Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 7: Godaan
Selina meregangkan ototnya. Mungkin salah posisi tidur yang membuat seluruh ototnya pegal. Tapi… kasurnya terasa lebih empuk dan nyaman daripada biasanya. Dia semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut.
Ah… seperti di surga. Ruangan dingin, bed cover yang halus, dan wangi ruangan yang bikin nyaman—meninggalkan senyum di wajahnya.
Tunggu. Kenapa wangi ruangannya sangat asing?
Selina membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, lalu perlahan fokus. Dinding ruangan itu tidak familiar—cat hitam, lampu yang menempel di dinding berwana merah, dan rak buku penuh dengan map hitam.
Dia langsung mengambil posisi duduk tegak. Jantungnya mulai berdebar kencang.
Ini bukan kamar gua, batin Selina. Matanya melirik ke setiap sudut ruangan.
Pikirannya langsung kemana-mana. Dia melihat badannya di balik selimut itu—mengecek apakah ada yang berbeda. Kaos hitam yang kebesaran dan celana pendek yang tentu kebesaran juga. Dia langsung terkesiap melihat baju yang dipakai berbeda dari ingatannya. Dia bangkit sambil menyibakkan selimut ke bawah.
“Sh*t! What have I done?”
Lututnya sedikit bergetar. Nafasnya memburu, kepalanya tiba-tiba berdenyut. Seketika dia ingat sekilas… setelah shift semalam, dia meminum alkohol, entah berapa gelas—mungkin kebanyakan yang membuat dia jadi black out. Ia menatap tubuhnya sendiri, lalu menatap ruangan asing ini. Otaknya tidak bisa berpikir, dia berada dimana dan siapa pemilik rumah yang terlalu maskulin ini—aroma kayu dan sedikit tembakau yang menempel di udara.
Dia memberanikan diri keluar dari kamar itu. Pemandangannya di sambut dengan ruangan yang lebih luas—ruang tengah dengan interior minimalis maskulin, benar-benar terlihat seperti rumah seorang pria. Cahaya matahari menyorot dari jendela kaca yang lebar.
Selina melangkah pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Lengannya memeluk tubuh untuk bentuk pertahanan diri.
“Kamu pikir bisa kabur tanpa pamit?”
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara gedekan. Leonhard muncul dari dapur, satu tangan membawa botol minum besar, tangan lainnya memehang ponsel. Parasnya terlihat seperti orang selesai olahraga. Tatapan datanya menembus jantung Selina, seperti sudah menduganya akan kabur seperti pencuri.
Selina tercekat, bibirnya kaku. “Aku… aku…” suaranya terpatah-patah, tidak bisa mencari jawaban yang tepat. Otaknya semakin gila. Dia mencoba mencari celah kejadian semalam yang sama sekali tidak dia ingat.
Seakan tersambar petir, selina mendekati Leonhard dengan ekspresi bingung. “Why am I here?”
Leonhard mengangkat alisnya. “Kamu yang pasksa saya bawa pulang,” jawabnya santai. Benar-benar santai seperti tidak merasa bersalah.
Darah Selina berdesir, wajahnya memanas. “Gak mungkin.”
“You were drunk,” ujar Leonhard cepat, kemudian pergi dari dapur menuju ruang TV. Dia menjatuhkan badannya di sofa yang terlihat empuk itu. Selina membuntuti dengan perasaan campur aduk.
Selina berdehem, membersihkan tenggorokan yang tercekat. “Did we…”
“Jangan gila. Saya bukan baj*ngan yang seenaknya tidur sama orang.” Leonhard memotong cepat, suara beratnya dingin.
“T-tapi… bajuku?” Selina sedikit menjerit, karena memang dia ingat ini bukan bajunya. “Di sini cuma ada kamu. Siapa yang ganti kalo bukan kamu? OH MY GOSH! Kamu liat—”
Leonhard memotong Selina lagi. “Diam, Selina.” Suaranya berat dan tajam. “Kamu muntah semalam. Bajumu kotor. Prima yang gantikan, bukan saya.”
Selina menghembuskan nafas berat, sedikit lega. Dia terpatung di depan Leonhard. Pikirannya tidak tenang. Betul memang dia mengejar Leonhard, tapi… dia masih punya akal sehat. Lagipula, Leonhard termasuk pria asing yang baru dia kenal selama sebulan.
Suara helaan nafas berat terdengar. “Sit,” ujar Leonhard tegas. Selina menatapnya sebentar sebelum mematuhi perintah. Leonhard mengernyit. Dia merasa asing dengan Selina yang patuh dengan perintahnya—tidak sepertinya biasa yang selalu membantah. Leonhard kembali ke dapur untuk mengambilkan segelas air.
Ketika kembali, dia mendapati Selina duduk di ujung sofa dengan wajah tegang. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, jelas berusaha menahan kegugupan.
Leonhard mengerti. Selina hanya gadis penasaran yang ingin tahu bagaimana dunia berjalan—mau itu baik atau buruk. Kadang, Selina terlalu impulsif dan tidak memikirkan keselamatannya sendiri.
