Vexana adalah seorang Queen Mafia, agar terbebas dari para musuh dan jeratan hukum Vexana selalu melakukan operasi wajah. Sampai akhirnya dia tiba di titik akhir, kali ini adalah kesempatan terakhirnya melakukan operasi wajah, jika Vexana melakukannya lagi maka struktur wajahnya akan rusak.
Keluar dari rumah sakit Vexana dikejutkan oleh beberapa orang.
"Ibu Anne mari pulang, Pak Arga sudah menunggu Anda."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Baik Untuk Tubuh Dan Jiwa
Entahlah… Arga pun tak mengerti kenapa pikirannya bisa melayang sejauh ini.
Wanita di hadapannya memang Anne, dari wajah, suara, bahkan lekuk tubuhnya. Tapi tetap saja, ada yang tak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang sangat mencolok. Bukan sekadar perubahan suasana hati atau kepribadian, Lebih dalam dari itu.
Sorot matanya.
Dulu tatapan Anne selalu seperti mata rusa ketakutan. Tapi sekarang? Mata itu tenang, seperti menyimpan rahasia yang tak mungkin ia pahami. Ada kekuatan dalam sorot mata itu, bukan ketakutan seperti biasanya. Aura berbeda yang membuat Arga diam-diam merasa tidak sedang bicara dengan wanita yang sama.
Sementara itu, Vexana tertegun. Pertanyaan Arga tadi menghantam keras ke dalam pikirannya.
'Bukan... orang lain?'
Itu lebih dari sekadar kecurigaan, tapi nyaris seperti tuduhan.
'Bagaimana ini?' batin Vexana panik. Ia sudah terjebak terlalu dalam. Identitas ini, hidup ini adalah pelindungnya sekarang. Vexana tak bisa kembali, ia tidak boleh gagal.
"Maaf jika membuatmu bingung..." ucap Vexana akhirnya, menyusun kata dengan sangat hati-hati. "Tapi aku sendiri juga bingung, begitu keluar dari rumah sakit, beberapa orang langsung membawaku ke rumah ini, semuanya terasa asing."
Arga mengusap wajahnya pelan, frustasi. Penjelasan itu memang masuk akal, bahkan terlalu masuk akal. Tapi justru karena itulah ia merasa tidak tenang.
Jika Anne benar-benar kehilangan ingatan sepenuhnya, maka semua rencana bisa berantakan.
Perjanjian awal mereka sangat jelas, Anne hanya diminta menikah untuk memberikan keturunan bagi keluarga Dewangga. Setelah itu, mereka akan berpisah. Hubungan mereka tak perlu melibatkan cinta, apalagi keterikatan emosional.
Namun jika Anne benar-benar lupa segalanya, bagaimana jika dia mulai percaya bahwa pernikahan ini adalah sesuatu yang suci? Bahwa mereka suami istri yang saling mencintai?
Arga menggeleng kecil, bukan seperti itu. Ia mundur dua langkah, menatap Anne dengan bingung.
"Kenapa?" tanya Vexana refleks, mencoba tetap memerankan perannya. "Apa kamu marah lagi? Bukankah kita akan membuat anak?"
Ucapan itu membuat Arga makin terkejut. Ia terpaku di tempatnya, menatap wanita itu seakan baru melihatnya untuk pertama kali.
"Tidak," jawabnya pelan. "Malam ini... tidurlah dengan nyenyak."
Vexana mengernyit. "Kenapa ditunda?" Nadanya tetap tenang, namun sedikit nada protes terdengar samar. "Aku sudah siap, aku masih ingat kalau kamu suamiku, Mas Arga."
Diam.
Seperti ada yang membeku di ruangan itu.
Arga menatapnya tanpa berkedip. ‘Mas Arga?’ ulangnya dalam hati. Itu bukan panggilan yang biasa ia dengar. Selama ini, Anne selalu memanggilnya dengan Tuan. Bahkan saat menangis pun, Anne tetap menjaga jarak formal. Tapi sekarang?
Bukan hanya sikap, tapi juga bahasa.
Apakah gegar otak bisa mengubah seseorang sedalam ini?
Atau apakah ini benar-benar bukan Anne?
Dan jika bukan siapa wanita yang kini tidur di ranjang istri keduanya?
"Besok kita bicara lagi," putus Arga akhirnya, Ia berbalik dan melangkah keluar tanpa menjelaskan apapun lagi.
Pintu tertutup rapat, langkahnya menjauh. Dan Vexana hanya bisa menatap ke arah pintu dengan mulut sedikit menganga.
"Aduh... kenapa dia pergi? Padahal aku sudah seksi begini," gumamnya, menatap lingerie yang melekat sempurna di tubuhnya. Ia berjalan ke cermin, menatap refleksi dirinya dengan bingung dan sedikit kecewa.
"Sayang sekali," desahnya. "Padahal aku sudah untuk membuat anak, sepertinya pria itu perkasa."
Vexana duduk kembali di ranjang, menyandarkan tubuh. "Tidak apa-apa... mungkin dia ingin aku istirahat dulu, mungkin dia takut gegar otakku tambah parah jika bercinta malam ini," gumamnya asal yang penting terasa masuk akal.
Pagi harinya Vexana keluar dari kamar seperti seorang nyonya rumah sejati. Langkahnya ringan dan anggun. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengenakan gaun rumah elegan warna biru pucat.
Tak terlihat sedikit pun keraguan dalam gerak tubuhnya. Seakan-akan dia memang sudah lama tinggal di rumah ini.
Pelayan-pelayan yang melihatnya hanya bisa menunduk hormat, meski beberapa dari mereka tampak sedikit bingung. Ada yang berbeda dari Nyonya Anne pagi ini.
Vexana langsung menuju ruang makan dan mulai mengatur sarapan sesuai keinginannya. Ia menyuruh pelayan menambah roti panggang, menukar teh dengan kopi hitam, dan bahkan memindahkan posisi duduknya menghadap jendela taman.
"Meja ini terlalu kaku," katanya sambil menggeser piring-piring porselen. "Mulai sekarang, kita makan dengan sinar matahari pagi, baik untuk tubuh dan jiwa." ucap Vexana lalu menarik dan membuang nafasnya perlahan.
Para pelayan hanya mengangguk pelan, mencatat dalam diam. Tak ada yang berani membantah.
Vexana tersenyum puas. Setidaknya, ia mulai menemukan ritme hidupnya di tempat asing ini. Jika ia memang harus jadi Anne, maka ia akan jadi Anne dengan versi dirinya sendiri. Tentu boleh karena dia sedang gegar otak.
Tapi kedamaiannya tak bertahan lama.
Langkah tergesa pelayan wanita terdengar dari lorong depan. Wajahnya panik saat mendekat.
"Nyonya... tamu datang."
hahaha
klo km blm pintar memainkany....ketimpuk sakitkan....
😀😀😀❤❤❤❤