Arshaka Sadewa dan Aksara Sagara adalah Bopo Kembar Desa Banyu Alas. Putra dari Bopo sebelumnya, yaitu Abimanyu.
Keberadaan Bopo Kembar, tentu menghadirkan warna tersendiri untuk Desa Banyu Alas. Dua pria yang mewarisi sifat Romo dan Ibunnya, membuat warga desa sangat menyayangi dan menghormati keduanya.
Bagaimanakah kehidupan Bopo Kembar ini?
Apakah mereka benar - benar bisa di andalkan untuk menjaga Desa Banyu Alas?
Jangan lupa untuk membaca Novel Cinta Ugal - Ugalan Mas Kades terlebih dahulu, agar bisa memahami jalan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Kejadian Tiba - Tiba
Malam sudah larut saat Arsha baru saja memejamkan mata. Samar - samar telinganya mendengar suara pintu rumahnya yang di ketuk serta suara orang yang mengucapkan salam.
Arsha pun kembali terjaga, mengingat saat ini Romonya sedang berada di Kota. Remaja tampan itu keluar dari kamar dan menuju ke sumber suara.
"Waalaikumsalam." Jawab Arsha sambil membukakan pintu setelah mengintip siapa yang mengetuk pintu rumahnya.
"Maaf, Mas, mengganggu malam - malam. Bu Dokter ada? Itu, saya mau minta tolong, Mbah Parti tiba - tiba kejang." Ujar Si Pria yang nampak panik.
"Ada, Lek. Silahkan duduk dulu, saya bangunkan Ibun sebentar." Jawab Arsha.
Arsha setengah berlari menuju ke kamar orang tuanya.
"Bun... Ibun..." Panggil Arsha sambil mengetuk pintu kamar.
"Iya, Nak?" Lirih Runi yang menyahut dari dalam kamar. Tak lama, pintu kamar pun terbuka.
"Ada apa, Mas?" Tanya Runi saat melihat putranya berdiri di ambang pintu.
"Itu, ada Lek Yanto yang mau minta tolong. Mbah Parti katanya kejang - kejang." Jawab Arsha.
"Ha? Yasudah Ibun siap - siap dulu sebentar." Jawab Runi.
"Aku antar, Bun. Lek Yanto biar aku suruh duluan aja." Kata Arsha sambil kembali berlari ke depan untuk memberi tau warga yang meminta bantuan.
Setelahnya, Arsha kembali ke kamar dan memakai jaket juga celana panjang. Tak lama, setelah itu ia segera mengeluarkan motor matic milik Runi dan menunggu Ibunnya di depan.
Runi dengan tergopoh - gopoh menghampiri putranya yang sudah menunggu di atas motor. Setelah memastikan Ibunnya duduk dengan aman, barulah Arsha mulai melajukan motornya menuju ke rumah Mbah Parti.
Kediaman Mbak Parti terlihat ramai dengan anak - anaknya yang sudah berkumpul. Sesampainya di sana, Runi dan Arsha langsung di persilahkan masuk. Awalnya Arsha ingin menunggu di ruang tamu saja. Namun, entah mengapa ia tiba - tiba ingin ikut masuk ke kamar Mbah Parti.
"Bun, aku boleh ikut masuk gak?" Bisik Arsha.
"Tumben, biasanya nunggu di ruang tamu aja?" Tanya Runi.
"Gak tau, kok pingin lihat Mbah Parti." Jawab Arsha.
"Yaudah, ayo." Ajak Runi yang kemudian mengekor pada pemilik rumah yang membawanya ke kamar Mbah Parti.
Di kamar Mbah Parti, Arsha merasa sedih saat melihat kondisi Mbah Parti yang memprihatinkan. Tubuh rentanya hanya tinggal tulang yang di balut kulit.
Arsha memperhatikan Runi yang memeriksa kondisi Mbah Parti. Raut wajahnya tampak seperti sedang berpikir keras. Arsha pun yakin, jika sesuatu yang tak beres terjadi pada wanita renta yang tak sadarkan diri itu.
"Gimana kondisi Ibu saya, Bu Dokter?" Tanya salah seorang anak Mbah Parti.
"Kondisinya sangat gak stabil. Baiknya di bawa ke Rumah Sakit lagi saja, agar mendapat penanganan lebih lanjut." Ujar Runi.
"Tapi, pihak Rumah Sakit sudah menyerah, Bu Dokter. Bu Dokter tau sendiri kalau kemarinnya Ibu saya baru di bawa pulang dari Rumah Sakit." Kata Lek Yanto yang tinggal bersama Mbah Parti.
Runi hanya bisa menghembuskan nafas berat. Tak hanya satu atau dua kali ia mendapatkan pasien seperti ini. Pasien yang seolah hidup segan, mati pun tak mau.
