Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 22.
Adrian menatap Alana dengan tajam, seolah mencoba membaca apa yang tersirat di balik sorot mata istrinya. Musik lembut dari aula di belakang mereka terasa begitu jauh, tenggelam dalam keheningan yang menekan.
“Ceritakan padaku,” ucap Adrian akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Siapa dia, dan apa yang dia lakukan padamu?”
Alana menunduk, menggenggam kedua tangannya erat-erat di depan perutnya. Ia sempat ragu, tapi tatapan Adrian yang tenang justru membuatnya berani membuka luka lama itu.
"Saya pernah bercerita padamu Mas, kalau saya pernah kerja di panti asuhan. Tuan Rama datang bersama yang lain, dia salah satu donatur. Dia membantu renovasi panti, memberikan bantuan untuk anak-anak disana.”
Matanya mulai memerah, tapi Alana melanjutkan, “Tapi niatnya... ternyata bukan cuma itu. Dia sering datang sendirian, tak bersama yang lain. Awalnya saya kira dia orang baik, tapi lama-lama... dia mulai bicara hal-hal aneh. Dia bilang saya punya wajah yang cocok untuk ‘menjadi pelengkap hidupnya’. Lalu, dia minta saya jadi istri keduanya.”
Adrian mengepalkan rahangnya perlahan.
“Waktu saya menolak, dia marah. Dia mengancam mau menghentikan semua donasi. Dan benar saja... setelah itu tiba-tiba panti jadi kekurangan donatur. Saya merasa bersalah, tapi saya tetap tak ingin jadi istri kedua. Jadi, saya memutuskan berhenti kerja disana demi menyelematkan keberlangsungan panti.”
Air mata menetes pelan di sudut matanya. “Saya kira saya nggak akan pernah ketemu orang itu lagi, Mas. Tapi ternyata malam ini…”
Adrian menghela napas panjang, menahan amarah yang mulai membakar di dadanya. “Kamu nggak perlu takut lagi, Al. Selama kamu bersamaku... nggak ada yang bisa menyentuhmu.”
Adrian kemudian menggenggam tangan Alana dengan erat, memberi sedikit keberanian.
Namun Alana yang masih diliputi gugup, meminta izin untuk ke toilet sebentar. Adrian mengangguk dan menunggu di lorong tak jauh dari aula.
Toilet wanita sepi malam itu, hanya terdengar gemericik air dari wastafel. Alana membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun saat ia menatap cermin, refleksi seseorang muncul di belakangnya.
“Jadi kamu yang bikin suami saya ingin menikah lagi dulu?”
Suara dingin dan penuh dendam membuat Alana menoleh cepat. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana dengan tatapan menusuk. Gaunnya elegan, wajahnya masih cantik meski jelas sudah berusia sekitar lima puluhan. Alana menebak, itu pasti istri Rama.
“Saya... tidak mengerti, Bu.”
“Jangan pura-pura polos!” bentak wanita itu pelan tapi tajam. “Kamu pikir saya nggak tahu siapa kamu? Gadis panti yang suami saya hampir bawa pulang beberapa tahun lalu? Gara-gara kamu, rumah tangga saya hampir hancur!”
Alana mundur setapak. “Saya nggak tahu apa yang Ibu dengar, tapi saya nggak pernah—”
“Tidak pernah?! Kamu cuma wanita miskin yang mau naik derajat!” Istri Rama menyeringai sinis.
Alana berusaha menahan diri. “Saya nggak mau jadi istri siapa pun, Bu. Waktu itu saya justru kabur karena takut.”
Namun wanita itu tak mau mendengar. Ia melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kebencian.
“Perempuan seperti kamu itu... cuma bisa berpura-pura suci!” suaranya melengking tajam, sarat dengan ejekan. “Padahal di balik wajah lembut mu, yang kamu mau cuma satu... jadi nyonya kaya dengan cara paling hina!”
Ia menyeringai sinis, matanya menyapu tubuh lawan bicaranya dari ujung kepala hingga kaki.
