Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sore itu, rumah Tristan terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah seharian penuh operasi darurat dan rapat panjang, ia baru saja sampai. Namun kali ini, yang menyambutnya bukan suara riuh Tiwi di dapur atau komentar nyelenehnya dari ruang tamu.
Hanya keheningan.
Tristan mengganti sepatu dengan pelan. Perasaan aneh merayap di dadanya. Biasanya Tiwi selalu muncul dengan teriakannya, “Dokter Dingin, lapar nggak?” atau “Eh, bawa oleh-oleh nggak dari rumah sakit?” Tapi sekarang tidak ada.
Ia menoleh ke meja makan. Ada secarik kertas kecil berwarna kuning menempel di gelas air. Tulisan tangan Tiwi, dengan spidol ungu khasnya:
“Dok, aku pulang duluan ya. Malam ini ada pertemuan keluarga, katanya penting banget. Jangan nunggu aku, makan malam sendiri aja. – Tiwi.”
Tristan mengernyit. " Pertemuan keluarga? Penting?"
Ia menjatuhkan tubuh ke kursi, membuka jas putihnya, lalu menatap catatan itu lama sekali. Ada sesuatu yang janggal. Tiwi jarang pulang lebih awal, apalagi tanpa menunggu Tristan selesai kerja.
Tangannya tergerak untuk menelpon, tapi berhenti di tengah jalan. Ia menatap layar ponsel, ragu. “Apa aku terlalu… khawatir?” gumamnya. Namun rasa gelisah itu semakin kuat.
---
Di Rumah Keluarga Tiwi
Sementara itu, di ruang makan luas rumah keluarga Tiwi, suasana hangat justru dipenuhi ketegangan.
Mama Rani duduk anggun, tersenyum tipis. Papa Tian tampak serius, mengenakan batik rapi. Di seberang meja, Tiwi duduk dengan wajah yang jelas tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
Dan di sampingnya, seorang pria asing berusia sekitar tiga puluh tahun, mengenakan kemeja putih, duduk sopan sambil menatap Tiwi penuh perhatian.
Namanya Adrian. Anak dari rekan bisnis Papa Tian. Tampan, mapan, sopan—kombinasi ideal dalam pandangan orang tua.
“Tiwi, Adrian ini lulusan luar negeri,” kata Mama Rani dengan nada lembut. “Sekarang dia mengurus cabang perusahaan keluarganya. Pasti cocok sekali untuk mendampingimu.”
Tiwi mendengus. “Mama, aku tuh nggak butuh di dampingi siapa-siapa. Aku bisa hidup sendiri. Lagian, kenapa harus jodoh-jodohan segala sih?”
Papa Tian menatap tajam. “Tiwi, jangan keras kepala. Kamu sudah cukup umur. Lihatlah teman-temanmu, semua sudah menikah. Adrian ini baik, sopan, punya masa depan jelas. Apa lagi yang kau cari?”
Tiwi melipat tangan di dada. “Aku cari kebebasan, Pa. Aku nggak mau hidup kayak barang dagangan.”
Adrian mencoba tersenyum ramah, walau jelas tidak nyaman dengan sikap Tiwi. “Tiwi, saya mengerti ini mendadak. Tapi saya serius ingin mengenalmu. Setidaknya beri saya kesempatan untuk berteman dulu.”
Tiwi menatapnya datar. “Temenan mah gampang, Bang. Tapi kalau langsung dijodohin? Nggak, deh.”
Mama Rani menepuk tangan putrinya. “Nak, kami hanya ingin yang terbaik. Kamu pikir kami tega asal pilih orang?”
Tiwi menghela napas. Ia tahu orang tuanya sayang. Tapi hatinya berontak. Terutama karena ada seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengisi pikirannya meski ia tak mau mengakuinya—Tristan.
---
Tristan berjalan mondar-mandir di ruang kerja, memandangi kertas kecil dari Tiwi yang masih ia genggam. Kata-kata sederhana itu justru membuatnya gelisah luar biasa.
“Pertemuan keluarga…” gumamnya berulang.
Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari salah satu perawat rumah sakit yang juga tetangga sebelah rumah keluarga Tiwi.
“Dok, saya ada info dari art saya yang berteman dengan art Mbak Tiwi di rumah orang tuanya. Lagi makan malam dengan calon jodoh yang dijodohkan keluarganya. Kayaknya serius, deh. Namanya Adrian tadi artinya bilang gitu”
Jantung Tristan seakan berhenti berdetak. Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada hasil operasi gagal.
“Jodoh?” suaranya bergetar.
Ia menjatuhkan diri ke kursi. Hatinya panas, pikirannya kacau.
Selama ini ia berusaha menyangkal perasaannya. Ia bilang pada diri sendiri Tiwi hanyalah ART gadis menyebalkan yang kebetulan membuat rumahnya jadi lebih hidup. Ia menolak mengakui bahwa setiap senyuman, setiap ocehan, bahkan setiap kehadiran Tiwi membuatnya bergantung.
Tapi mendengar kata “jodoh”… seakan semua benteng yang ia bangun runtuh dalam sekejap.
Tristan menutup wajah dengan kedua tangannya. “Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku membiarkan ini terjadi?”