"Saya juga gak bisa berbuat apa - apa lagi, Pak, Bu. Sementara ini, biar saya infus saja ya, biar tetap ada nutrisi yang masuk untuk Simbah." Lirih Runi dengan tatapan sedih. Hatinya terasa ngilu karna tak bisa berbuat banyak untuk pasiennya.
"Manut kalih Bu Dokter mawon, pripun saene. (Nurut sama Bu Dokter saja, gimana baiknya.)" Jawab Lek Yanto.
"Kasihan banget Simbah." Lirih Arsha sambil mengusap kaki keriput Mbah Parti.
"Astaghfirullah! Bun! Ini apa?" Tanya Arsha saat melihat benang yang menempel di tangannya sesaat setelah mengusap kaki Mbah Parti.
"Kamu dapat dari mana, Nak?" Tanya Runi yang ikut heran. Tak hanya Runi, anak - anak Mbah Parti pun turut heran melihat benang di telapak tangan Arsha.
"Gak tau, Bun. Tau - tau nempel di tangan." Jawab Arsha kebingungan.
Saat itu, tubuh Mbah Parti tiba - tiba menegang dengan netra sayunya yang terbuka. Lek Yanto langsung mendekat ke arah Ibunya dan membisikkan kalimat tauhid di telinga Ibunya berulang - ulang. Sementara tangisan pun mulai terdengar dari anak - anak Mbah Parti yang lain.
Arsha sendiri terlihat shock dengan kejadian barusan. Ia hanya bisa mematung di tempatnya sambil melihat situasi yang nampak sedikit kacau.
Tak lama kemudian, Runi kembali memeriksa kondisi Mbah Parti.
"Innalillahi wainnaillaihi roji'un." Lirih Runi saat memeriksa denyut nadi Mbah Parti.
"Maaf Bapak - bapak, Ibu - Ibu, Simbah mpun sedo. (Simbah sudah meninggal.)" Imbuh Runi kemudian.
Mendengar itu, suara tangisan yang awalnya lirih, kini terdengar semakin jelas. Beberapa keluarga nampak berpelukan untuk saling menguatkan. Bagaimanapun, kehilangan anggota keluarga adalah hal yang sangat menyedihkan.
Melihat Arsha yang masih mematung, Runi pun membawa putranya itu ke ruang tamu rumah Mbah Parti. Runi berusaha menenangkan putranya yang nampak resah.
"Bun, gara - gara aku ya." Lirih Arsha sambil menatap benang yang masih ada di telapak tangannya.
"Enggak, Mas. Semua itu sudah kehendak Allah." Jawab Runi sambil mengambil benang putih yang cukup panjang di telapak tangan Arsha. Ia kemudian meletakkan benang itu du atas kain kasa.
Arsha hanya bisa terdiam sambil menunduk. Kejadian ini, membuatnya seolah menjadi seorang pencabut nyawa. Mbah Parti meninggal setelah Arsha 'mengambil' sesuatu dari kakinya tanpa sengaja.
"Sudah ya, Nak. Gak apa - apa, kamu jangan resah seperti ini." Lirih Runi sambil mengusap kepala putranya. Tentu ia pun mengerti dengan kejadian ini, karna ia pernah melihat sebelumnya.
"Mas Kembar, Bu Dokter." Panggil Lek Yanto saat menghampiri mereka. Netranya terlihat masih berkaca - kaca. Kesedihan tergambar jelas walaupun ia berusaha menutupi dengan senyuman.
"Lek, maafin aku-"
"Enggak Mas. Mas Kembar gak salah. Saya justru mau berterima kasih sama Mas Kembar karna sudah membantu melepaskan 'pegangan' Simbah." Lek Yanto memotong ucapan Arsha sambil tersenyum.
Arsha sendiri hanya bisa menunduk. Tentu saja ia masih merasa bersalah terlebih setelah mengetahui kalau Mbah Parti meninggal setelah 'pegangannya' ia keluarkan.
"Mas Kembar jangan menyalahkan diri. Justru kami berterima kasih karena Mas Kembar sudah membantu." Ujar Lek Yanto sambil memegang tangan Arsha.
"Simbah sudah lama menderita, sampai - sampai sering minta mati. Alhamdulillah, sekarang Simbah sudah tenang dan gak kesakitan lagi. Terima kasih banyak ya, Mas Kembar. Kami sudah lama cari orang yang bisa melepaskan 'pegangan' Simbah karna kasihan melihat Simbah menderita. Alhamdulillah, tanpa di sangka orangnya datang sendiri saat kami sudah hampir putus asa." Ujar Lek Yanto dengan tulus sambil menggenggam tangan Arsha yang terasa dingin.
ibaratmya berjodoh tp kita jg butuh perjuangan dan usaha tuk mndapatkannya
langkah yg tepat arsha👍👍👍👍
kawal sampai halal pokonya mah 😍
sat set git loh,soalnya aku nggak lilo mbk riana diambil org🤭🤭
smoga bisa mncapai halal dan samawa ya
jd greget greget sndiri