunyi, gelap, dan terasa mencekik. Sinar tipis fajar hanya mampu menyelinap secuil dari balik tirai tebal. Ia merasakan berat, hangat, dan sesak, dan baru sadar tangan Sergio melingkari perutnya dari belakang. Pria itu masih tertidur pulas.
Memori kejadian semalam menerjang, bukan sekadar dingin, melainkan es yang menusuk hingga ke tulang. Ia merasakan setiap serat tubuhnya berteriak: perih, memar, dan ternoda. Air mata tidak juga keluar, seolah jiwanya terlalu terkejut, terlalu beku untuk meneteskan kesedihan. Yang ia rasakan hanyalah kehampaan dan kebutuhan mutlak untuk melarikan diri.
Dengan rasa sakit yang menusuk setiap ototnya, Nara bangkit. Gerakannya sepelan dan setenang mungkin, seolah takut membangunkan monster. Ia merapikan seragamnya yang compang-camping, mengancingkan kancing-kancing yang terlepas, semuanya dalam keheningan yang tergesa-gesa. Kamar 308A terasa seperti kuburan hidup. Ia harus keluar. Sekarang.
Ia berlari, tidak peduli bertemu siapapun di koridor VIP yang sepi.
Pergelangan tangannya terasa panas. Ia melihat bekas genggaman Sergio yang menghitam dan memar. Bukan hanya itu saja, tubuhnya di penuhi oleh bekas ciuman dan gigitan, itu menjadi bukti bisu dari kebrutalan tadi malam
Ia membuka pintu, langkahnya tergesa-gesa. Dan saat ia menutup pintu 308 A, ia langsung menabrak seseorang.
"Nara"
Itu adalah Bayu, suami Risa, yang bekerja sebagai petugas keamanan di kapal ini. Pria itu menatapnya dengan ekspresi terkejut dan berubah cepat menjadi khawatir. Mata Bayu langsung tertuju pada memar di leher Nara, lalu ke pergelangan tangannya. Baju yang Nara pakai juga terlihat kusut dan sebagaian kancing lepas.
"Kamu... kenapa keluar dari kamar itu? Kamar VIP?" tanya Bayu, suaranya sangat rendah, seolah dia sedang berburu. Ada senyum yang hampir tidak terlihat, cepat menghilang, digantikan oleh kekhawatiran yang terasa dibuat-buat.
Nara menunduk, jantungnya berdebar liar, darahnya seolah ditarik dari kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya... salah kamar. Aku mau ke kamar 303, katanya ada yang salah dengan minibar-nya." Jawabnya terbata-bata, setiap kata terasa seperti pasir di lidahnya.
Bayu melipat tangannya, ekspresinya berubah menjadi mencurigakan. "Aku baru saja menerima panggilan mencurigakan dari lantai ini, sekitar satu jam yang lalu. Dan sekarang, aku melihat seorang pelayan, yang seharusnya bertugas di lantai bawah, keluar dari kamar 308A. Kamar seorang klien yang sangat penting. Salah kamar... Nara, itu tidak masuk akal. Apa kamu tidak bercermin? Lihat penampilanmu yang kacau ini. Katakan dengan jujur padaku... apa yang terjadi di dalam?"
Nara mundur selangkah, air matanya mulai menggenang. "Tidak ada yang terjadi, aku baik-baik saja. Aku harus segera kembali ke laundry."
Bayu Mencengkeram lengan Nara, sentuhannya kasar dan dingin
"Ah." Nara terkesiap, rasa sakit menjalar dari memar di pergelangannya.
"Tidak. Kamu tidak akan ke mana-mana. Masalah ini harus diselesaikan sebelum Kapten melihatmu. Dan Kapten akan melihatmu, kalau kamu berkeliaran dengan penampilan seperti ini. Ikut aku. Risa mencarimu, dia khawatir setengah mati."
Nara, dalam keadaan syok dan linglung, hanya bisa mengikuti. Tubuhnya terasa berat, rapuh, dan jiwanya sudah melarikan diri.
Di kamar staf mereka yang sempit, Risa sudah menunggu. Ia melompat dari ranjang, air mata palsu langsung memenuhi pelupuk matanya.
