INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Buongiorno
Sepasang kelopak mengerjab-ngerjab, mencoba menyesuaikan cahaya yang menyapa netranya. Sepasang iris biru langit yang indah terbuka sempurna, menatap sekeliling dengan kebingungan.
"Di mana aku?"
"Tidurmu sangat nyenyak."
"Kau!"
"Buongiorno, amore."
Ingrid bingung, ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, bagaimana ia bisa berada di ruangan seperti kamar rawat inap rumah sakit, bersama Frenzzio?
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Dor ...
"Akhhh!"
"Sialan!"
Tiba-tiba saja , tanpa diduga, sebuah peluru melesat menembus punggung Frenzzio. Ingrid reflek berteriak, terkejut dengan apa yang terjadi di depan indra penglihatannya.
Frenzzio menoleh ke belakang mendapati dua orang dari kejauhan mengarahkan pistol ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, Frenzzio langsung menarik tangan Ingrid, menyeretnya untuk lari bersamanya.
Ingrid masih terkejut, tapi ia tetap berlari mengikuti langkah Frenzzio. Karena ia tau, bukan pilihan yang baik untuk tetap berdiam diri saat ini.
Dua orang misterius itu pun tak tinggal diam, mereka mengejar langkah Ingrid dan Frenzzio. Tembakan peluru kembali dilepaskan ke arah Frenzzio dan Ingrid. Tapi beruntung kali ini, keduanya berhasil berlindung di balik sebuah pohon.
Jarak keduanya sangat dekat hingga bisa merasakan dengan jelas hembusan nafas satu sama lain. Keduanya saling terpaku pada mata satu sama lain, tanpa ada yang berniat memutuskan koneksi itu.
"Tidak sekarang, amore. Masih banyak waktu bagimu untuk memandangiku. Tapi tidak sekarang, oke?"
Celetukan Frenzzio menyadarkan Ingrid. Ia dengan cepat mengalihkan arah lain. Tembakan kembali terdengar, ekspresi Frenzzio kembali menjadi serius.
"Percayalah padaku ... bisakah kau melakukannya?"
"Apa? Frenzzio ... kau berdarah!" Ingrid terperanjat melihat darah di tangannya yang berasal dari punggung Frenzzio.
"Ayo!"
Frenzzio merogoh sesuatu dari balik jaketnya—sebuah pistol.Mata Ingrid membola, dia tidak pernah melihat pistol dalam jarak sedekat ini. Frenzzio menembakkan pelurunya ke arah dua pria yang mengincar mereka.
Satu peluru mengenai kaki salah satu pria, sementara satu peluru lainnya tepat menembus perut rekannya.
Frenzzio dan Ingrid memanfaatkan itu untuk pergi menjauh. Namun nahas, orang yang terkena tembakan di kaki kembali melepaskan satu pelurunya yang langsung menghantam betis kaki kanan Ingrid.
"Akhhhh!"
Jeritan kesakitan Ingrid membakar emosi Frenzzio. Mata laki-laki itu berkilat marah sebelum tanpa ragu melepaskan satu tembakan tepat ke kepala pria itu. Seketika, tubuhnya terkapar tak bernyawa.
Frenzzio meraih ponselnya, menghubungi seseorang.
"Datang ke mari. Sekarang!"
Tak berselang lama, sebuah mobil hitam datang dan berhenti di depan Ingrid dan Frenzzio.
"Ayo."
"Tidak, aku tidak mau ikut denganmu, jangan sentuh aku!" Ingrid memberontak dengan sisa tenaganya sambil meringis kesakitan.
Frenzzio menatap datar ingrid, tanpa aba-aba ia mengangkat tubuh Ingrid, membawanya ke dalam mobil meskipun gadis itu meronta-ronta.
Di dalam mobil, Ingrid terus menyuruh Frenzzio menjauh darinya hingga pada akhirnya ia pingsan.
Mobil yang ditumpangi mereka tiba di rumah sakit. Frenzzio kembali menggendong ingrid yang kini sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Para petugas medis pun dengan segera menangani Ingrid.
