Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu Xavier
"Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Vero begitu melihat Calista keluar kamar dengan penampilan rapi.
"Aku mau ke perpustakaan kota, Mah," jawab Calista sambil tersenyum kecil.
Vero mengernyit heran. "Perpustakaan kota?"
"Iya, Mah. Aku udah janji sama teman," sahut Calista ringan.
Namun seketika raut wajah Vero berubah. "Sayang, apa kamu lupa? Hari ini jadwal kontrolmu."
Langkah Calista terhenti. Wajahnya menegang, baru ia ingat kalau hari ini seharusnya ia pergi ke rumah sakit. Tapi janji dengan Xavier terlintas di kepalanya, dan ia tak ingin mengingkarinya.
"Mah... bisa dibantu dulu nggak? Aku sudah janji sama temanku," ucap Calista pelan, suaranya terdengar memohon.
"Sayang, Dokter Rangga harus melihat kondisi kamu," kata Vero lembut, tapi tetap dengan nada khawatir.
"Aku kuat kok, Mah. Kita periksa besok aja, ya," potong Calista cepat, berusaha menutupi rasa gelisahnya.
Vero hanya bisa menghela napas panjang. Melihat putrinya begitu bersikeras, ia akhirnya mengambil ponselnya dan menghubungi Dokter Rangga.
"Halo, Dok," sapa Vero setelah panggilannya tersambung.
"Halo, Nyonya," suara ramah Dokter Rangga terdengar di seberang.
"Hari ini Calista izin dulu nggak bisa cek-up, Dok," ucap Vero hati-hati.
"Kenapa memangnya?" tanya Dokter Rangga dengan nada heran.
Calista yang duduk di samping segera memberi kode dengan matanya, meminta mamanya menyerahkan ponsel padanya.
"Dokter, hari ini Calista izin dulu, ya," ucap Calista langsung begitu berpindah ke tangannya.
"Emang kamu mau kemana, Dek? Hari ini kakak udah niat ketemu sama adik kakak yang imut ini," goda Dokter Rangga, mencoba membuat suasana lebih ringan.
"Kakak... Calista janji sama teman. Please ya, hari ini saja... " suara Calista terdengar ragu tapi juga memohon.
"Teman?" Dokter Rangga terdiam sejenak. Ini pertama kalinya Calista menyebut punya teman, biasanya ia enggan membicarakan soal itu.
"Iya, Kakak Dokter. Calista punya teman lho. Dia baik banget," sahut Calista dengan nada antusias, matanya bahkan berbinar.
Hati Dokter Rangga langsung luluh. Jarang sekali ia mendengar Calista berbicara seceria itu.
"Baiklah," ucapnya akhirnya, "tapi lusa kamu hari cek-up, ya. Kakak juga kangen sama Calista, lho."
"Siap, Dokter!" balas Calista ceria.
Vero lalu mengakhiri panggilan dan menatap putrinya dengan lembut. "Kamu hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Mama."
Calista mengangguk cepat. "Iya, Mah."
"Kamu udah bawa obatmu kan?"
"Sudah, Mah," jawab Calista mantap.
Setelah mendapat izin dari Mamanya, Calista berdiri di tepi jalan sambil menunggu taksi. Hatinya berdebar, entah kenapa ia merasa begitu bersemangat, hanya karena janji sederhana untuk belajar bersama Xavier.
Tak lama, sebuah taksi berhenti di depannya. Calista pun masuk, duduk rapi sambil sesekali tersenyum tanpa alasan. Bahkan sepanjang perjalanan, senyum itu tak pernah lepas dari wajahnya.
"Sudah sampai, Non," ucap supir taksi ramah ketika kendaraan berhenti di sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik yang kokoh—Perpustakaan Kota.
Calista segera menyerahkan uang ongkos, disertai ucapan terima kasih singkat. Ia melangkah turun, menatap megahnya bangunan di depannya. Ada rasa kagum sekaligus hangat yang merambat dadanya.
Begitu masuk, suasana tenang langsung menyambutnya. Deretan rak buku berdiri rapi, suara langkah kaki terdengar pelan, beberapa orang sibuk menatap layar laptop, ada pula yang asyik membaca dengan wajah serius.
Calista berjalan perlahan, menyusuri ruangan, hingga akhirnya memilih meja di pojok, tempat yang terasa lebih nyaman dan pribadi. Ia kemudian menuju rak, mengambil sebuah buku yang sudah ia rencanakan untuk dipelajari bersama Xavier.
Senyumnya kembali terukir. "Semoga dia datang tepat waktu," batinya penuh harap.
♡♡○♡♡
"Mau ke mana kamu?"
Xavier menghentikan langkahnya. Ia tidak perlu menoleh, suara itu sudah sangat ia kenali.
"Kamu mau ke mana?" tanya Opa Arya yang kini berdiri di sampingnya.
"Aku mau ke perpustakaan kota," jawab Xavier sambil menatap sang Opa.
