Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Luka
Waktu itu, beberapa hari lalu saat Zara baru positif hamil dan mengabarkan Erick.
Sepanjang hari itu ponsel Erick berdering beberapa kali dengan telepon dari Emily. Tadi pagi setelah Erick menaruh uang yang dilemparkan ke muka, Emily tidak menyadari bahwa uangnya tidak diambil Erick dan kembali ke dalam dompetnya. Ia hanya membersihkan diri, berpakaian dan pergi, tanpa sepatah kata pun. Namun sekarang, ia terus menghubungi Erick.
Erick mengabaikannya satu kali panggilan. Pada saat panggilan kedua yang berselang beberapa jam kemudian, Erick baru mengangkat panggilan dari Emily.
"Ke ruangan aku sekarang." Tanpa basa-basi, Emily menyuruh Erick untuk lekas datang ke ruangannya.
Erick menghela napas, menyimpan ponselnya. Ia sudah menduga Emily akan menghubunginya setelah laporan proyek semalam selesai dikerjakan. Selalu saja ada detail kecil yang tidak lepas dari pandangan Emily, dan ia akan marah-marah jika tidak sesuai apa yang menjadi targetnya.
Ia pun beranjak menuju ruangan Emily. Pintu yang kokoh itu sedikit terbuka, mempersilakannya masuk tanpa perlu mengetuk. Saat Erick melangkah masuk, Emily sudah duduk di kursi kebesarannya, punggungnya menghadap pintu. Ruangan itu sepi.
"Kau datang juga, Erick," ujar Emily tanpa berbalik. Ada nada sinis di dalam suaranya.
"Ada perlu apa, Em?" tanya Erick.
Emily mendengus, lalu memutar kursinya menghadap Erick. Raut wajahnya dingin dan semwrawut.
"Aku hanya ingin tahu, mengapa laporanmu tentang merger perusahaan manufaktur itu tampak seperti laporan magang?"
Erick menahan dirinya untuk tidak bereaksi.
"Aku sudah membuat proyeksi terbaik dari data yang tersedia, Emily. Tepat seperti yang kau minta, dengan skenario terburuk dan tingkat kerugian minimal."
"Kerugian minimal? Erick, kita tidak bergerak dalam bisnis minimal kerugian. Aku ingin keuntungan maksimal. Aku tidak mau ada yang namanya kegagalan." tekan Emily, mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Lihat halaman ini. Coba kau jelaskan!"
Erick mencoba menjelaskan dengan suara yang tenang dan profesional. "Emily, angka-angka itu sudah melalui validasi. Kita tidak bisa menjanjikan pertumbuhan yang tidak realistis hanya untuk memuaskan ekspektasi di awal. Pasar sedang fluktuatif, dan ini adalah langkah yang paling bijak untuk mengambil resiko. Namanya sebuah rencana, tidak selalu mulus, pasti akan menemukan cobaan. Dan ini adalah cara yang tepat dengan tingkat kerugian yang paling bisa kita terima."
Emily tertawa kecil, "Bijak? Erick, aku tidak butuh kebijaksanaanmu yang membosankan. Kau selalu bersembunyi di balik kata resiko. Kau tahu, itu membuatku berpikir bahwa bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi dalam segala hal, kau itu tidak bisa diandalkan."
Kata-kata itu menghantam Erick lebih keras daripada yang seharusnya. Selama ini, ialah yang selalu membereskan kekacauan Emily, dialah orang yang paling bisa Emily andalkan, bahkan di luar pekerjaan.
"Mungkin, kau tidak memiliki gairah yang cukup, atau, yah, mungkin kau terlalu sibuk mengurus hal-hal tidak penting di luar sini, sehingga fokusmu terpecah. Kau tahu, itu mengecewakan. Aku menaruh kepercayaan besar padamu, padahal aku tahu kemampuan terbaikmu hanyalah menjadi pengikut yang patuh. Dasar bawahan dungu!"
"Em, aku juga suamimu. Tolong jaga perkataanmu."
"Dasar suami gak berguna." Alih-alih jaga perkataan, Emily malah menambah-nambahkan umpatannya.
Tiba-tiba, Emily menggeser badannya, meraih pisau buah di atas mejanya. Matanya berkilat amarah yang tidak terkendali. Ia mengacungkan pisau itu ke udara, hendak membantingnya ke meja atau, lebih buruk, melemparkannya ke wajah Erick. Tindakannya begitu tiba-tiba dan berbahaya, menunjukkan bahwa emosinya benar-benar di luar kendali.
