Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan yang Terlambat
“Baru pulang kamu?” tanya seorang pria kepada wanita yang baru saja melangkah masuk ke dapur rumah mereka. Suaranya datar, seperti pertanyaan sambil lalu.
“Iya,” jawab sang istri sambil menaruh tas di meja. “Tadi setelah dari rumah sakit, aku mampir dulu ke rumah Mami. Kamu baru makan malam?” Ia berjalan ke arah lemari pendingin yang posisinya di belakang sang suami, membuka pintunya, lalu mengambil sebotol minuman dingin.
“Hm.” Malik, pria itu mengangguk sedikit. “Tadi aku nggak sempat makan. Seharian harus menemani Tuan Rendra. Bagaimana hasilnya tadi? Maaf aku nggak bisa ikut.” Sambil bicara, ia menyendokkan makanan dari piring dan memasukkannya ke mulut.
“Tidak masalah,” jawab istrinya, Olivia, sambil tersenyum tipis. “Tadi Mami yang menemani ke rumah sakit. Hasilnya bagus, janinnya tumbuh sesuai usia kandungan. Dokternya juga baik dan ramah. Aku nyaman sama dia. Katanya sih dokter baru, tapi kelihatannya bagus. Sepertinya aku akan terus sama beliau sampai lahiran nanti.”
Malik hanya mengangguk pelan. Sejak Olivia pulang, wajahnya datar tanpa perubahan ekspresi. Bahkan senyum pun tak muncul, seolah pikirannya berada entah di mana.
Tentu saja ini bukan hal yang aneh bagi Olivia. Sejak awal perkenalan bahkan hingga mereka menikah, hanya muka datar tanpa ekspresi yang selalu ia dapatkan dari suaminya. Kata orang yang sudah lama mengenal Malik, Malik memang pria yang seperti itu, hingga Olivia tidak memusingkannya.
“Memang di rumah sakit mana kamu tadi?” tanyanya, nada suaranya terdengar seperti sekadar basa-basi.
“Rumah Sakit Medika Citra.”
Sendok di tangan Malik berhenti di udara. Jari-jarinya menegang, dan untuk beberapa detik ia hanya terdiam. Nama rumah sakit itu terasa begitu familiar, bahkan terlalu familiar.
“Siapa nama dokternya?” tanyanya dengan nada yang lebih hati-hati. Tanpa sadar, ia memutar tubuh, menatap Olivia yang masih berdiri di belakangnya. Di hatinya, ia berdoa semoga bukan nama itu yang keluar.
“Dokter Bunga,” jawab Olivia santai.
Deg.
Dada Malik seperti diremas. Jantungnya berdetak kencang, nyaris memukul-mukul dinding dadanya. Nama itu, Bunga—adalah nama yang selama ini ia simpan rapat-rapat di sanubarinya, yang masih harum dalam ingatan meski ia berusaha keras menguburnya. Beruntung Olivia tak menyadari perubahan wajahnya saat ini.
“Dokternya cantik, sabar, dan ramah,” lanjut Olivia tanpa curiga. “Penjelasannya juga mudah aku pahami. Tapi entah kenapa, wajahnya terasa nggak asing.”
Malik menelan ludah. Tubuhnya tegang. Ia tak sanggup lagi berpura-pura.
“Aku pergi dulu,” ujarnya singkat, lalu berdiri meninggalkan meja makan beserta makanannya yang masih banyak.
Olivia menoleh heran. “Mau ke mana kamu, Malik?”
“Tidak usah menungguku,” jawabnya tanpa menoleh. Langkahnya cepat dan berat, seperti ingin secepat mungkin keluar dari rumah itu.
“Tapi, makanan kamu…”
Olivia menghentikan ucapannya, menyadari percuma melanjutkan. Malik sudah benar-benar pergi, meninggalkan dapur dan membiarkannya berdiri sendirian di sana.
Beberapa menit kemudian, Malik sudah berada di mobilnya. Mesin dihidupkan, pedal gas diinjak, dan mobil itu melaju kencang tanpa tujuan jelas. Jalanan malam berlampu temaram membentang di depannya, tapi pikirannya penuh dengan bayangan satu sosok—Bunga.
Hatinya perih. Luka lama yang baru dua minggu lalu ia buat sendiri kini berdarah lagi. Ia yakin Bunga sudah mengetahui alasan ia memutuskan hubungan mereka secara mendadak. Dan ia yakin, kini rasa benci Bunga padanya sudah tak terbendung.
