Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. sakit yang paling dalam, ketika seorang ayah tak bisa mengakui anaknya.
Suasana sore di kediaman Wijaya begitu tenang, hanya suara gemericik air dari kolam renang yang terdengar. Aluna duduk santai di kursi panjang tepi kolam, rambutnya tergerai lembut diterpa angin. Taka duduk di sampingnya, satu lengannya melingkar mantap di pinggang sang istri. Gerakan sederhana itu penuh makna, seolah ingin mengatakan kepada dunia bahwa Aluna adalah miliknya dan tak seorang pun boleh merenggutnya lagi.
Dari kejauhan, langkah tergesa-gesa terdengar. Barra memasuki halaman dengan setelan rapi, wajahnya menegang. Pandangannya langsung menangkap pemandangan itu, Taka yang merangkul Aluna, Aluna yang tersenyum tipis dengan tatapan teduh. Ada api kecil yang menyala di dada Barra, rasa cemburu yang menusuk. Namun ia buru-buru menutupinya, mengatur wajah agar terlihat tenang.
“Tuan Takahashi,” ucap Barra, berusaha terdengar formal. “Saya datang untuk bicara, ada hal penting.”
Taka menoleh perlahan, sorot matanya dingin. “Apa yang bisa begitu penting sampai kau datang ke sini?”
Barra menarik napas panjang. “Saya … saya ingin meminta bantuanmu. Perusahaan saya sedang terancam runtuh, hanya Anda yang bisa membantu.”
Aluna melirik Taka, nyaris bisa menebak sang suami akan menolak mentah-mentah. Dan memang, rahang Taka sudah mengeras, tanda ketidaksetujuan. Namun sebelum ia bicara, Aluna mengangkat tangan, menghentikannya.
“Berikan dia kesempatan bicara,” ucap Aluna tenang. Taka menatapnya, tapi akhirnya mengangguk kecil. Barra langsung mendekat, penuh harap. “Katakan, apa syaratmu. Apa pun itu, akan saya lakukan.”
Baru ia hendak melangkah lebih dekat, Taka berdiri. Gerakannya cepat dan tegas, berdiri tepat di depan Aluna, seolah membentuk dinding tak terlihat. Barra tertegun, dadanya bergemuruh melihat sikap protektif itu.
Suara Aluna terdengar jelas dari balik tubuh Taka. “Syaratnya sederhana, Barra. Taka akan membantumu … asal kau berjanji tak akan pernah lagi mendekati Raka ... dan menganggu hidup kami.”
Mata Barra melebar, dadanya seperti diremas. “Aluna…” suaranya bergetar.
“Dengar baik-baik,” lanjut Aluna, nadanya menusuk. “Selamanya kau tidak boleh mengaku bahwa Raka itu anakmu di depan siapa pun. Itu harga yang harus kau bayar, Barra. Harga dari enam tahun sakit yang kau tinggalkan untukku.”
Kedua tangan Barra mengepal erat, begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ada bara marah yang ingin meledak, tapi ia tahu posisinya kini. Dia butuh bantuan dan dia tidak punya pilihan.
Akhirnya, dengan suara berat yang nyaris pecah, Barra berkata, “Baik … aku setuju.” Matanya tetap tak bisa lepas dari wajah Aluna, meski tatapan itu penuh luka dan keinginan terpendam. Taka menunduk sedikit, menatap Barra dengan sorot mengintimidasi. “Asistenku akan mengurus sisanya. Jangan coba-coba melanggar syarat yang istriku tetapkan … atau aku sendiri yang akan menguburmu, Barra.”
Tiba-tiba suara langkah kecil terdengar dari arah dalam rumah. Raka, dengan wajah pucat namun penuh semangat, berlari kecil sambil menyeret selimut tipis yang masih melekat di bahunya.
“Daddy…!” serunya lantang, matanya berbinar saat melihat Taka duduk di tepi kolam.
Pengasuhnya panik, buru-buru menyusul dari belakang. “Tuan Raka! Tuan muda, jangan lari, kamu masih sakit…” ucapnya sambil sedikit terengah.
Taka sontak berdiri dan segera meraih tubuh mungil Raka sebelum jatuh, merengkuhnya penuh hati-hati.
“Hei, kamu nggak boleh lari-lari dulu. Daddy kan sudah bilang, istirahat dulu supaya cepat sembuh,” ucap Taka lembut, mengusap rambut anak itu.
Barra yang berdiri tak jauh dari mereka hanya bisa terpaku. Hatinya terasa teriris dalam. Satu kata yang keluar dari mulut Raka, Daddy membuat dadanya sesak, seolah ditikam berkali-kali. Jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya, namun ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat lemah.
Aluna bangkit perlahan, menghampiri mereka dengan senyum tipis yang penuh makna. Ia menatap Barra sekilas sebelum berjongkok di depan Raka. “Sayang, jangan lupa … ucap salam sama om itu.” Jemarinya menunjuk ke arah Barra.
Raka menoleh dengan polos, matanya berkedip bingung.
“Om?” tanyanya, sebelum melambaikan tangan kecilnya, “Halo, Om…”
Barra menelan ludah, berusaha membalas senyuman meski terasa getir. Ia mengangguk pelan. “Halo, Raka…” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Dalam hati, Aluna tersenyum puas. Tatapan kecewa sekaligus sakit di wajah Barra adalah balas dendam kecil yang sudah lama ia tunggu. Kini, pria itu bisa merasakan perih yang sama seperti yang ia alami enam tahun lalu.
Sebelum kembali masuk, Raka menoleh pada Taka, lalu dengan spontan ia memeluk leher ayah tirinya itu dan mengecup pipinya.
“Love you, Daddy…” ucapnya tulus.
Taka tersenyum hangat, mengelus kepala anak itu. “Love you too, Sayang. Sekarang mandi dulu, biar segar ya.”
Aluna menggandeng tangan putranya, membawa Raka masuk ke dalam rumah. Namun sebelum benar-benar melangkah pergi, ia sempat melirik Barra sekilas dengan tatapan penuh kemenangan. Barra terdiam, matanya mengikuti punggung kecil Raka yang semakin menjauh, hatinya kembali terasa robek.
Begitu hanya tersisa mereka berdua di tepi kolam, Taka menegakkan tubuhnya, menatap Barra tanpa basa-basi.
“Kerja sama kita akan berjalan sesuai rencana. Asisten saya akan mengurus detail kontraknya. Tapi ingat, Barra…” suaranya dalam, tegas, dan penuh tekanan.
Barra mengalihkan pandangan, berusaha menahan amarah yang menggelegak dalam dadanya. “Apa maksudmu?” tanyanya dingin.
Taka melangkah setengah meter mendekat, menatap langsung ke arah mata pria itu. “Jangan macam-macam, jangan coba-coba menyentuh Aluna, dan jangan sekalipun kau berani mendekati Raka dengan status yang bukan milikmu. Sekali saja kau melanggar, aku pastikan semua yang kau miliki hancur.”
Nafas Barra memburu, tangan kirinya mengepal hingga buku jarinya memutih. “Kau pikir kau bisa menahanku selamanya?” gumamnya dengan suara rendah penuh emosi.
Taka menyunggingkan senyum tipis, namun matanya tetap dingin. “Aku tidak hanya pikir, aku yakin, karena sekarang … Aluna dan Raka memilihku, bukan kau.”
Sunyi sejenak, hanya suara percikan air kolam yang terdengar. Barra menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan luka dan rasa marahnya. Dia tahu, untuk saat ini ia tidak punya kuasa.
"Pikirkan baik-baik. Kau yang membuang berlian itu," ucap Taka dan berlalu pergi meninggalkan Barra yang terdiam sendiri di tempat itu.
penyesalan memang dtang belakangan kalau didepan namanya pendaftaran🤣🤣🤣
Kamu sdh sadar kesalahanmu,maka kamu jga berhak bahagia Bara, bkn dngn Aluna tapi dngn orng lain,,,,
Dan andaikata Aluna menerima permintaan Taka supaya dia kembali lgi sm Barra ,"Yaaa,,,Terrlaaaluuu!!,,,,kasian Taka donk!! 😭😭
Skrng stlh 6thn mantan istrinya di Ratukan oleh Taka,dan anaknya sendiri tidak memanggil dia Ayahnya,dan lbih menganggap Taka Ayahnya,,,,,,puas apa puas readers??? Puas bngt laaahh 🤗🤗🤗