Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Aku Istri Kakak Loh ~
Sesederhana itu keinginan Aliya. Malam pertama yang gagal tidak lagi penting baginya. Asal bisa berada di sisi Bagaskara, berbagi ranjang meski hanya untuk tidur, itu sudah lebih dari cukup.
Cukup membuatnya merasa tenang. Cukup membuat jantungnya berdetak damai. Bahkan, cukup membuat matanya terpejam nyenyak tanpa banyak bergerak.
Bagaskara yang semula cemas akan kemungkinan Aliya berputar-putar seperti gangsing, atau kaki serta tangannya tanpa sengaja mengenai tubuhnya, kini bisa bernapas lega.
Sejauh pengamatannya, gadis itu benar-benar tidur dengan tenang. Posisi tubuhnya tetap, hanya sesekali terdengar desa-han halus pertanda napasnya teratur.
Sampai tengah malam pun, Aliya tidak menunjukkan pergerakan berarti. Entah memang karena dia sengaja menahan diri agar tidak merepotkan, atau memang begitulah kebiasaannya tidur, Bagaskara tidak bisa menebak. Yang jelas, semua kekhawatirannya perlahan mereda.
Untuk sejenak, pikirannya kembali melayang pada sosok yang kini terlelap di sampingnya. Gadis yang dulu sama sekali tidak menarik perhatiannya, bahkan sempat tidak diingat namanya.
Aliya … ya, dulu Bagaskara sampai harus berpikir keras hanya untuk mengingat siapa dia. Baru belakangan ini, ketika Aliya lebih sering muncul di sekitarnya dan menyapa lewat perantara Rajendra maupun Aruni, barulah nama itu mulai akrab di telinganya.
Dan sekarang, semua sudah berubah. Gadis yang pernah Dion juluki si centil itu, kini resmi menyandang status sebagai istrinya. Bukan karena pilihannya sendiri, melainkan paksaan Rajendra.
Bagaskara menghela napas panjang, tak ingin menambah beban pikiran dengan mengingat detail itu lagi. Semuanya sudah terjadi. Mau tidak mau, dia harus menjalani.
Tatapan matanya yang dingin perlahan meredup, tergantikan oleh rasa kantuk yang semakin tak tertahankan. Tubuhnya yang masih terasa pegal mulai menyerah.
Dengan keyakinan bahwa keadaan cukup aman, dan Aliya tidak akan membuatnya celaka selama tidur, Bagaskara akhirnya membiarkan kelopak matanya tertutup.
Malam panjang itu pun terlewati dalam diam. Waktu berjalan cepat, seakan hanya sekejap mata. Gelap pekat perlahan berganti terang. Cahaya lembut pagi menelusup masuk dari celah gorden tipis kamar rumah sakit.
Bagaskara mengerjap pelan, tubuhnya terasa sedikit kaku karena posisi tidur yang terbatas. Tidurnya pun terasa singkat, meski jam dinding sudah jelas menunjukkan pagi.
Begitu kesadarannya pulih, tatapannya langsung terarah pada sisi ranjang. Kosong. Tidak ada Aliya di sana.
Ranjang yang semalam sempat ia bagi terasa dingin di satu sisi, tanda bahwa istrinya sudah lama terbangun. Bagaskara hanya terdiam, matanya menatap kosong sebentar.
Bibirnya tidak bergerak, tapi sorot matanya jelas berbicara. Ia menunggu, atau mungkin berharap, pintu akan terbuka dan gadis itu muncul.
Benar saja, saat suara pintu dibuka mulai terdengar. Bagaskara sempat mengira Aliya yang datang.
Namun, harapannya pupus ketika sosok yang masuk bukanlah istrinya, melainkan seorang wanita berjas putih dengan stetoskop menggantung di leher.
“Selamat pagi, Pak Bagas,” sapa dokter ramah sambil membuka berkas di tangannya. “Bagaimana tidur Anda semalam?”
Bagaskara hanya mengangguk singkat, suaranya masih berat. “Cukup … meski tidak nyenyak.”
Dokter tersenyum tipis, memaklumi. Ia segera mendekat, meletakkan berkas di meja kecil samping ranjang, lalu mulai memeriksa pasiennya dengan telaten.
“Baik, mari kita cek dulu kondisinya,” ucapnya.
Pertama, stetoskop dingin itu menyentuh dada Bagaskara. “Tarik napas panjang … sekali lagi … ya, bagus.”
Bagaskara mengikuti dengan patuh, meski wajahnya terlihat enggan. Setiap tarikan napas terasa menusuk di beberapa bagian tubuhnya yang masih memar.
Dokter kemudian memeriksa bahu kanan yang semalam sempat Aliya sentuh. Begitu jemarinya menekan perlahan, Bagaskara meringis.
“Masih sakit di bagian ini?” tanya dokter.
“Ya … terutama kalau ditekan atau bergerak terlalu banyak,” jawab Bagaskara jujur.
Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di berkasnya. “Wajar, karena ada pergeseran otot ringan akibat benturan. Tidak parah, tapi butuh waktu istirahat. Jangan dipaksa banyak gerak dulu.”