Raut wajah Leonhard melembut, tidak ingin membuat Selina semakin takut dan berpikir macam-macam. “Minum dulu,” perintahnya dengan nada lebut sambil menyodorkan gelas itu.
“Thanks,” gumamnya. Selina menerimanya dengan hati-hati. Dinginnya air langsung menurunkan rasa paniknya. Namun, tatapan mata Leonhard terus mengawasi, membuat setiap tegukan air terasa seperti interogasi.
“Why are you looking at me like that?” Selina akhirnya bersuara, nada suaranya lebih rendah.
Leonhard jongkok di hadapan Selina, membuatnya sedikit mundur. Selina menatapnya bingung, tatapan yang sama seperti dia menemukan Leonhard di dapur.
Leonhard menghela nafas pelan. “Saya cuma mau memastikan.”
“Mastikan apa?” tanya Selina, genggaman di gelasnya semakin erat. Dia masih harus berjaga-jaga.
“Mastikan kamu sadar sama apa yang kamu lakukn semalam. Did you think I’m that stupid? The way you cling to me all night, cara kamu manggil saya… kamu bener-bener hampir bikin saya lost control.”
Kata-kata itu membuat Selina tercekat. Gelasnya hampir tergelincir dari tangannya. “Aku… aku gak inget apa-apa,” bisiknya sedikit kaget.
Selama ini, dia tidak pernah mabuk sampai black out. Ini pertama kalinya, dan kenapa harus dengan bos sekaligus target permainannya. Kepalanya terasa ingin meledak kalau dia menerima informasi baru tentang semalam.
Leonhard mencondongkan tubuhnya, suaranya rendah, namun menghantam tajam telinga Selina. “Good. Jangan diingat. Mungkin kamu gak akan berani liat saya lagi,” ujarnya. Bibirnya sedikit terangkat dan matanya menusuk tajam.
1:1 untuk Leonhard.
Selina masih terdiam. Dia berusaha untuk mengingat kejadian semalam, tapi dia hanya bisa ingat sampai dia mulai menuangkan Whiskey di gelasnya. Sisanya… gelap.
Malam itu… bar semakin sepi menjelang tengah malam. Selina menyelesaikan shift-nya dengan sempurna hari ini. Prima terlihat puas dengan sikap Selina yang cekatan melayani pelanggan.
Setelahnya, dia meminta izin dengan Prima untuk segelas cocktail, tapi karena merasa kurang, dia mengambil botol Whiskey.
Prima sempat menegur, “Selina, cukup.” Tapi dia hanya melambaikan tangan.
“I’m gonna be fine. Just one more.”
Tak lama kemudian, Leonhard muncul. Pandangannya langsung tertuju pada Selina yang sudah oleng dari kursi bar. Rahangnya mengeras.
“Selina.” Suaranya berat dan tegas.
Dia menoleh dengan senyum mabok, matanya setengah terpejam. “Oh! Bos…You came…” ucapannya terputus karena cegukan. “…mau minum bareng?” dia cegukan lagi. Leonhard melirik Prima seolah bertanya.
“She wanted to drink… but, I guess she went too far,” ujar Prima sedikit merasa bersalah.
“Went too far? Prima. It’s beyond her.” Leonhard menangkap tubuh Selina yang hampir jatuh. Gadis itu hanya cengengesan.
Leonhard mengambil paksa gelas di tangannya, membuat Selina cemberut. “No… my drink…”
“Kamu udah kelewatan.”
Selina terkekeh lagi, tanpa sadar menyenderkan kepalanya ke dada bidang Leonhard. Dia mendongak menatap wajah Leonhard “Hm… you look funny…” dia cegukan lagi. “Take me… you’ll take care of me… right?”
Leonhard menatapnya tidak percaya. Sungguh beban, batinya berkata.
“Right…?” tanya Selina sambil cemberut. Leonhard menghea nafas berat. Memikirkan masalah apa lagi yang akan timbul setelah Selina masuk dalam hidupnya.
Leonhard kembali menatap Prima, mencoba mengirim sinyal. Tapi sepertinya Prima punya cara lain yang tidak sejalan dengannya.
“Lo serius mau biarin dia begini?” bisik Prima. Nadanya ad sedikit godaan yang tersembunyi.
Leonhard menatap Selina yang sudah benar-benar hilang kesadarannya. Dia terus-terusan menempel pada dadanya, sesekali melingkarkan lengannya sehingga seperti dia sedang memeluknya. Leonhard sangat ingin membiarkan Selina, tapi bayangan para pelanggan bar ini yang brengsek bisa saja menjadikannya ‘boneka’. Dia tidak bisa melakukan itu.
“F*ck my life,” desisnya pelan.
Dia sedikit membungkuk, menepuk pelan pipi Selina. “Selina.” Suaranya datar, berusaha menyadarkannya. Gadis itu membuka matanya sedikit sambil tersenyum kecil.
