Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 21
“Liam, pernyataanmu itu terlalu cepat,” ucap Lara akhirnya, suaranya bergetar kecil. “Kau tidak mengenal aku sepenuhnya. Kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Masa laluku, hidupku, semua hal yang tidak pernah aku ceritakan.”
Liam menatapnya tanpa goyah. “Lara, itu tidak penting.”
“Itu penting, Liam!” Lara hampir terdengar putus asa. “Aku pernah menikah.”
Liam tidak terkejut. Tidak ada perubahan di wajahnya. Hanya ketenangan yang sama, yang justru membuat dada Lara sesak.
“Pernah,” sahut Liam langsung. “Itu artinya sekarang kau tidak sedang dalam ikatan apa pun, bukan?”
Jawaban itu membuat Lara tersentak. Ia menatap Liam, mencari sedikit keterkejutan, sedikit keraguan, sedikit apa pun. Tapi tidak ada. Liam tetap berdiri di sana, seolah ucapan itu bukan sesuatu yang bisa mengubah arah sebuah hubungan.
“Liam, apa kau tidak mengerti?” suara Lara merendah, nyaris patah. “Aku pernah menikah. Itu artinya aku seorang janda.”
Salju jatuh lebih pelan. Dunia terasa diam dan dingin.
Liam mendekat setengah langkah, tapi masih memberi ruang. “Dan?” suaranya lembut, tetapi tidak ragu. “Apakah dalam hubungan seorang pria lajang tidak boleh menyukai wanita yang pernah menikah? Apakah ada hukum yang melarangnya, Lara?”
Lara terdiam. Dadanya terasa seperti dikunci.
“Liam…” bibirnya bergetar, tapi ia tidak tahu kalimat apa yang harus menyusul.
Liam melanjutkan, lebih pelan, seakan ia ingin kata-katanya meresap tanpa menyakiti. “Status masa lalumu tidak membuatmu kurang berarti. Tidak mengurangi nilai dirimu. Tidak membatalkan perasaan seseorang terhadapmu. Tidak akan. Merubah perasaanmu atau persepsi ku terhadapmu.”
Lara menggigit bibir bawah, merasakan rasa asin yang tiba-tiba muncul di sudut matanya.
“Aku tidak melihatmu sebagai ‘mantan istri seseorang,’” kata Liam. “Aku melihatmu sebagai Lara. Orang yang berdiri di depanku sekarang. Orang yang membuatku ingin tinggal sedikit lebih lama. Perempuan yang membuatku jatuh cinta.”
Lara memejamkan mata. Rasanya seperti ada pintu dalam dirinya yang lama terkunci, dan tangan Liam menyentuhnya dengan sangat pelan, tidak memaksa untuk dibuka.
Ia menarik napas panjang, tubuhnya sedikit bergetar.
Namun di tengah ketakutannya, satu kalimat Liam bergema lagi dan lagi.
Apakah ada hukum yang melarangku menyukaimu, Lara?
Aku mencintaimu Lara.
“Liam, kamu tidak mengerti. Aku tidak bisa…” suara Lara pecah di akhirnya, seperti ada sesuatu yang menahan kata-kata itu untuk keluar lebih utuh.
Liam maju setengah langkah. “Why? Apa ada yang kau tidak sukai dariku?” tanyanya pelan, tetapi ada kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Lara menggeleng cepat. “Bukan itu. Aku tidak bisa denganmu, Liam. Dan itu bukan karena ada sesuatu darimu yang tidak kusukai.”
“Lalu kenapa?” tanya Liam lagi, suaranya turun menjadi bisikan. “Berikan aku alasannya, Lara. Aku, hanya ingin mengerti dengan penolakan itu.”
Lara menunduk. Jemarinya menggenggam mantel, seolah angin dingin menjadi alasan ia bergetar, padahal bukan itu penyebabnya.
“Ini bukan karena kamu,” katanya pelan, perlahan, dengan jeda di antara setiap kata seperti potongan napas yang berat. “Ini karena aku. Hatiku, belum bisa menerima hubungan baru saat hubungan lama masih memberikan rasa sakit yang belum bisa hilang.”
Liam terpaku. Tatapannya melembut, tapi juga hancur sedikit.
Lara mengembuskan napas panjang, seperti mengucapkan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan namun selalu ia tunda. “Maaf, Liam. Aku bukan perempuan yang tepat."
Sebelum Liam sempat menjawab, Lara berbalik. Mantelnya berayun tersapu angin. Langkahnya cepat, seolah semakin jauh dari Liam berarti semakin aman dari perasaannya sendiri.
“Lara..” seru Liam, suaranya pecah dalam udara dingin. “Lara, wait!”
Namun Lara tidak menoleh. Tidak sekalipun. Tubuhnya mengecil, langkahnya semakin cepat, hingga akhirnya hanya menjadi siluet yang ditelan putihnya salju.
Liam berdiri di sana, mematung.
Ia mengembuskan napas, tapi tidak terasa hangat sama sekali. Dingin musim dingin menusuk wajahnya, namun itu bukan apa yang paling ia rasakan.
Penolakan itu lebih dingin. Lebih tajam. Lebih sunyi.
Setelah beberapa detik, ia menunduk, lalu bergumam, suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri dan salju yang jatuh pelan di sekelilingnya.
“Aku tidak akan menyerah, Lara. Je ne vais pas abandonner.”
Liam menatap langit kelabu Annecy seolah mencari sesuatu yang hilang, lalu menutup matanya.
Karena meski hatinya membeku oleh kata-kata Lara,
harapan itu masih ada, kecil, rapuh, tapi tetap menyala.
❄️❄️❄️
Terjemahan:
Je ne vais pas abandonner\= Aku tidak akan menyerah.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian