Di sebuah kampung yang sejuk dan dingin terdapat pemandangan yang indah, ada danau dan kebun teh yang menyejukkan mata jika kita memandangnya. Menikmati pemandangan ini akan membuat diri tenang dan bisa menghilangkan stres, ada angin sepoi dan suasana yang dingin. Disini bukan saja bercerita tentang pemandangan sebuah kampung, tapi menceritakan tentang kisah seorang gadis yang ingin mencapai cita-citanya.
Hai namaku Senja, aku anak bungsu, aku punya satu saudara laki-laki. Orangtuaku hanya petani kecil dan kerja serabutan. Rumahku hanya kayu sederhana. Aku pengen jadi orang sukses agar bisa bantu keluargaku, terutama orangtuaku. Tapi kendalaku adalah keuangan keluarga yang tak mencukupi.
Apakah aku bisa mewujudkan mimpiku?
yok baca ceritanya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yulia weni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
"Azan Subuh...," gumam Senja sambil membuka matanya. Ia menyadari bahwa listrik telah mati, dan kegelapan menyelimuti rumah.
Senja merasa takut dan mulai meraba-raba mencari senter HP-nya. "Di mana ya...?" katanya sambil meraba-raba di sekitar tempat tidurnya.
Setelah beberapa saat, Senja akhirnya menemukan HP-nya dan menyalakannya. Cahaya lembut dari layar HP menerangi kegelapan, membuat Senja merasa sedikit lebih tenang. "Ah, akhirnya ketemu juga..." katanya sambil menarik napas lega.
Senja keluar kamar dan menuju kamar ibunya, "Bu, Bu... Senja mau ke kamar mandi," kata Senja dengan suara yang masih berat dari tidur. Ibu terbangun dan memandang Senja dengan mata yang masih setengah terpejam, "Oh, baiklah, Nak. Ibu temani kamu," kata Ibu sambil bangun dari tempat tidur dan menggosok-gosok matanya yang masih berat.
Wah, mati listrik ya, Sen?" ucap Ibu sambil melihat sekeliling yang gelap. Ayah pun terbangun dan menggosok-gosok matanya, "Oh, iya. Pasti pemadaman bergilir," kata Ayah sambil bangun dari tempat tidur. "Iya bu, makanya senja takut sendirian keluar mau ambil wudhu untuk sholat subuh," ucap Senja. "Ya sudah ayo," balas Ibu.
Mereka berdua berjalan menuju kamar mandi bersama-sama, dengan cahaya lembut dari HP Senja sebagai penerangan. "Ayo, Bu, hati-hati, jangan sampai jatuh," kata Senja sambil memperhatikan ibunya. Setelah sampai di kamar mandi, mereka bersiap untuk ambil wudhu.
"Sekarang kita ambil wudhu dulu, ya," kata Ibu sambil berjalan menuju sumur. Senja mengangguk, memegang senter HP-nya untuk menerangi jalan, sementara Ibu mengambil ember dan mencelupkannya ke dalam sumur untuk mengambil air. "Senja, pegang senternya HPnya baik-baik, ya, jangan sampai jatuh ke sumur," kata Ibu. Senja mengangguk, "Iya bu," ucap Senja, sambil memegang HPnya erat, memastikan cahaya stabil saat Ibu mengambil air.
Ibu dan Senja gantian ambil air wudhu. "Ya sudah sekarang biar Ibu pegang HP Senja," kata Ibu sambil mengambil HP dari tangan Senja.
Senja mengangguk dan mulai mengambil air wudhu. "Iya Bu, dingin sekali airnya Bu," ucap Senja sambil tersenyum dan menggigil karena kedinginan. "Hehe," tambah Senja sambil tertawa.
Ibu tersenyum melihat Senja yang menggigil dan tertawa. "Iya, Nak. Air sumur memang dingin sekali di pagi hari," kata Ibu sambil memegang HP dan memastikan cahaya tetap stabil.
Selesai mereka ambil wudhu, mereka langsung masuk rumah. Sedangkan Ayah sudah siap mau ke mesjid.
"Ibu, senter Ayah mana, Bu?" tanya Ayah.
"Ini, Yah," ucap Ibu sambil menyerahkan senter ke Ayah.
"Ya sudah, Ayah ambil wudhu di mesjid saja, Bu. Ayah pergi dulu, ya," kata Ayah sambil berpamitan.
"Iya, Yah, hati-hati," ucap Ibu sambil mengantar Ayah keluar.
Dalam perjalanan ke mesjid, Ayah tidak bisa tidak mengingat momen pahit di masa lalu ketika Senja masih kecil dan Reihan yang SMA. Ayah pulang dari mesjid setelah sholat subuh dan pernah ditabrak oleh mobil yang tidak bertanggung jawab milik Juragan Sayur, orang kaya di kampung mereka.
Flashback
"Ahh!" teriak Ayah ketika mobil menabraknya. Ayah terjatuh ke tanah dan merasa sakit di sekujur tubuhnya.