“You look… different… you—you look… hot.” Lalu kepalanya ambruk ke bahu Leonhard.
“Gua pesenin taxi, deh,” ujar Prima.
“No. Dengan keadaan dia begini, banyak baj*ngan di luar sana yang bakal ngambil kesempatan,” jawab Leonhard cepat. Tatapannya lurus. “I’ll send her off.”
Dengan sekali gerakan, dia mengangkat Selina ke pelukannya—menggendongnya secara bridal style. Selina meringkuk, matanya terbuka sedikit, lalu tersenyum. Gadis itu memgaitkan lengannya di leher Leonhard.
Beberapa pengunjung melirik, beberapa bahkam tersenyum menggoda. Tatapan mereka membuat Leonhard semakin ingin menghabisi siapapun yang berani berpikir macam-macam.
“Lo nyusul. Gua yakin dia bakal muntah… and I need you to take care of it,” ujarnya pada Prima.
“Gua banget yang bersihin muntahnya?” tanya Prima sedikit kesal.
“For f*ck sake, Prima. Lo mau gua yang gantiin bajunya nanti?” tukas Leonhard. Suaranya lantang dan sedikit meninggi. Prima mundur selangkah karena kaget, kemudian langsung mengangguk menuju mobilnya sendiri.
Di parkiran, Leonhard menaruhnya di kursi depan, memasangkan seatbelt, lalu menatap wajah mabuk itu beberapa detik lebih lama dari yang dia mau. Dia meneliti setiap garis wajah gadis itu. Selina terlihat sangat manis kalau tidak memberontak.
“Kamu gak ngerti seberapa berat saya menahan diri.” Tangannya yang besar itu menyapu helai tambut yang menutupi wajah Selina.
Dia menutup pintu mobil dengan lembut, mencoba menutup juga pikirannya.
Leonhard mendorong pintu kamarnya dengan bahu, Selina masih tertidur dalam gendongan. Gadis itu sudah kehilangan kesadarannya, tapi masih sesekali merancu tidak jelas. Dia menidurkanya di kasur, sambil melepaskan sepatunga yang masih terpasang. Benar saja, setibanya mereka di depan rumah, Selina muntah. Kemudian dia menyuruh Prima untuk menggangi pakaiannya dan menunggu di ruang TV.
“Gua balik ya. Semuanya udah gua ganti,” Prima pamit.
Leonhard beranjak dari tempatnya menuju kamar—mengecek keadaan Selina yang tertidur. Saat dia berbalik, suara lirih Selina terdengar.
“Pak Baskara…”
Langkah Leonhard terhenti. Jantungnya berhenti sepersekian detik. Punggungnya kaku. Dia menoleh pelan, menatap Selina yang masih dengan mata terpejam.
“Don’t smile like that… you make me…” gumamnya tidak jelas.
Leonhard mendekat, berjongkok di samping Selina yang tertidur. “What did you call me?” Dia ingin memastikan yang didengar tadi benar, tapi sepertinya Selina hanya mengigau.
Leonhard mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar di ujung jurang. Ini baru sebulan dia mengenal Selina… bagaimana bulan berikutnya. Bahkan dalam keadaan mabuk pun gadis itu bisa mengganggu pertahanannya.
Tiba-tiba Selina berbalik badan, wajah mereka berdekatan. Leonhard bisa merasakan deru nafas gadis itu. Tangannya terangkat ingin membelai wajahnya, tapi niatnya diurungkan. Leonhard memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan gejolak yang merambat ke dadanya.
“Pretty lips…” gumam Selina. Matanya terbuka sedikit. Dia mengangkat tangannya, jarinya menyentuh bibir bawah Leonhard. Sang pemilik tertegun, tidak bergeming. Membiarkan gadis itu menyentuhnya—sentuhan yang terasa seperti sengatan elektrik di tubuhnya.
“Tattoo… so hot… like you,” gumamnya lagi. Tangannya menjalar turun ke bawah dada—tidak berhenti, tangan itu terus turun. Dengan sigap, Leonhard menangkap gangannya yang kecil itu.
“Don’t test me, Selina. Kamu gak tau siapa yang ada di depanmu ini. Be careful.” Nadanya dalam, sebuah peringatan jelas. Gadis itu hanya menyeringai, kemdian menangkap wajah Leonhard ke dalam kedua telapak tangannya.
Mata Leonhard membulat, mencoba menarik badannya, tapi gadis itu ikutan menariknya mendekat.
“I wanna taste… that.” Mata Selina turun ke bibir Leonhard, mendekatkan wajahnya, sehingga deru nafas mereka saling bertemu. Leonhard menelan ludahnya. Ini berlebihan untuknya.
Beberapa inci lagi, bibir mereka bersentuhan.
Sebelum itu terjadi, kepala Selina tiba-tiba jatuh di pundaknya. Nafasnya teratur. Dia tidak sadarkan diri lagi.
Leonhard membeku, menghela nafas berat. Ia mendengus pelan, setengah kesal, setengah lega.
“This girl is gonna k*ll me someday.”