Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 : Kesepakatan
“Apa yang harus kulakukan? Bantuan seperti apa yang kau perlukan, Padmini?” Igun bertanya lirih.
Padmini mengeluarkan buntalan dari kain jarik yang sudah dia jahit tangan di gubuk bu Halimah. “Pergilah ke kota. Jual emas itu, sebagian uangnya belikan barang yang sudah tertulis di dalam kertas dalam buntalan. Selebihnya, belilah motor bekas masih layak pakai! Aku butuh tenaga dan ketangkasan mu bila sewaktu-waktu menginginkan bantuan darurat.”
Emas tersebut Padmini ambil sedikit dari harta warisan orang tuanya sebelum diberikan ke bu Halimah untuk pengobatan Rahardi.
Igun melebarkan tali ikatan, memandang terkejut pada gelang tangan bulat polos, dua untai kalung, ketiga benda itu berukuran besar. Ia pun menarik keluar surat perhiasan, seketika langsung sesak napas kala membaca harga tertera. “Untuk beli harga diri warga sekampung yang memang setipis daun kelapa, cukup ini Padmi.”
“Memang itu yang ingin kulakukan, tapi bukan harga diri melainkan akal sehat mereka.” Padmini menyeringai, memandang batu ditengah-tengah sungai yang dijadikan tempat ritual layaknya dukun sakti. “Mereka diberikan akal tapi malas menggunakannya. Membabi-buta melakukan tindakan anarkis, tanpa rasa bersalah sama sekali. Bukankah lebih baik tenggelamkan saja kewarasan manusia tak berotak seperti itu?”
“Aku setuju!” sahut Igun cepat. Dia termasuk orang yang tidak tegaan, tapi dalam sekali waktu bisa jadi si paling kejam.
“Padmi ….” ragu-ragu dirinya ingin bertanya, ditarik-tariknya rambut sebahu tidak disisir. “Kalau nanti aku sudah jadi budak, eh ... kerocomu apa makanan ku tetap menu manusia normal? Bukan seperti film hantu yang pernah ku tonton ‘kan, makan bunga Kantil, daging mentah?”
“Kau tetap manusia, cuma mungkin hati nuranimu terkikis agar rasa empati tak mengacaukan rencana balas dendamku!” Padmini memandang tegas, Igun langsung siaga dan merasa merinding.
“Aku paling benci sebuah pengkhianatan! Tak ada ampun bagimu bila kedapatan berkhianat. Kau melihat langsung bagaimana rupa mayat Kirman bukan?”
Jakun Igun naik-turun, dia kesulitan menelan air ludah, tatapannya tidak lagi fokus. “Apa itu ulahmu?”
“Dia korban pertamaku! Kedua tangannya sama sekali tak bermanfaat, bukannya digunakan untuk membahagiakan keluarganya, malah dipakai memenuhi nafsu binatangnya. Makanya kubuat buntung!”
Pemuda itu terpaku, kemudian mundur satu langkah, tapi sesuatu menghentikan aksinya.
Wening dalam wujud Ular, mendesis seraya menegakkan leher dan kepala.
“Mundur satu langkah lagi, maka Ular weling itu bersiap menyemburkan bisa memastikannya.” Padmini berbalik memandang culas wajah pucat Igun. Tidak peduli kalau caranya memaksa asal misinya lancar jaya.
Dia tidak lagi bisa mundur, maka yang dilakukannya maju sampai berdiri sejajar dengan gadis pemilik seringai bak Iblis. “Aku bersedia, Padmi! Sanggup!”
Padmini menyeringai keji, lalu masuk ke dalam air, berjalan ke tengah dan naik di atas batu besar.
“Pulanglah! Besok sore temui aku di gubuk perkebunan perbatasan kampung Hulu dengan desa sebelah.”
Ular weling mendesis lalu melata tepat didepan Igun. Seolah bisa memahami bahasa binatang, pemuda yang sering dikatai karena sifat dan sikap lemah lembutnya, mengikuti kemana si Ular pergi.
Padmini memandang punggung Igun, jarak mereka sudah jauh. Bukan tanpa sebab dan bukan pula asal mencari sekutu – si Igun adalah kandidat paling pas.
Pemuda itu mudah bergaul dengan lawan jenis maupun pria. Tak ada yang mencurigainya dikarenakan pembawaan layaknya wanita perayu. Selain banci, julukannya adalah pemuda tulang lunak.
***
Rido, Sarman, berkumpul dihunian Padmini. Ada juga kekasih mereka, serta keluarga Nisda.
“Ada seorang dukun sakti, tapi masih berkelana ke luar pulau. Kata anaknya bulan depan baru kembali,” ujar Sarman.