Jamaah mesjid yang melihat kecelakaan itu segera berlari menghampiri Ayah. "Pak, Pak, apa Bapak tidak apa-apa?" tanya salah satu jamaah sambil memeriksa kondisi Ayah.
Ayah mencoba bangun, tapi tidak bisa karena sakit. "Saya... saya ditabrak mobil," kata Ayah dengan susah payah.
Jamaah mesjid itu segera menolong Ayah dan membawanya ke rumah. Ketika sampai di rumah, Ibu, Senja, dan Reihan sangat terkejut melihat kondisi Ayah yang terluka.
"Ibu, Ayah!" teriak Senja sambil menangis. Reihan juga menangis, "Ayah, Ayah, apa yang terjadi?" Ibu segera memeriksa luka Ayah dan menangis juga. "Ayah, bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Ibu sambil memeluk Ayah.
"Pak, mobil yang menabrak Bapak itu kabur, tidak berhenti sama sekali," kata salah satu jamaah mesjid yang menolong Ayah. "Kami tidak sempat melihat plat nomornya, tapi sepertinya mobil itu milik Juragan Sayur," tambah jamaah itu. Ibu dan anak-anak semakin khawatir mendengar hal itu.
Kemudian, jamaah menawarkan bantuan agar diantar ke puskesmas, namun Ayah menolak. "Tidak perlu, saya baik-baik saja," kata Ayah dengan nada lemah.
Ibu tahu bahwa Ayah tidak ingin membebani keluarga dengan biaya pengobatan. "Ayah, kita harus pergi ke puskesmas untuk memastikan luka Ayah tidak parah," kata Ibu dengan nada khawatir.
Ayah hanya menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Saya tidak ingin membebani kamu dan anak-anak dengan biaya pengobatan. Saya bisa dirawat di rumah," kata Ayah dengan nada lembut.
Ibu tahu bahwa Ayah tidak ingin membebani keluarga, tapi Ibu juga khawatir dengan kondisi Ayah yang terluka. Senja dan Reihan juga memandang Ayah dengan khawatir, berharap Ayah bisa mendapatkan perawatan yang tepat.
Besok harinya, Ayah memutuskan untuk menemui Juragan Sayur ke rumahnya. "Bu, Ayah pergi dulu ya ke rumah Juragan Sayur," kata Ayah sambil bersiap untuk pergi.
Ibu memperhatikan Ayah dengan khawatir. "Apa Ayah tidak apa-apa kalau kesana sendirian? Luka Ayah masih sakit, kan?" tanya Ibu.
Ayah tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Ayah masih kuat jalan kesana. Semoga saja Juragan Sayur mau bertanggung jawab," ucap Ayah dengan harapan.
Ibu mengangguk, walaupun masih khawatir. "Baiklah, Ayah. Hati-hati di jalan, ya," kata Ibu sambil memberikan Ayah secangkir air sebelum pergi. Ayah mengangguk dan keluar rumah untuk menemui Juragan Sayur.
"Assalamualaikum, Juragan Sayur," ucap Ayah sopan. "Hmm, ya, ada apa jawab," Juragan Sayur melihat Ayah dengan wajah tidak bersalah dan tidak menjawab salam.
Maaf Pak, kemarin mobil Bapak yang menabrak saya di jalan. Saya terluka dan membutuhkan pertanggungjawaban," kata Ayah dengan nada tegas. "Oh, kamu yang kemarin ditabrak mobil saya? Apa yang kamu inginkan?" tanya Juragan Sayur dengan nada santai.
"Saya ingin Bapak bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Saya terluka dan membutuhkan biaya pengobatan," kata Ayah dengan nada yang lebih tegas.
Juragan Sayur tersenyum sinis. "Kamu pasti mencari untung, ya? Ditabrak mobil biar dapat Uang dari orang kaya," kata Juragan Sayur dengan nada menghina. Ayah merasa sakit hati dengan kata-kata Juragan Sayur.
Ayah langsung pulang ke rumah dan menceritakan pada istrinya tentang pertemuannya dengan Juragan Sayur.
"Bu, Ayah sudah pulang dari rumah Juragan Sayur," kata Ayah dengan nada yang sedikit sedih.
Ibu memperhatikan Ayah dengan khawatir. "Apa yang terjadi? Apakah Juragan Sayur mau bertanggung jawab?" tanya Ibu.
Ayah menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Juragan Sayur tidak mau bertanggung jawab. Bahkan dia menghina Ayah dan mengatakan bahwa Ayah mencari kesempatan untuk mendapatkan uang," kata Ayah dengan nada yang penuh kesedihan.
Ibu memeluk Ayah dan mencoba menenangkannya. "Ayah, jangan sedih. Kita akan mencari jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini," kata Ibu dengan nada yang lembut. Ayah mengangguk dan merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan istrinya.
Astagfirullah... Hadi, jangan mengingat itu lagi. Sekarang fokus ke masa depan yang lebih baik. Ikhlaskan... Batin Ayah, yang sudah sampai di mesjid mau sholat subuh.