Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAWARAN KEPALSUAN
Langit Bekasi sore itu berwarna keperakan. Hujan baru saja reda, meninggalkan sisa embun di kaca jendela apartemen. Di dalam, aroma teh melati bercampur dengan wangi minyak kayu putih. Retno duduk di sofa, memegang buku kehamilan yang sudah mulai penuh catatan. Usia kandungannya memasuki bulan keempat, dan perutnya mulai menonjol sedikit. Ia mengusapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang semakin teduh.
Di meja makan, Arif menutup laptop sambil menghela napas panjang. Ia baru saja menuntaskan laporan proyek yang rumit. Pekerjaan di Dirgantara Tower semakin menumpuk, dan rapat-rapat penting terus datang. Namun kali ini, beban kerja itu terasa berbeda—lebih politis, lebih diawasi. Ia tahu, di balik layar, ayahnya memantau setiap langkahnya.
“Mas capek?” tanya Retno lembut.
“Sedikit,” jawab Arif sambil tersenyum. “Tapi pulang ke sini selalu bikin tenang.”
Retno bangkit perlahan, menuangkan teh hangat untuk suaminya. Ia tahu betul Arif jarang mengeluh, tapi sorot matanya sering menyiratkan tekanan yang tidak ia bagi. “Rapat lagi?” tanyanya pelan.
“Besok,” Arif menjawab. “Katanya pembahasan perluasan proyek ke Surabaya. Ayah minta aku ikut.”
Retno menatapnya, ragu. “Mas akan berangkat?”
Arif diam sesaat, menatap gelas tehnya. “Sepertinya iya. Hanya dua atau tiga hari. Tapi aku nggak tenang ninggalin kamu sendirian.”
Retno menggeleng, berusaha tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Mas. Aku kuat kok. Lagipula ada Bu Lilis, tetangga sebelah, kalau aku butuh apa-apa.”
Arif tahu Retno mencoba menenangkannya. Tapi di balik senyum lembut itu, ada ketakutan yang ia kenal—ketakutan ditinggal, ketakutan kehilangan perlindungan di tengah badai yang belum datang.
Keesokan harinya, Arif berangkat pagi. Hujan tipis menyelimuti jalan tol, dan lampu-lampu kendaraan membentuk garis cahaya panjang yang suram. Dari balkon apartemen, Retno melambai, menatap mobil hitam yang membawa Arif menjauh. Ada rasa aneh di dadanya—seperti firasat, tapi terlalu samar untuk dimengerti.
Sepeninggal Arif, apartemen terasa lebih sepi. Retno mencoba mengisi waktu dengan membaca, memasak, dan menata baju bayi kecil yang mulai ia beli sedikit demi sedikit. Di sela kesibukan sederhana itu, ia membuka pesan-pesan lama di ponselnya: pesan Arif, janji, dan foto mereka di Bandung. Semua terasa hangat, tapi juga rapuh.
Sore itu, ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul. Retno menjawab, suaranya lembut, “Halo?”
“Selamat sore, Bu Retno. Saya Rendra.”
Retno terdiam sejenak. Nama itu familiar—orang kepercayaan keluarga Dirgantara. “Oh… sore, Mas Rendra. Ada apa ya?”
“Bapak ingin memastikan kondisi Ibu baik-baik saja. Katanya Arif sedang di Surabaya.”
Nada bicara Rendra sopan, tapi kaku. Retno berusaha tersenyum meski ia tahu lawan bicaranya tak melihat. “Alhamdulillah, saya baik, Mas. Terima kasih.”
“Bapak juga ingin mengirimkan seseorang untuk membantu sementara—mungkin asisten rumah tangga atau perawat. Sekadar berjaga-jaga.”
Retno menelan ludah pelan. Tawaran itu terdengar sopan, tapi nada di baliknya jelas menunjukkan sesuatu: pengawasan. “Terima kasih, Mas, tapi saya tidak apa-apa. Saya bisa urus sendiri.”
Rendra tertawa kecil. “Saya sampaikan begitu saja, Bu. Bapak hanya ingin memastikan cucunya aman.”
Setelah panggilan berakhir, Retno menatap layar ponsel lama sekali. Di dadanya, rasa dingin menjalar perlahan. Ia tahu, keluarga besar itu tidak pernah benar-benar melepaskan mereka. Restu yang diberikan dulu hanyalah formalitas. Sekarang, mereka mulai menanamkan bayangan kendali.
Tiga hari kemudian, Arif pulang dari Surabaya. Wajahnya lelah, tapi matanya langsung mencari Retno begitu pintu terbuka. Retno memeluknya erat, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku kangen,” bisiknya.
“Aku juga,” balas Arif, membalas pelukannya. “Gimana kamu selama aku pergi?”
Retno ragu sejenak. “Baik… tapi Mas Rendra sempat menelepon. Katanya Ayah ingin kirim orang bantu di rumah.”
Arif menatapnya, diam beberapa detik. “Aku tahu. Ayah sempat menyinggung soal itu di rapat.”
“Mas setuju?”
“Tidak,” jawab Arif tegas. “Aku bilang kita tidak butuh siapa-siapa di rumah. Tapi kamu tahu Ayah… dia tidak suka ditolak.”
Retno menunduk, menggenggam tangan Arif. “Aku cuma nggak mau rumah kita jadi tempat orang lain mengawasi.”
Arif mengusap rambutnya lembut. “Aku janji, rumah ini tetap tempat kita berdua. Tidak akan ada yang masuk tanpa seizin kita.”
Namun janji itu ternyata tidak semudah dipegang.
Beberapa minggu kemudian, tanpa pemberitahuan, datang seorang perempuan paruh baya bernama Sari, membawa surat rekomendasi dari kantor pusat Dirgantara. Katanya, ia ditugaskan sementara untuk membantu urusan domestik Retno atas perintah Hartono. Retno terkejut, tapi Sari begitu sopan dan hangat hingga sulit menolak.
Hari pertama, semua tampak normal. Sari rajin, ramah, bahkan suka mengajak Retno mengobrol tentang hal-hal kecil. Tapi perlahan, Retno menyadari sesuatu yang janggal: setiap kali Arif pulang larut, Sari seolah sudah tahu alasannya. Kadang ia berkata, “Pak Arif pasti rapat di lantai atas, ya, Bu? Saya dengar dari orang kantor.”
Retno diam. Ia tak suka mendengarnya, tapi juga tak bisa menuduh apa pun. Semua terasa halus, tapi tajam.
Suatu malam, Arif pulang lebih cepat dari biasanya. Mereka makan malam bersama, tapi suasana terasa tegang. “Ayah mengirim pesan lagi,” kata Arif pelan. “Beliau ingin aku kembali tinggal di Jakarta saja, dekat Tower. Katanya, terlalu jauh kalau harus bolak-balik ke Bekasi.”
Retno menatap Arif, jantungnya berdegup cepat. “Mas setuju?”
“Tidak. Aku bilang aku sudah punya rumah di sini, dan aku ingin mendampingi kamu.”
“Terus Ayah bilang apa?”
Arif menatap piringnya lama. “Beliau hanya diam. Tapi diam Ayah bukan berarti menyerah.”
Retno menunduk, berusaha menahan air mata. “Kenapa mereka nggak bisa biarkan kita hidup tenang?”
Arif menggenggam tangannya. “Karena bagi mereka, cinta bukan alasan. Hanya garis keluarga yang berarti.”
Malam itu mereka diam lama di ruang tamu. Di luar, suara hujan kembali turun, menambah kesunyian yang berat.
Hari-hari berikutnya berjalan pelan tapi penuh tekanan halus. Beberapa kolega Arif mulai berubah sikap—lebih dingin, lebih formal. Rapat-rapat sering diselipkan isu “penempatan jabatan” yang mengharuskannya lebih sering ke kantor pusat. Bahkan beberapa laporan penting kini harus disetujui langsung oleh Hartono. Semua seolah diarahkan agar Arif perlahan menjauh dari rumah.