"Tuan, luka anda ..." ucap Hen yang merupakan pengawal pribadi dari Frenzzio. Dia jugalah yang mengemudikan mobil yang dikendarai mereka tadi.
"Hm. Pastikan dua mayat tadi kau bersihkan." Hen mengangguk. Frenzzio pergi keruangan lain untuk mengobati luka tembaknya juga.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Apa yang terjadi setelah aku tak sadarkan diri?" tanya ingrid pada Frenzzio dalam keadaan masih linglung.
"Banyak."
"Banyak?
"Hm."
Ingrid mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Seperti yang kau lihat."
Ingrid memutar bola matanya dengan kesal, ia memilih untuk mencari ponselnya. Karena pasti keluarganya sangat cemas padanya yang sudah tak pulang semalaman.
"Mencari ponsel?"
Ingrid menoleh.
"Ponselmu kehabisan daya, tapi tenang saja. Aku sudah menghubungi Keluargamu." Pintu ruangan terbuka.
"Lihat."
Marcello berlari ke arah Ingrid kemudian memeluknya dengan erat.
"Kau baik-baik saja, syukurlah."
Ingrid merasa aneh, ia berusaha melepaskan pelukan orang yang baru datang dihidupnya ini. "Lepaskan aku, Marcello! Apa-apaan ini?!"
Marcello tersadar akan perilakunya, ia segera menjauh dari Ingrid dan membiarkan Navarro beserta keluarganya mendekati Ingrid.
Nora memeluk erat Ingrid. "Sayang, bagaimana ini bisa terjadi? Kau baik-baik saja? Maafkan bibi, seharusnya bibi tidak membiarkanmu pergi sendirian," ucap bibi Nora dengan penuh rasa penyesalan.
"Bibi, ini bukan salah bibi. Ini ... salahku." Ingrid melirik ke arah Frenzzio yang juga menatapnya.
"Bisa kau ceritakan apa yang terjadi pada kami, Ingrid?" ucap paman.
"Saat itu, aku sedang berjalan dan tanpa sengaja bertemu dengannya. Lalu, tiba-tiba ada dua orang asing yang menembaki kami. Aku dan dia mencoba berlari menghindar. Tapi, kakiku tertembak."
Semua orang diam mendengarkan seraya melirik Frenzzio yang duduk dengan santai di sofa.
"Bibi, aku ingin pulang aku tak ingin berada di sini."
"Apa? Tidak. Bagaimana bisa kau pulang, kau tidak liat keadaan kakimu? Tidak, tidak bisa."
"Bibi, aku baik-baik saja. Aku tidak suka berada di rumah sakit ... tanpa ayah."
"Sayang, tapi–"
"Bibi, aku mohon ... "
Bibi Nora menghela nafas. "Baiklah, bibi akan konsultasikan hal ini dengan dokter terlebih dahulu, bagaimana?" Ingrid mengangguk. "Navarro, jaga adikmu sebentar."
Navarro mengiyakan, kemudian paman dan bibi pergi untuk menemui dokter.
Marcello menghampiri Frenzzio. "Ikut dengan ku," ucapnya kemudian berjalan lebih dahulu.
"Saudaraku, aku juga sedang terluka, apa kau tidak mencemaskanku? Duduklah, bicarakan di sini saja apa yang ingin kau sampaikan,"
sahut Frenzzio dengan nada mengejek.
Rasa geram dan amarah Marcello sudah sangat tidak tertahankan terhadap saudaranya.
"Sebaiknya kita pergi dari sini Frenzzio. Kau harus istirahat di kamarmu sendiri. Kita hanya akan mengganggu waktu istirahat Ingrid."
"Benarkah? Apa aku menggangumu, amore?"
"Kalian bisa beri waktu bagi aku dan Frenzzio? Berdua saja?"
"Apa? Apa urusanmu dengan laki-laki ini?" Protes Navarro.
"Hanya sebentar."
Navarro melirik ke arah Marcello, Marcello tampak berpikir sejenak lalu mengangguk pelan. "Baiklah, tapi jangan terlalu lama, aku dan Marcello akan menunggu di luar."