"Ya Tuhan, Nara!" Risa bergerak cepat, memeluknya. Pelukan itu terasa seperti belitan tali yang perlahan mengencang. Ia mengusap punggung Nara, tapi pandangan matanya yang bertemu dengan Bayu di atas kepala Nara, penuh dengan kemenangan yang keji. "Bayu sudah cerita. Siapa pria itu? Katakan padaku! Kurang ajar! Dia sudah menyakitimu. Aku akan melapor ke Kapten!"
Nara menarik diri dengan gerakan yang kaku, menghindari tatapan mata Risa. "Sudahlah... aku tidak mau bicara. Aku baik-baik saja. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tidur."
Ia menatap cermin di kamar itu, dan barulah ia menyadari betapa mengerikannya penampilannya. Pakaiannya kusut, rambutnya acak-acakan, dan yang paling mencolok, ada banyak memar kebiruan di leher, bahu, dan lengan. Di pergelangan tangan kirinya, terlihat jelas bekas genggaman yang menghitam.
Bayu bersandar di pintu, sorot matanya menilai. "Nara, dengarkan kami. Ini serius. Klien itu... dia adalah Tuan Sergio, seorang pengusaha kelas kakap. Apa pun yang terjadi, itu akan jadi bumerang untukmu. Reputasimu hancur. Apalagi kalau sampai berita ini bocor bahwa dia sudah menikah."
Risa menambahkan, suaranya dipenuhi rasa kasihan palsu. "Dengar, Nar. Aku tahu kamu pasti syok, tapi ini namanya aib. Kamu pelayan, dia tamu VIP. Istrinya seorang selebriti. Jika kamu melapor, kamu yang akan dituduh merayu, atau lebih buruk lagi, memeras. Mereka punya pengacara mahal."
Mereka berdua membujuknya, menggunakan kata-kata aib, reputasi, dan karir sebagai senjata. Mereka menekannya untuk diam, padahal Nara memang tidak berniat melapor. Sergio adalah bagian dari masa lalunya, dan membuka kasus ini sama saja dengan menghancurkan segalanya ... untuk Sergio, untuk istrinya, dan yang paling ia takuti, untuk dirinya sendiri.
"Aku akan tutup mulutku," janji Nara, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan anggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak pernah."
Risa pura-pura menghela napas lega, seolah beban berat terangkat. "Bagus, Ra. Itu keputusan yang bijak. Kamu tidak boleh menghancurkan masa depanmu demi pria brengsek itu."
Kemudian, Risa menghela napas lagi, sebuah suara manipulatif. "Tapi... kita tidak bisa membiarkanmu begitu saja. Kamu tidak bisa kembali bekerja besok dengan memar seperti itu. Aku akan coba bicara baik-baik dengan pria itu. Meminta sedikit ganti rugi. Untuk biaya pengobatan, untuk memulihkan trauma... Ya, anggap saja kompensasi kecil, agar dia tidak mengulangi ini pada staf lain. Bukankah kita harus punya bukti untuk berjaga-jaga?"
Nara langsung menolak, nada suaranya tegas. Ia tidak butuh uang yang berlumuran dosa tak termaafkan itu. "Tidak! Jangan. Tidak perlu!” Nara menahan Maya yang pura-pura akan pergi. "Aku tidak butuh uangnya. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti semula. Aku tidak butuh ganti rugi, Ris. Kumohon, biarkan saja"
Risa memutar bola matanya sedikit, seolah merasa terbebani oleh kepolosan Nara. "Baiklah, kalau kamu gak mau. Tapi... aku akan tetap coba. Demi persahabatan kita, agar dia tahu ada konsekuensi. Lagipula, jika kita punya uangnya, itu bisa jadi uang diam, untuk memastikan kita berdua diam." Ia membiarkan kalimat itu menggantung, sebuah manipulasi halus yang mematikan.
Nara lelah untuk berdebat. Ia hanya mengangguk pasrah, terlalu hancur untuk menyadari bahwa kepasrahan itu adalah izin yang Risa butuhkan.
Di balik punggung Nara, saat ia sudah tertidur di ranjangnya, Risa dan Bayu saling bertukar senyum tipis, senyum kemenangan yang keji. Rencana mereka telah berjalan mulus. Jebakan panggilan tengah malam dan penggunaan Bayu sebagai saksi kunci, semuanya terkendali.
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