Erick bergerak cepat. Dengan refleks, ia menjulurkan tangan kanannya dan menepis. Erick menarik tangannya kembali. Seketika, ia merasakan sensasi perih yang panas. Ia melirik ke telapak tangan kanannya. Ada garis merah tipis yang langsung mengeluarkan darah.
Emily terdiam, terkejut dengan tindakannya sendiri dan gerakan cepat Erick. Ia menatap bercak darah di tangan Erick, tapi tidak menolongnya.
Sedangkan Erick, ia tidak menunjukkan rasa sakit atau marah. Ia hanya menatap Emily.
"Emily, kau perlu tenang. Amarahmu tidak akan membuat angkanya berubah. Itu hanya akan melukaimu."
Ia mengambil sapu tangan dari saku jasnya dan melilitkannya di luka kecilnya.
"Aku akan perbaiki laporannya hari ini. Tapi kau harus ingat, rencanaku adalah yang terbaik. Sekarang biarkan aku keluar. Dan tolong, kendalikan dirimu."
Erick berbalik dan meninggalkan ruangan itu, menyisakan Emily yang terpaku di kursinya.
Begitulah ceritanya jika Erick kerap mendapatkan luka. Itu hanya sebagian dari kejadian kecil.
"Jadi begitu ceritanya, sayang."
Zara hanya diam. Ia fokus mengobati luka di telapak tangan Erick, membersihkannya lalu membalutnya dengan perban steril. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, namun bibirnya tetap bungkam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar untuk menjelekkan Emily atau membela tindakan Erick.
Erick memperhatikan raut wajah Zara. Keheningan Zara lebih menenangkan daripada seribu kata dukungan. Ia tahu, di posisi sebagai istri simpanan yang baru saja mengandung anaknya, Zara punya hak penuh untuk merespons dengan segala macam emosi, termasuk kebencian pada Emily, istrinya yang sah. Namun, Zara memilih untuk tidak merusak mood di rumah kecil itu dengan energi negatif.
Setelah selesai membalut, Zara mendongak dan tersenyum tipis. Matanya yang indah menatap Erick.
"Sudah selesai. Tidak usah dipikirkan lagi. Lukanya kecil, besok juga sembuh," Ujarnya sambil meniup-niup luka Erick, entah untuk apa tujuannya.
"Terimakasih, istriku."
"Sama-sama, suamiku. Mau kubuatkan kopi?"
"Boleh. Seduhnya pake cinta, ya."
"Siap Om." Jawab Zara, praktis membuat Erick terkekeh. Om itu panggilan Zara ke Erick sewaktu baru kenal. Dan waktu itu pun Erick manggil Zara dengan sebutan Mbak.
Kadang kala mereka suka menyematkan panggilan itu disaat suasana bercanda seperti ini.
...****...
Sementara di pusat kota yang ramai.
Emily, yang malam itu mengenakan gaun kulit hitam ketat dan riasan tebal, menyatu dengan alunan musik malam. Ia berada di tengah lantai dansa sebuah klub malam mewah bersama seorang rekannya. Gelas anggur yang ia pegang hampir tandas, menunjukkan berapa banyak minuman keras yang sudah ia tenggak malam itu.
"Em, kamu tuh gila, masa hampir nyabet suami sendiri?" celetuk temannya, seorang sosialita bergaun merah.
Emily menenggak minumannya tanpa berkedip. "Dia bukan suami kalau udah bikin aku rugi."
Temannya tertawa. "Kayanya kamu butuh liburan deh. Biar otaknya gak cuma untung rugi terus."
"Liburan itu nanti. Sekarang aku mau berpesta. Hidup cuma sekali, dan aku nggak mau kalah sama lelaki. Aku wanita kuat yang tidak tergoyahkan oleh apapun, termasuk cinta."
Emily memejamkan mata sesaat, membayangkan wajah datar Erick ketika ia selalu melukainya. Namun, ia segera menepis pikiran itu. Ia kembali tertawa keras, menikmati hingar bingar alunan musik di sekitarnya.
Ia mengangkat tangannya ke udara dan mulai menggoyangkan tubuhnya dengan agresif. Bagi Emily, dunia malam adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menjadi ratu tanpa ada yang berani menentangnya.
.
.
Bersambung.
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁
jadi curhat nih