“Orang mana dia? Sakti betulan atau cuma sekadar besar cakap saja?” Bambang menghisap lintingan tembakau.
Rido menimpali. “Pasiennya banyak, dan pada bilang manjur. Sesuai tarif lah, berani kita bayar mahal maka hasilnya pun sesuai keinginan kita!”
“Lalu bagaimana dengan pesta pernikahanku? Siapa yang bisa diandalkan? Sementara tinggal sebentar lagi,” Sundari khawatir pesta pernikahannya hancur.
“Biar bibik yang menangani untuk sementara waktu. Meskipun bukan seorang dukun berilmu tinggi, kalau cuma menghadapi hantu tanpa memiliki kekuatan menyakiti cuma bisa menakuti, bibik mampu. Buktinya, saat kalian dinampaki wujud mengerikan itu – hunian kami aman.” Nisda meraih tangkai gelas teh nya, lalu menyesap sedikit demi sedikit.
Sumi menatap rumit. Setelah kejadian tempo hari di selep padi yang sengaja disembunyikan dari lainnya – dia menjadi pribadi suka menaruh curiga pada siapa saja kecuali keluarganya sendiri.
“Kau yakin sanggup, Nisda? Ini pesta besar loh, empat desa diundang. Dapat dibayangkan bukan? Berapa ratus mungkin mencapai ribu orang yang datang. Aku tak mau para makhluk hina itu merecoki hari bahagia putriku!”
Rinda menatap tak suka sang bibi yang meragukan ibunya. “Bik, sudah lebih dari seratus bayi besarta ibunya diselamatkan oleh ibuku. Terus, Ibuk juga sering diundang jadi pawang hujan kalau ada hajatan.”
“Bibik bukan meragukan sahabatku sendiri, Rinda! Cuma mewanti-wanti, ingin semuanya berjalan sempurna. Ini pesta paling mewah, megah yang pernah ada di wilayah kita. Maklumlah kalau Bibik setakut ini!” Sumi pun tidak terima saat ditatap remeh oleh putrinya Nisda.
Wandi menengahi, dia setuju dikarenakan tidak memiliki pilihan lain. Kebetulan kartu undangan telah jadi tinggal disebar, dan kurang dari lima hari sebelum pesta diadakan – para tetangga sudah berdatangan membantu di bagian konsumsi dan dekorasi.
Sudah diputuskan kalau Wati, Mirna, dan Rinda akan menjadi pengiring pengantin. Mereka juga dipercaya membantu lancarnya jalan acara dari pagi sampai malam tiba.
Sumi tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana hasil merampas hak Padmini. Dia menyewa hiburan dua malam berturut-turut – pertunjukan Wayang kulit yang biaya sewanya mahal, dan didatangkan dari luar daerah. Kemudian tontonan layar tancap, hiburan paling diminati.
Untuk konsumsi, Wandi dan Bambang sudah memesan tiga ekor Sapi jantan. Mereka ingin dipuji dan disanjung-sanjug sebagai dermawan, si kaya dan si paling berharta di kampung Hulu.
Pesta ini bukan cuma perayaan pernikahan, tapi ajang pamer harta agar dipandang wah. Sekaligus menaikan derajat keluarga Sumi yang selama ini hidup bergantung pada keluarga juragan Pandu.
Semasa orang tua Padmini masih hidup, Wandi bekerja sebagai pengawas dikebun tebu. Sedangkan Sumi yang terobsesi ingin seperti Menur – sebisa mungkin mengikuti gaya hidup adik sepupunya itu.
Menur begitu dimanja oleh suaminya, dilimpahi kasih sayang dan barang-barang mewah. Juragan Pandu sangat mencintai istrinya, meskipun diluar sana banyak godaan, dia tetap menjaga kesetiaannya untuk Menur seorang.
Sumi tidak suka melihat itu. Dia berusaha merebut perhatian Pandu dengan berpenampilan mirip Menur, tapi sedikitpun tidak dilirik. Obsesi dan rasa iri dengki itu semakin menjadi-jadi, sampai matinya hati nurani, tega mencelakai saudaranya sendiri.
***
“Panas! Perih! Tolong, ini sakit sekali, Argh!”
Seseorang menyeringai keji, menambah bahan bakar sampai asap berbau menyengat membumbung tinggi.
.
.
Bersambung.
Bab ini di jamain readersmu mules semua ,mata berkaca kaca, gigi kering kebanyakan ngakak...
wes angel ....angel tenan nebak jalan pikiran thor Cublik ..
henhao ....joss gandos tenan.