Ingrid mengangguk, kemudian dua orang laki-laki itu meninggalkan ruangan, menyisakan dirinya dan Frenzzio dalam keheningan.
"Kau berhutang banyak penjelasan padaku."
"Apapun untukmu." Frenzzio tersenyum manis.
"Pertama, aku ingin tau alasan di balik kau menerorku dengan kotak-kotak itu selama ini. Kenapa? Apa tujuanmu sebenarnya?" Ingrid menatap Frenzzio lekat.
Ia tak ingin melewatkan sedikitpun penjelasan dari bibir orang yang selama ini membuatnya sangat penasaran, karena selalu menerornya. Bagaimana laki-laki ini bisa mengenalnya? Firasatnya berkata bila orang bernetra biru yang berada satu ruangan dengannya saat ini, bukan laki-laki biasa ditambah lagi dengan kejadian tadi malam mengukuhkan firasatnya.
"Bukankah aku sudah memberi tahumu alasannya tadi malam?"
Frenzzio berdiri dari duduknya, ia berjalan mendekati Ingrid yang mendudukkan dirinya di ranjang.
"Sebenarnya aku tidak suka mengulangi perkataanku. Tapi untukmu, aku bisa menoleransinya."
Frenzzio berhenti begitu langkahnya telah terhalang ranjang Ingrid. Ia menunduk mendekatkan wajahnya dengan wajah Ingrid, hingga Ingrid menahan nafas karena jarak mereka yang begitu rapat.
"Dirimu dan dirimu," bisik Frenzzio.
"Beruntunglah aku bisa menahan diri untuk tidak menculikmu," sambungnya dengan senyuman manis yang terlihat mengerikan di mata Ingrid.
"Tapi kenapa? Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya," balas Ingrid yang tidak mau kalah dan terlihat terintimidasi dengan Frenzzio.
Frenzzio berlagak berfikir. "Em ... tidak akan menarik jika aku memberitahu, amore. Semuanya bisa terbongkar nanti."
Senyum tak lepas dari wajah Frenzzio, ia menjauhkan diri dari Ingrid.
"Apa maksudmu? Tidak bisakah kau berbicara tanpa meninggalkan teka-teki?!" Ingrid mulai kehabisan kesabarannya.
"Kau terlihat sangat menggemaskan saat sedang kesal."
Ingrid kehabisan kata-kata menghadapi laki-laki ini. Ia tak habis fikir dengan dengan perilaku Frenzzio. Apa dia tidak bisa menjawab sesuatu dengan serius? Padahal perbuatannya bukan sesuatu yang bisa dianggap bercanda. Itu sangat mengganggu dan sangat meresahkan.
"Kau tau aku bisa melaporkan perbuatanmu pada polisi. Jadi sebaiknya kau jawab dengan jelas semuanya, Frenzzio."
Bukannya takut atau merasa terancam, Frenzzio tersenyum semakin lebar. Ia justru menantang Ingrid.
"Silahkan saja. Tapi pertama, istirahat dan fokus untuk pemulihanmu." Frenzzio mengacak-acak rambut Ingrid, setelah nya dia berjalan pergi ke luar dari ruangan Ingrid.
"Laki-laki gila!"
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Bukankah sudah ku peringatkan untuk menjauh dari Ingrid! Kenapa kau tidak juga mengerti?! Sekarang lihat! Bahkan belum sebulan dia pindah kemari, dia sudah berada di rumah sakit karena luka tembak! Hari ini kaki, dikemudian hari apa? Jantung? Kepala? kenapa kau tak mau mengerti Frenzzio, dia tidak akan aman berada disekitar kita."
"Lalu kau ingin berbuat apa? Cepat atau lambat ayah akan tahu. Dia sendirilah nanti yang akan membawa Ingrid," ucap Frenzzio dengan santai.
"Dia tidak akan pernah tau, jika Ingrid tidak pernah menginjakkan kakinya di kota ini."
Frenzzio terkekeh. "Dia yang tidak aman atau ... dirimu."
Rahang Marcello mengetat, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang memuncak.
