Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janggal
Setelah berkutat hampir lima jam lamanya akhirnya semuanya selesai juga. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku yang di bantu ibu dan mas Rama tadi, akhirnya bisa menyelesaikan semuanya. Dan besok tinggal membawanya saja.
"ya udah gih, sana tidur. Udah malam juga." ucap mas Rama.
Aku mengangguk, beranjak lalu berjalan perlahan menuju ke kamar. Mata yang sudah lengket akhirnya terpejam juga, untungnya sudah shalat isya tadi jadi tinggal tidur saja.
Pagi menjelang, sesuai yang di katakan mas Rama kami kerumah mbak Sinta sekitar jam sembilan pagi. Rencananya kami mau membawa sebagian warga tapi kata ibu cukup pak RT dan beberapa orang saja.
"ini beneran bawa hantarannya pakai motor?" ucapku tak habis pikir. Pasalnya mas Rama menyusun semua hantaran itu di dalam keranjang along-along. Tau along-along? Itu loh keranjang yang untuk langsir buah sawit.
"jadi mau bawa pakai apa? Mobil? Udah tau di sini gak ada yang punya mobil. Masa iya, pakai truk." omel mas Rama.
" sudahlah Laras, yang penting kita sampai. Dan barang itu tidak rusak."
Aku mengangguk, terserahlah. Lagian aku juga berharap acara ini batal. Entahlah, berat kaki mau menuju kesana.
Pak RT dan tiga warga lainnya mengiringi motor kami, agak malu sih tapi ya sudahlah. Dan tak butuh waktu lama akhirnya kamipun tiba.
Ternyata keluarga mbak Sinta sudah menunggu sama seperti waktu itu.
"gak salah neng,?" bisik pak RT.
"salah apa pak?" ucapku saat turun dari motor.
" masa mereka pakai baju duyung." Segera mataku melihat ke depan, dan apa itu? Mengapa mereka memakai pakaian mirip duyung. Dan itu mengapa warnanya hijau lengkap dengan manik-manik begitu.
"buk, mereka waras gak sih?" bisikku. Entahlah, aku yakin setelah ini kami pasti menjadi perbincangan hangat di desa. Apalagi mulut istri pak RT itu lemes. Ndehhhh.
"sudahlah, diam saja. Yang penting kan acaranya bukan bajunya."
Kami segera berjalan mendekat pada mereka. Dan saat sudah saling berhadapan aku melirik gaun duyung yang di gunakan mbak Sinta, seperti ada lendir yang menetes. Tapi, masa iya ada lendirnya.
Ku pertajam penglihatan ini, malah semakin ngeri melihatnya.
"ayo semuanya kita masuk." Ku lirik ibu tapi tatapan ibu tetap ke depan.
Dengan sedikit ragu, aku melangkah masuk. Bau amis dan anyir langsung memenuhi rongga hidung ku bahkan membuat kepala ini langsung oleng.
"silahkan duduk bapak-bapak." ucap ibunya mbak Sinta.
Pak RT dan dua yang lain segera mendaratkan bokong, begitupun dengan kami bertiga. Basa basi sejenak akhirnya dengan cepat pak RT menyampaikan niat kami untuk melamar mbak Sinta, dengan senang hati mereka semua serentak menganggukkan kepala.
Cincin sudah di pasangkan ibu di jari manis mbak Sinta, begitupun dengan kalung serta gelangnya.
"mbak Sinta cantik ya buk." ucap adik mbak Sinta, astaga giginya kuning sekali apalagi dia berkata seperti itu sambil meringis.
Panjang lebar kami mengobrol sambil sesekali aku melirik gaun yang mereka kenakan, entahlah aku tidak bisa berkata apapun lagi saat ini. Dan tibalah saatnya makan, semua sudah terhidang di lantai yang beralaskan karpet hijau.
"ayo semuanya jangan sungkan-sungkan." ucap bapak mbak Sinta.
Rata-rata semua warna hijau, bahkan nasi dan ikan juga berwarna hijau.