Opa Arya sempat mengernyit, lalu senyumnya merekah. Tangan menepuk bahu Xavier dengan lembut. "Bagus, Opa suka perubahanmu. Belajarlah dengan giat, Nak. Opa tahu, kamu mampu. Tunjukkan pada dunia kalau kamu bukan yang seperti mereka katakan."
Xavier tersenyum tipis. Ia selalu merasa beruntung memiliki Opa yang penuh pengertian. Tidak seperti Daddynya yang lebih sering merendahkannya.
"Opa, aku pergi dulu," pamit Xavier.
Opa Arya mengangguk pelan sesaat kemudian, suara motor sport Xavier menggema, meninggalkan kediaman keluarga D' Angel.
Tak lama, Oma Saras menghampiri suaminya. "Xavier, mau ke mana, Mas?" tanyanya.
"Perpustakaan kota," jawab Opa Arya tanpa menoleh.
Oma Saras menatap penuh tanda tanya. "Dia ada perubahan, ya?"
"Iya," angguk Opa Arya, "berkat dukungan teman sebangkunya."
"Teman sebangku?" kening Oma Saras berkerut.
"Nanti, Mas jelaskan." balas Opa Arya tenang.
"Baiklah... Oh iya Mas, kapan kamu berniat memberitahu Xavier? Kenapa kamu harus menunda?"
Pertanyaan itu membuat Opa Arya terdiam sejenak. "Xavier harus menguatkan mentalnya lebih dulu."
Nada suara Oma Saras menjadi kesal. "Ini semua gara-gara Leo brengsek itu! Karena dia, cucuku sampai mentalnya rusak."
Opa Arya merangkul bahu istrinya dengan lembut. "Dia akan dapat balasannya. Tenang saja."
"Mas, urus cepat, ya. Aku nggak mau cucuku makin terganggu."
"Tenanglah, Sayang." Opa Arya tersenyum tipis, lalu menatap Istrinya dalam-dalam. "Sayang percaya cinta, nggak?"
"Aku percaya cinta... kalau sama kamu, Mas." jawab Oma Saras sambil tersenyum malu-malu. "Tapi kenapa tiba-tiba tanya gitu? Ingat ya, umurmu sudah tua?"
"Masih lima puluhan, kok." goda Opa Arya dengan nakal. "Masih bisa bikin kamu lemas."
"Ih, Mas! Aku serius ini," kesal Oma Saras sambil mencubit lengan suaminya.
Wajah Opa Arya berubah kembali serius. "Cinta akan mengubah cucu kita, Sayang. Percaya saja. Kamu tunggu waktunya."
Oma Saras terdiam. Mencoba mencerna kalimat suaminya.
"Tapi sekarang, lebih baik kita keluarkan keringat," bisik Opa Arya tiba-tiba sambil menggendong istrinya.
"Mas! Lepas Mas. Aku nggak mau mandi lagi," rengek Oma saras yang sudah paham maksud suaminya.
"Ingat, menolak ajakan suami itu dosa, loh." ucap Opa Arya mengecup singkat bibir istrinya.
Oma saras hanya bisa menghela napas, akhirnya pasrah mengikuti kemauan suaminya
•○•
Xavier melaju dengan kecepatan tinggi di jalan kota. Di balik ekspresi dinginnya, tersimpan semangat yang tidak biasa—semangat untuk belajar bersama Calista, gadis polos yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya. Wajah imut Calista, tatapan polosnya yang seperti anak kecil, terus membayang di benaknya.
Dring! Dring!
Suara ponsel berdering, tapi Xavier mengabaikannya. Namun, dering itu kembali terdengar, membuatnya menghela napas panjang sebelum menghentikan motornya di tepi jalan.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Nama Alvaro terpampang jelas di layar.
"Hmm..." gumamnya pelan.
Begitu panggilan diangkat, suara Alvaro tedengar panik. "Xavier, tolongin gue..."
Xavier mengernyit. "Lo kenapa?"
"Gue diserang, Vier... bantu gue... " suara Alvaro terputus-putus, disusul bunyi pukulan keras.
Bugh! Bugh!
Jantung Xavier berdegub kencang. "Lo dimana sekarang?" tanyanya cepat.
"Belakang rumah sakit lama..." lalu sambungan terputus.
Tanpa pikir panjang, Xavier langsung memutar gas. Suara knalpot motornya meraung keras, melesat menuju lokasi untuk menolong sahabatnya yang tengah dalam bahaya.
♡♡
Sementara itu, Calista terus menatap pintu masuk perpustakaan dengan penuh harap. Sudah hampir satu jam ia menunggu, namun Xavier tak kunjung muncul.
"Xavier... kok belum datang juga?" gumamnya, pandangannya terus terpaku pada pintu.
Ia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel, baru tersadar—Calista sama sekali tak memiliki nomor Xavier. Sedikit rasa kecewa muncul, tapi ia tak menyerah.
Untuk mengalihkan kebosanan, Calista membuka bukunya dan mulai menelaah halaman demi halaman. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, berharap Xavier segera muncul, meski waktu terus berjalan lambat.