Retno bisa merasakannya. Setiap kali Arif pulang lebih malam, ia berusaha menyembunyikan cemas. Ia menyambutnya dengan senyum, menyajikan makan malam hangat, tapi hatinya terus berdebar. Kadang ia duduk di balkon menatap langit Bekasi yang penuh lampu, berharap badai ini tak benar-benar datang.
Suatu malam, Sari menghampiri Retno dengan nada lembut tapi penuh makna.
“Bu, saya dengar Bapak mungkin akan dipindah ke kantor Surabaya sementara?”
Retno tertegun. “Dengar dari siapa?”
“Ah, gosip kantor saja, Bu. Tapi kalau benar, semoga Ibu ikut. Sayang kalau sendirian.”
Retno tersenyum hambar. “Terima kasih, Mbak Sari.” Tapi di dalam dadanya, rasa cemas tumbuh. Ia tahu kabar itu pasti punya akar.
Beberapa hari kemudian, Arif pulang dengan wajah serius. Ia duduk tanpa berkata apa-apa, hanya menatap langit-langit lama. Retno mendekat, menyentuh tangannya. “Mas… ada apa?”
“Surat penugasan,” jawabnya pelan. “Aku harus ke Surabaya lagi. Kali ini, bisa sampai dua minggu.”
Retno terdiam. Matanya membesar. “Dua minggu? Tapi aku—”
“Aku tahu, Sayang,” potong Arif cepat. “Aku juga nggak mau. Tapi ini langsung perintah dari Ayah. Kalau aku menolak, proyek besar bisa dibekukan.”
Retno memalingkan wajah, menatap ke luar jendela. “Jadi ini caranya mereka menarikmu kembali?”
Arif diam. Ia tahu Retno benar, tapi ia tak ingin memperkeruh keadaan. “Aku janji pulang secepatnya. Aku janji.”
Malam itu mereka berdua tidak banyak bicara. Di kamar, hanya suara hujan dan napas tertahan. Retno memeluk Arif dari belakang, menempelkan wajahnya di punggung suaminya. “Mas, aku takut,” bisiknya lirih.
Arif menatap jendela gelap. “Aku juga,” katanya pelan.
Hari keberangkatan itu datang lebih cepat dari yang diinginkan. Arif berangkat pagi-pagi, sementara Retno berdiri di balkon dengan mata basah. Di tangannya, ia menggenggam syal abu-abu yang pernah Arif belikan di Bandung. Mobil hitam itu menjauh di antara kabut, meninggalkan sunyi yang berat di udara.
Beberapa hari pertama, Retno mencoba tetap kuat. Ia berkomunikasi lewat panggilan video, mengabari Arif tentang bayi mereka yang mulai menendang. Tapi sinyal sering buruk, dan panggilan sering terputus. Arif selalu berjanji akan pulang, tapi setiap kali hari berganti, kabar baru datang—rapat tambahan, proyek tertunda, dan semua terdengar seperti alasan yang disusun orang lain.
Sari semakin sering berbicara dengan nada “peduli” yang justru menusuk.
“Tenang saja, Bu. Bapak pasti sibuk. Lagipula, keluarga besar pasti ingin yang terbaik.”
Namun Retno tahu, yang disebut “terbaik” oleh keluarga Dirgantara belum tentu berarti bahagia.
Malam itu Retno tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon, menatap langit Bekasi yang mendung. Hujan turun pelan, menciptakan bunyi ritmis di atap. Ia menatap perutnya yang mulai membulat, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian.
“Mas…” bisiknya lirih, “semoga kamu nggak lupa rumah ini masih menunggumu.”
Air matanya jatuh tanpa suara. Di kejauhan, petir menyambar samar—pertanda badai belum berakhir.
Di tempat lain, di kamar hotel Surabaya yang dingin, Arif menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Retno tersenyum dengan tangan di perutnya. Ia menutup mata, menahan sesak. Antara cinta dan kewajiban, ia mulai terbelah.
Di antara dua dunia—Bekasi yang hangat dan Jakarta yang penuh kekuasaan—bayangan cinta mereka mulai retak pelan. Dan dari balik restu yang dingin itu, tangan keluarga Dirgantara perlahan mengatur langkah-langkah berikutnya.
menarik