"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJUTAN DI SORE HARI
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, murid-murid lain segera memenuhi gerbang dengan tawa dan obrolan riuh. Sementara di antara kerumunan itu, Luna berjalan sendirian, tanpa satu pun yang menoleh atau menyapanya. Ia sudah terbiasa—bayangan dirinya memang selalu tak dianggap di antara ramai dunia orang lain.
Tasnya disampirkan di satu bahu. Ia menunduk sedikit, langkahnya cepat dan teratur. Dari sekolah, ia langsung menuju jalan kecil di samping halte—jalan yang menjadi rute tercepat menuju toko bunga tempatnya bekerja setelah jam pelajaran selesai.
Udara sore menampar lembut wajahnya, menyapu helai rambut yang keluar dari ikatan. Matahari condong ke barat, menyinari seragamnya yang mulai lusuh. Suara tawa teman-teman sekelas yang lewat di belakangnya hanya menjadi gema jauh di telinga. Luna tidak menoleh. Ia tahu, suara itu bukan untuknya.
Sesampainya di depan toko bunga mungil berwarna hijau pudar, ia segera masuk. Aroma segar dari bunga mawar, lili, dan melati menyambutnya—lebih hangat daripada suasana sekolah mana pun yang pernah ia datangi.
"Hei Lun, lo udah pulang?" Sapa Indah.
Luna mengangguk, seperti biasa, ia meletakkan tas sekolahnya di rak dekat pintu masuk toko—tempat yang selalu sama setiap hari. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Setelah itu, ia mengambil seragam kerjanya—blus putih polos dengan skirt pastel berwarna merah muda. Dengan langkah ringan, Luna menuju ruang ganti kecil di belakang toko.
Perlahan, ia mengganti seragam sekolah dengan pakaian kerjanya. Gerakannya hati-hati, seolah setiap lipatan baju harus sempurna. Rambut panjangnya yang tadi terurai kini ia gulung rapi ke atas, diikat dengan karet hitam kecil yang selalu ia simpan di saku.
Lima menit kemudian, Luna keluar dari ruang ganti. Penampilannya benar-benar berbeda. Tak lagi seperti siswi SMA biasa—kini ia tampak lebih dewasa, lebih tenang, seperti seseorang yang sudah terbiasa menanggung tanggung jawab yang besar.
"Komplek Adimuwarman nomor lima puluh tiga ya, Lun," Ucap Indah. “Bunganya udah gue siapin di sana, di rak dekat jendela.”
Luna menatap arah yang ditunjuk, lalu menunjuk balik ke buket bunga berbungkus kertas cokelat lembut di atas meja kayu kecil. “Yang ini, kan?” tanyanya pelan untuk memastikan.
Indah mengangguk sambil tersenyum kecil. “Iya, yang itu. Hati-hati ya, bunga itu pesanan langganan tetap. Jangan sampai kelopak mawar putihnya rusak.”
"Siap, Bos!" Angguk Luna. Ia melangkah perlahan ke meja, lalu mengambil buket itu dengan dua tangan, memeluknya seolah sedang menjaga sesuatu yang rapuh. Aroma lembut bunga mawar menyentuh hidungnya, menenangkan hati yang diam-diam penat. "Gue pergi dulu ya, Ndah."
"Hati-hati, Lun. Kalau ada apa-apa kabarin gue."
Luna mengangguk lagi. Ia lalu keluar dari toko, menuruni dua anak tangga kecil di depan pintu. Langit sore sudah mulai berwarna jingga kemerahan. Suara angin sore menyapu ujung blusnya saat ia melangkah menuju sepeda yang terparkir di halaman.
Ia kemudian meletakkan buket bunga di keranjang depan sepeda, menyesuaikan posisinya agar tidak miring.
Awalnya, Indah sempat menyodorkan kunci motor ke arah Luna, namun gadis itu hanya menggeleng pelan. Ia tak mengambilnya, hanya tersenyum kecil sebagai penanda penolakan yang halus. Luna memang tak bisa mengendarai motor.
Bagi sebagian orang, perjalanan itu mungkin terasa jauh dan melelahkan. Tapi bagi Luna, setiap kayuhan sepeda selalu punya arti—bukan sekadar mengantar bunga, melainkan juga membawa sedikit harapan dari hidup yang sederhana namun tetap ia perjuangkan.
“Adimuwarman nomor lima puluh tiga,” gumamnya pElan, seolah ingin meneguhkan arah di dalam pikirannya. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara lalu lintas sore yang padat.
Ia kembali menatap kertas kecil bertuliskan alamat itu, memastikan tak ada yang salah, lalu melipatnya hati-hati dan menyelipkannya di saku roknya.
Sekilas, senyum tipis muncul di wajahnya. Ada semacam ketenangan dalam rutinitas ini. Mengayuh sepeda, mengantar bunga, lalu kembali ke toko menjelang malam. Sederhana, tapi membuatnya merasa berarti.
Angin sore berhembus lembut, mengibaskan ujung rambut yang terlepas dari gelungnya. Roda sepeda terus berputar, melewati jalan-jalan sempit yang mulai diselimuti cahaya oranye matahari. Hingga akhirnya, perjalanan itu membawanya ke sebuah kawasan perumahan besar di ujung jalan. Gerbangnya menjulang tinggi dengan papan nama bertuliskan Komplek Adimuwarman Residence dalam huruf perak mengilap. Dari luar saja, tampak jelas perbedaannya dengan lingkungan yang biasa Luna lewati setiap hari.