"kok hijau mbak?" ucapku seraya mengangkat satu gelas minuman yang ada di tanganku.
"itu tradisi keluarga kami, kalau ada acara semua harus berwarna hijau."
Aku mengangguk, tapi aku hanya meminum nya sedikit tak kuasa untuk menghabiskannya. Terlihat pak RT dan yang lainnya begitu lahap aku saja sampai melongo.
"ayo nak Laras di makan, jangan dilihat saja."
Aku mengangguk, namun sejurus kemudian perutku rasanya ingin mengeluarkan sesuatu, bahkan sudah tak tertahan lagi.
"maaf saya harus ke kamar mandi." ucapku.
Berhubung aku sudah tau di mana tempatnya, jadi tidak perlu di temani lagi. Dengan cepat kami ini melangkah, masuk dan langsung mengeluarkan isi perutku.
"leganya." batinku. Namun saat aku hendak keluar telingaku menangkap suara aneh dari arah dapur.
"sluuuurp... Sluuuurp... Sluuuurp."
Aku dekatkan telinga ini, mencoba untuk menyakinkan bahwa yang ku dengar tidak seperti apa yang ada di hatiku.
"suara apa ya?" ucapku pelan. Ku rendahkan tubuh ini, mengintip dari lubang kecil yang kebetulan mengarah tepat ke dapur. Dan apa kalian tau, makhluk apa di depan sana?
Tubuhnya mirip seperti katak tapi kepalanya mirip seperti ikan lele. Jantungku seketika berdegup kencang, makhluk apa lagi itu. Belum lagi hilang rasa terkejut ku tadi telinga ku kembali menangkap suara seperti orang menjilat-jilat sesuatu.
Kembali aku merendahkan tubuh mengintip kembali apa yang tengah dilakukan makhluk itu. Ternyata dia tengah menjilati aneka makanan yang tengah tersaji di atas meja makan.
Perut yang sudah nyaman tadi kembali bergejolak, sebisa mungkin ku tahan agar makhluk itu tak mendengar nya karena jarak kami sangat dekat.
Cukup lama aku mengintip, setelah makhluk itu merasa puas akhirnya dia bilang dengan sendirinya.
Bergegas aku keluar, mengmbil langkah seribu jangan sampai dia memergoki ku di sini.
"lama amat Laras," bisik ibu.
"sakit perut."
" jadi sudah kita putuskan ya pak, kalau nak Rama dan Sinta seminggu lagi akan menikah."? Ucap pak RT.
" benar pak, semakin cepat bukan kah semakin baik." ucap bapak mbak Sinta seraya melirikku.
"benar-benar."
Mereka tertawa bersama, dan tibalah saat nya untuk kami pamit undur diri. Mbak Sinta dan ibunya beranjak menuju dapur lalu membawakan bingkisan yang yang ada di meja belakang.
"jeng, ini ada sedikit buah tangan dari kami tolong di terima ya." ucap ibu mbak Sinta seraya meletakkan aneka makanan di depan kami, begitupun pak RT dan dua yang lainnya mendapatkan bagian juga.
"terimakasih banyak jeng, malah repot-repot begini."
" gak repot kok jeng,"
Mataku masih terus tertuju pada bingkisan itu, setelah berpamitan kami akhirnya kembali pulang. Tapi mas Rama nanti katanya, karena dia ada sedikit urusan dengan mbak Sinta.
Setibanya di rumah, ibu langsung meletakkan bingkisan itu di atas meja, dan membukanya. Aroma harum memenuhi ruangan ini.
"jangan di makan buk." ucapku saat ibu hendak menyicipi kue yang berwarna hijau pekat itu.
"kenapa?"
Gegas ku ambil potongan kue yang ada di tangan ibu, lalu ku lempar ke lantai. Dan saat kue itu menyentuh lantai, seketika mengeluarkan asap bahkan dari kue tersebut keluar belatung-belatung kecil yang bau.
"astaga Laras." ucap ibu takut.
"benar dugaan ku buk." ucapku masih terus menatap kue yang di kerubungi belatung tersebut.