Bagaskara hanya mengangguk lagi, wajahnya tetap datar, seolah tengah memikirkan hal lain.
Sementara dokter kembali merapikan peralatan medisnya, Bagaskara sempat melirik pintu sekali lagi. Ada harapan samar di matanya, seolah masih menunggu seseorang yang belum juga muncul.
.
.
Hingga, tepat ketika dokter hendak melangkah keluar, Bagaskara akhirnya menghentikan gerakannya. Sejak tadi lidahnya gatal ingin bertanya, tapi selalu tertahan. Baru sekarang ia berani membuka suara.
“Ehm, Dok … sebentar.”
Dokter itu menoleh, menunggu. “Iya, Pak? Ada apa?”
Bagaskara menarik napas tipis, sedikit ragu. Namun, akhirnya ia beranikan diri. “Dokter lihat istri saya tidak ya?”
“Istri?” Dokter itu mengerjap, jelas terkejut.
“Iya, istri sa–”
Belum selesai ucapannya, pintu kamar terbuka. Sosok yang sejak tadi dicarinya muncul dengan langkah ringan. Seketika, kata-kata Bagaskara terhenti. Napasnya pun tercekat.
“Sudah, Dok. Dia sudah kembali,” ralatnya cepat, suara agak menurun.
Dokter melirik ke arah pintu, dan wajahnya langsung berbinar. “Ah iya … yang Anda maksud dokter Aliya?”
Mendengar itu, Bagaskara nyaris menyesali pertanyaan yang terlontar. Ia tidak menyangka, dokter yang memeriksanya ternyata mengenal Aliya.
Terlebih lagi, saat ini gadis itu berdiri tepat di hadapannya, lengkap dengan senyum hangat yang membuat suasana kamar seakan berubah lebih terang.
“Iya, Dok,” jawab Bagaskara singkat, berusaha menutupi rasa kikuknya.
“Ya ampun, dia suamimu, Aliya?” dokter berseru takjub.
Aliya tersipu, tapi cepat mengangguk. Senyumnya mengembang sempurna, membuat wajahnya kian manis.
Dengan langkah tenang, ia mendekat ke sisi ranjang. “Iya, benar, Dok. Beliau suami saya,” jawabnya sopan, suaranya penuh kebanggaan.
“Wah, kapan nikahnya? Kenapa saya tidak diberitahu?”
Aliya terkekeh pelan, matanya berbinar. “Ehm … saya sudah mengundang, Dok. Justru saya ingin bertanya kenapa Dokter Arini tidak datang.”
“Walah? Iya kah? Apa mungkin saya yang kurang fokus ya sampai tidak sadar ada undangannya.” Dokter itu menepuk jidatnya sendiri, ekspresinya benar-benar menyesal namun juga kocak.
Bagaskara hanya diam mendengarkan. Dari caranya berbicara, jelas Aliya dan dokter itu memang cukup akrab, mungkin sejawat yang sering berinteraksi.
Sebagai pendengar, Bagaskara merasa sedikit tersisih. Ada rasa aneh yang sulit dijelaskan.
Aliya menyadari itu. Meskipun hatinya gembira bisa berbincang, ia tidak ingin membuat suasana janggal di depan suaminya. Maka, dengan sopan ia segera mengakhiri obrolan.
“Ah, ya sudah, Aliya, Kalau begitu saya lanjut dulu ... Kebetulan, suamimu sudah menunggu sejak tadi tahu.”
Begitu dokter menutup pintu, keheningan kembali memenuhi ruangan. Namun kali ini, keheningan itu berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di udara, rasa malu di sisi Bagaskara, dan rasa kemenangan kecil di sisi Aliya.
Tertangkap basah sedang menunggu bukanlah hal yang lucu bagi Bagaskara. Ia merasa gengsinya runtuh, apalagi dokter tadi sempat menyinggung langsung.
Di sisi lain, justru itulah yang membuat Aliya meng-ulum senyum. Hatinya menghangat. Bagaskara, yang selama ini terlihat dingin dan acuh, rupanya bisa juga menampakkan sisi rapuhnya.
Aliya mencondongkan tubuh sedikit, menatap Bagaskara dengan tatapan jenaka. “Ehm … Kakak kenapa? Nyariin aku ya?”
Bagaskara terdiam sebentar, lalu menjawab singkat. “Hem.”
Hanya satu kata, pendek sekali.
Aliya mengangkat alisnya, pura-pura kesal. “Kakak kenapa? Sariawan, ya?”
Bagaskara menggeleng. “Tidak.”
“Tapi kok jawabnya pendek? Agak panjangin sedikit dong … irit banget. Kayak sama siapa aja, aku istri Kakak loh kalau lupa,” cibirnya, kali ini disertai canda.
Bagaskara tak langsung menanggapi. Dia hanya menundukkan wajah, menutupinya dengan gerakan kecil seolah merapikan selimut demi menyembunyikan senyum super tipisnya.
.
.
- To Be Continued -
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...