Perempuan mana yang tak akan membenci? Seorang pria berjanji untuk mencintai, untuk setia, lalu tiba-tiba menghilang hanya untuk menikah dengan wanita lain. Lebih kejam lagi, wanita yang dinikahinya itu sedang hamil dua bulan, kehamilan yang jelas terjadi sebelum pernikahan mereka. Dan kini, takdir seperti mempermainkannya: istrinya menjadi pasien dari wanita yang ia cintai.
Malik memukul setir sekali, pelan tapi penuh frustrasi. “Kenapa dari sekian banyak rumah sakit dan dokter kandungan di kota ini, harus dia?” gumamnya lirih. Ia membayangkan wajah Bunga saat tahu bahwa Olivia adalah istrinya. Betapa hancurnya hati wanita itu.
Ia ingin bertemu Bunga. Ingin meminta maaf. Ingin menjelaskan semuanya, meski ia tahu penjelasan itu tak akan menghapus rasa sakit. Tapi nomor teleponnya sudah diblokir sejak hari pernikahannya.
Hari itu… hari di mana ia melihat Bunga datang ke pernikahannya, meski seharusnya ia masih di luar negri, mengurus program spesialis kedokterannya. Malik tak tahu bagaimana wanita itu bisa pulang lebih cepat. Yang ia tahu, kehadiran Bunga di sana adalah mimpi buruk yang ia tak siap hadapi.
Ia ingat jelas, Bunga datang bersama Silvia dan suaminya, Tuan Randi, yang memang diundang oleh keluarga Olivia. Dari awal acara, Malik sama sekali tidak bersemangat. Senyum yang ia tunjukkan pada para tamu hanyalah topeng.
Ketika ia sedang menyalami tamu undangan di pelaminan, matanya menangkap sosok itu. Bunga. Langkahnya anggun, tapi matanya tak menatap ke arah Malik. Ingin rasanya ia turun, menarik tangan Bunga, membawanya pergi dari semua ini. Tapi ia tahu, ia tak bisa. Ada nama keluarganya, nama keluarga Olivia, dan yang terberat—nama keluarga Tuan Rendra yang harus ia jaga. Tuan Rendra adalah orang yang begitu berjasa dalam hidupnya.
Beberapa saat kemudian, perhatian Malik teralihkan oleh seorang tamu.
“Selama ini saya penasaran, siapa wanita yang berhasil menaklukkan hati Tuan Malik. Ternyata putrinya Tuan Raka. Selamat ya, semoga pernikahannya langgeng dan penuh berkah,” ucap tamu itu, seorang klien penting.
“Terima kasih, Tuan,” jawab Malik singkat, lalu kembali mencari sosok Bunga.
Tak lama, Bunga naik ke pelaminan. Ia berdiri di hadapan Malik. Jarak yang begitu dekat namun terasa seperti ada jurang di antara mereka. Ada keterkejutan di mata Bunga, yang kemudian berubah menjadi kebencian yang dingin. Bunga bahkan tak mau menyalaminya. Ia hanya melewati Malik, berjalan lurus tanpa menoleh. Detik itu Malik merasa seperti dipukul dari dalam. Tapi ia membiarkan wanita itu pergi.
Andai waktu bisa diputar kembali, ia tak akan duduk di pelaminan itu dengan Olivia di sisinya. Ia akan berdiri di sana dengan Bunga, wanita yang ia cintai dalam diam selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya memberanikan diri mengungkapkan dua tahun lalu.
Dulu, ia merasa menjadi pria paling beruntung karena bisa memegang tangan Bunga. Kini, ia hanya pria bodoh—tak lebih baik dari mantan Bunga sebelumnya yang melepaskan dan menyakiti wanita secantik dan sebaik Bunga Jelita.
Mobilnya terus melaju, tapi pikirannya tetap terjebak di masa lalu. Setiap kenangan bersama Bunga kini terasa seperti pisau yang menusuk pelan tapi dalam. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menahan sesak di dadanya. Namun satu hal pasti—malam itu, Malik tahu ia telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia dapatkan kembali.
****
Terima kasih sudah membaca cerita author, ya. Jangan lupa untuk like, komen, dan kasih ⭐️5 nya biar author semakin semangat. 😊😊
Semoga masih ada harapan Bunga kembali ke Fadi
Mama nya Jelita hamil dengan orang lain dan Fadi yg menikahi nya
Jelita bertemu dengan tante Bunga di IGD & Bunga tidak menyangka kalau papa Jelita adalah Fadi sang mantan.
2 mantan berada di IGD semua dengan kondisi yang berbeda