“Aku dengar, kamu menikah dengan Tuan Adrian saat dia masih punya istri? Jadi semua terbukti, bukan? Betapa liciknya perempuan sepertimu! Setelah istri pertama mati, kamu akhirnya naik tahta juga jadi nyonya sungguhan!“
“Cukup!”
Suara bariton itu memotong tajam.
Keduanya menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras. Satu langkah, dua langkah, dan kini pria itu sudah berdiri di antara Alana dan wanita tersebut.
“Nyonya Rama,” ucapnya datar tapi dingin, “Saya harap kamu tahu batasan.”
Wanita itu tampak terkejut tapi masih berusaha menjaga wibawa. “Pak Adrian, saya hanya—”
“Hanya melabrak istri saya, dan merendahkannya tanpa tahu kebenarannya?” potong Adrian. “Saya tidak peduli masa lalu diantara kalian, tapi jika ada yang berani menghina Alana... saya tidak akan segan-segan!”
Nada suara Adrian rendah tapi tegas, cukup membuat udara di ruangan terasa menegang.
Wanita separuh baya itu menatapnya dengan amarah tertahan, lalu mendengus pelan. Dengan langkah cepat, ia keluar dari toilet tanpa menoleh lagi.
Begitu pintu tertutup, Alana baru berani bernapas lega. Tubuhnya bergetar, dan Adrian langsung memegang bahunya.
“Kamu nggak apa-apa?”
Alana menggeleng. “Saya nggak sangka dia masih dendam begitu.”
Adrian mengangguk kecil. “Sudah, kita pulang.”
Malam itu, perjalanan pulang dipenuhi keheningan. Alana bersandar di kursi mobil, masih memikirkan kejadian tadi. Sementara Adrian tampak diam, tapi matanya dingin seperti menyimpan badai.
Begitu sampai di rumah dan Alana naik lebih dulu ke kamar, Adrian tetap tinggal di ruang kerja. Ia menyalakan lampu meja, lalu menekan beberapa nomor di ponselnya.
Suara di seberang langsung menyahut, “Ya, Pak?”
“Besok pagi, batalkan semua kerja sama dengan perusahaan milik Rama Santosa,” ucap Adrian datar. “Cabut kontrak, tunda proyek, dan hentikan pembayaran. Saya tidak mau nama Halim Group terikat dengan orang sepertinya.”
“Baik, Pak.”
Adrian menutup telepon. Ia menatap keluar jendela, ke arah langit malam yang gelap pekat.
Sesaat kemudian, bibirnya bergetar tipis. “Aku akan menghancurkan siapapun yang menyakitimu, Al."
Saat pintu kamar perlahan dibuka oleh Adrian, Alana sedang menangis.
Alana yang berbaring di ranjang segera menghapus air matanya, pura-pura sibuk merapikan selimut. Adrian berhenti di sisi ranjang lain, menatap punggung wanita yang kini menjadi istrinya.
Tanpa berkata apa pun ia duduk di tepi tempat tidur, lalu naik ke atas ranjang. Suara kasur yang berderit lembut membuat Alana menahan nafas.
“Al...” suara Adrian terdengar berat tapi hangat, “Jangan sedih lagi. Mereka yang pernah menyakitimu, tidak akan bisa melakukannya lagi.”
Alana tersentak saat merasakan tangan Adrian mengeluvs lengannya dengan lembut. Perlahan ia berbalik, dan kini pandangan mereka bertemu. Wajah Adrian hanya sejengkal dari wajahnya. Ada ketulusan di mata pria itu, dan sesuatu yang sulit ia artikan.
“Makasih, Mas. Saya merasa tak pantas... tapi saya juga merasa beruntung, karena Nyonya Aruna sudah memaksa saya menikah dengan Mas.”
Adrian tertegun. Kata memaksa itu tak membuatnya tersinggung, justru membuatnya sadar betapa rumit awal pernikahan mereka. Semua berawal dari janji dan keadaan... bukan karena cinta.
Pria itu menarik nafas pelan. “Apa sekarang kamu masih merasa terpaksa menikah denganku?”