"Kalian berdua hentikan!" peringkat Navarro.
Frenzzio mengangkat bahunya acuh kemudian berjalan pergi menjauhi Marcello dan Navarro.
Navarro menghela nafas lega kemudian berkata pada sahabatnya.
"Dengar, Marcello. Aku tidak menyesali keputusanku untuk membawa Ingrid kemari. Aku hanya ingin hubunganmu dengan Ingrid membaik. Kejadian yang menimpanya ... di luar kendali kita. Aku juga merasa bersalah dan lalai, tapi sekarang dia sudah baik-baik saja, bukan? Tenangkanlah dirimu Marcello, dan mungkin kau harus berusaha berbicara pada Ingrid dan menjelaskan semuanya. Sebelum dia mendengar segalanya dari bibir orang lain." Navarro menepuk bahu Marcello kemudian meninggalkan Marcello dengan segala pikiran kusut di kepalanya.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid beserta keluarganya sampai di rumah setelah dua hari menginap di rumah sakit. Ingrid lega akhirnya ia bisa keluar dari rumah sakit yang terasa menyesakkan baginya itu.
Ia duduk di kursi roda karena belum diperbolehkan berjalan menggunakan kakinya. Saat akan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya, Ingrid digendong oleh Navarro.
"Nah, Anda sudah sampai di kamar dengan selamat, Tuan putri."
Navarro menurunkan Ingrid dengan perlahan di ranjangnya.
"Terima kasih," ucap Ingrid dengan tulus.
"Ada lagi yang kau perlukan?"
"Tidak ada."
"Baiklah, jika begitu aku akan keluar, istirahatlah." Ingrid mengangguk.
Beberapa saat setelah Navarro pergi. Telfon Ingrid berdering. Wajah Ingrid begitu sumringah setelah melihat siapa yang menghubunginya.
"Ke mana saja kau dua hari ini? Kenapa kau tidak menelfon ataupun mengirimkan aku pesan?" ucap Ingrid dengan nada merajuk.
"Maaf, Ingrid. aku sangat lelah karena turnamen. Jangan marah kepadaku, ya. Aku tidak bisa memberimu coklat, bagaimana bisa aku membujukmu nanti." Ingrid tertawa puas.
"Oh, jadi kau mengerjaiku."
Ingrid terus tertawa. "Aku sangat puas bisa mengerjaimu, karena kau tidak bisa membalasku seperti yang biasa kau lakukan."
"Jangan sampai aku mendatangi dirimu sekarang."
"Coba saja."
"Kau menantangku? Kau mengenalku, bukan?"
"Baiklah, baiklah, aku bercanda, Dario. Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, hanya telingaku sepertinya agak bermasalah karena mendengar celotehan ibu." Dario tertawa begitu pun Ingrid.
"Mengingat perangaimu aku tidak heran ibu seperti itu. Ingat saat kita bermain petak umpet hingga menghancurkan tembok gudang rumah paman paulo yang baru saja dibuatnya? Itu sangat gila." Ingrid terus terbahak-bahak mengingat kenalan mereka saat masih anak-anak.
"Ya, tentu saja, aku mengingatnya dengan jelas. Kau yang merusaknya tapi aku yang menjadi kambing hitam." Ingrid semakin tertawa keras mendengar nada bicara Dario yang kesal.
Dario tersenyum di balik telpon. "Mendengar mu tertawa seperti ini, sepertinya kau baik-baik saja di sana."
Ingrid melirik ke arah kakinya yang terbalut perban. "Ya, tentu saja. Aku baik-baik saja di sini."
"Aku tau tujuanmu pindah ke sana. Jangan melakukan sesuatu yang berbahaya."
Ingrid menghela nafas panjang. "Aku harus mencari tau tentang siapa dan kenapa ayahku dilenyapkan, Dario. Aku tidak akan berhenti sampai aku tau kebenarannya dan membalaskannya."
"Itu tidak akan berakhir baik, pulanglah. Hentikan apapun rencanamu, balas dendam tak akan mendatangkan apapun selain amarah tak berujung."
"Maaf, Dario."