“Lima puluh tiga,” gumamnya pelan, seiring kayuhan sepedanya yang mulai Melambat. Matanya menelusuri deretan papan nomor rumah di sisi kanan jalan, satu per satu, di antara pagar-pagar tinggi yang tampak serupa namun berkelas.
Pandangannya berpindah dari satu pagar ke pagar lain—empat puluh sembilan, lima puluh satu, lima puluh dua—hingga akhirnya berhenti pada rumah besar bercat krem muda dengan pagar besi hitam bergaya klasik. Di puncak pilar pagarnya, angka lima puluh tiga terukir jelas dalam warna emas mengilap.
Luna menarik napas panjang, menghentikan sepedanya tepat di depan rumah itu. Di keranjang depannya, buket bunga bergoyang pelan tertiup angin. Cahaya jingga matahari sore memantul di kelopak mawar putih di dalamnya, membuatnya tampak berkilau.
Sesaat, Luna hanya berdiri di sana, menatap rumah megah itu dalam diam. Ada sedikit keraguan di matanya—rasa canggung yang muncul setiap kali ia harus mengetuk pintu rumah orang kaya. Namun, seperti biasa, ia menenangkan diri, menguatkan genggaman pada buket bunga, dan bersiap menjalankan tugasnya.
“Permisi… dengan Mawar Indah Florest!” Seru Luna, suaranya lembut namun cukup jelas menembus keheningan halaman rumah yang luas itu.
Ia berdiri di depan pagar besi tinggi berwarna hitam. Dari balik pagar, rumah besar dua lantai itu tampak sunyi, hanya terdengar samar gemericik air dari kolam kecil di dekat taman depan. Luna menunggu sejenak, menatap ke arah pintu utama yang masih tertutup rapat. Tangannya memegang buket bunga erat-erat, menjaga agar pita di bagian bawahnya tidak terlepas.
"Permisi… pengantaran bunga dari Mawar Indah Florest!” Seru Luna sekali lagi.
Suara langkah kaki dari dalam rumah semakin jelas—teratur, berat, namun tidak tergesa. Luna menatap ke arah pintu kaca besar di tEngah bangunan megah itu. Tirai tipis berwarna krem sempat bergoyang, lalu perlahan tersibak.
Dari baliknya, muncul seorang remaja laki-laki berseragam rumah sederhana, dengan kaus putih dan celana training gelap. Rambutnya sedikit berantakan, seolah baru saja bangkit dari waktu istirahat. Wajahnya yang pernah ia lihat cukup tampan, dengan garis rahang tegas dan sorot mata tajam yang memantulkan cahaya sore. Namun di balik ketenangan itu, ada kesan dingin—seperti seseorang yang jarang menampakkan ekspresi.
Luna. Nama itu langsung terlintas di benak Arga, mesKi bibirnya sama sekali tidak bergerak. Ia berdiri kaku di ambang pintu, menyembunyikan keterkejutannya di balik tatapan datar yang berusaha ia pertahankan.
Sekilas, matanya menelusuri wajah gadis di depan pagar—wajah yang selama ini hanya ia lihat sepintas di koridor sekolah, biasanya menunduk dan berjalan cepat, seolah berusaha tak terlihat oleh siapa pun. Kini gadis itu berdiri di depannya, bukan dengan seragam sekolah, melainkan kemeja sederhana dan rok panjang berwarna lembut. Tangannya memeluk buket bunga, begitu hati-hati seolah sedang menjaga sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar pekerjaan.
“Atas nama Argantara Putra Pradipta?” Suara Luna pelan tapi cukup jelas, memecah Lamunan Arga yang sempat terhenti di antara kebingungan dan ingatan.
“Oh… iya,” Sahut Arga akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia berdeham kecil, mencoba menetralkan nada suaranya agar tidak terdengar canggung. “Itu buat saya, ya?”
Luna mengangguk sopan. “Iya. Pengiriman dari Mawar Indah Florest.” Ucapannya ringkas, tapi sikapnya penuh hati-hati saat menyerahkan buket itu di antara celah pagar.
Arga menerima bunga itu perlahan. Jemarinya sempat bersentuhan ringan dengan tangan Luna, sekilas saja, namun cukup untuk membuat keduanya sama-sama terdiam sepersekian detik. Arga segera menarik tangannya, menatap bunga di genggamannya, lalu kembali pada gadis di depannya.
Kemudian, Luna menunduk sopan. “Pembayaran sudah dilakukan lewat transfer, ya. Semoga puas dengan buket yang diantarkan. Terima kasih,” Ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin sore yang membawa samar aroma bunga dari keranjang sepedanya.
Kata-katanya terdengar lembut, teratur, dan penuh kesopanan yang sudah menjadi kebiasaannya saat bekerja. Setelah memastikan bunga telah diterima, ia menatap sekilas ke arah Arga—cukup untuk memberi isyarat perpisahan, lalu segera melangkah mundur, memutar sepeda tuanya perlahan.
Sementara Arga masih berdiri di tempat, memandangi punggung Luna yang perlahan menjauh di bawah langit senja. Di tangannya, buket bunga itu terasa aneh—entah kenapa lebih berat dari seharusnya. Angin sore berembus pelan, membuat pita di sekitar batang bunga berkibar ringan, seolah menirukan sosok gadis yang kembali pergi.
****