----
Keesokan Paginya
Tiwi kembali ke rumah Tristan. Dengan wajah biasa saja, ia membawa sekantong roti dan susu segar.
“Selamat pagi, Dok!” sapanya riang. “Aku bawain sarapan. Semalam aku pulang duluan, maaf ya. Ada acara keluarga.”
Tristan menatapnya dari meja makan. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan badai. “Acara keluarga? Atau pertemuan jodoh?”
Tiwi langsung membeku. Kantong belanja di tangannya hampir jatuh. “A… apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura tidak tahu,” suara Tristan rendah tapi tegas. “Aku tahu kau dijodohkan semalam. Dengan Adrian, bukan?”
Tiwi menelan ludah. Ia tidak menyangka Tristan sampai tahu. “Kamu… tahu dari mana?”
Tristan tidak menjawab. Ia bangkit, melangkah mendekat. Wajahnya masih dingin, tapi rahangnya mengeras.
“Kenapa kau tidak bilang padaku?” suaranya bergetar halus. “Kenapa harus sembunyi-sembunyi?”
Tiwi mundur selangkah. “Karena itu urusan keluargaku. Aku nggak mau kamu ikut terbeban.”
“Terbeban?” Tristan mendekat lagi, matanya menatap tajam. “Apa kau pikir aku bisa diam saja membiarkanmu dijodohkan dengan orang lain?”
Tiwi terkejut. Kata-kata itu membuat dadanya berdegup kencang. “Tristan… kamu kenapa?”
“Aku tidak tahu,” suara Tristan semakin rendah, seakan bicara pada dirinya sendiri. “Aku tidak tahu kenapa aku merasa marah, kenapa hatiku panas mendengar kau bersama pria lain. Tapi satu hal yang pasti…”
Ia menatap Tiwi lekat-lekat. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dari hidupku.”
----
Ruangan mendadak hening. Tiwi terpaku, tidak tahu harus menjawab apa. Ia melihat Tristan yang biasanya begitu tenang dan dingin, kini tampak rapuh sekaligus keras kepala.
“Tristan…” Tiwi mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.
“Aku serius,” Tristan melanjutkan. “Aku mungkin tidak pandai merayu. Aku tidak tahu cara bicara manis. Tapi aku tahu, sejak kau datang, hidupku berubah. Dan aku tidak siap kehilangan itu.”
Tiwi memalingkan wajah. Dadanya panas. “Kamu sadar nggak apa yang kamu ucapin? Aku ini cuma—”
“Jangan bilang lagi kau cuma ART,” potong Tristan cepat. “Aku tidak peduli. Kau lebih dari itu.”
Air mata hampir jatuh dari mata Tiwi, tapi ia tahan. Ia tertawa kecil untuk menutupi rasa kalutnya. “Ya ampun, Dokter Dingin bisa juga ngomong kayak di drama Korea.”
Tristan tidak tersenyum. Ia justru mendekat, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Tiwi. “Aku tidak main-main.”
Tiwi mundur setapak, tapi punggungnya sudah menempel di dinding. Jantungnya berdetak kencang.
“Tristan…” bisiknya.
“Pilihanku cuma satu,” suara Tristan tegas. “Kau. Bukan yang lain.”
----
Beberapa hari kemudian, Papa Tian dan Mama Rani memanggil Tiwi lagi. Kali ini, Tristan yang justru ikut datang tanpa diminta.
Keluarga Tiwi terkejut melihatnya. Adrian juga ada di sana, tampak canggung.
“Apa maksudmu datang ke sini, Dokter Tristan?” tanya Papa Tian.
Tristan berdiri tegak. “Saya datang untuk bicara. Tentang Tiwi.”
Semua mata tertuju padanya. Tiwi sendiri duduk dengan wajah campur aduk.
Tristan menarik napas panjang. “Saya tahu Anda menjodohkan Tiwi dengan Adrian. Tapi saya tidak bisa diam. Karena saya ingin Tiwi bersama saya.”
Suasana seketika membeku. Mama Rani menatap kaget, Papa Tian menatap Tristan lekat, Adrian menunduk.
Tiwi sendiri menatap Tristan dengan mata melebar, hatinya kacau.
Tristan melanjutkan, suaranya mantap. “Saya mungkin hanya seorang dokter. Hidup saya hanya untuk pekerjaan selama ini, tapi saya bisa menjamin satu hal, saya akan melindungi Tiwi dengan seluruh hidup saya. Saya tidak akan membiarkan dia terluka atau dipaksa memilih jalan yang bukan keinginannya.”
“Berani sekali kau, Tristan.” ujar papa Tian
“Ya,” jawab Tristan mantap. “Karena saya tidak mau kehilangan dia.”
----
Selesai dari pertemuan itu, Tiwi duduk di balkon kamarnya, Wajahnya masih merah, pikirannya berantakan.
“Kenapa sih dia ngomong begitu di depan orang tuaku?!” gumamnya. “Aku jadi serba salah.”
Namun di balik semua itu, hatinya tidak bisa berbohong. Kata-kata Tristan terus terngiang: “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi.”
Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Senyum kecil lolos tanpa bisa ia tahan.
“Dasar Dokter Dingin… bikin hatiku kacau.”
Bersambung…
Terima kasih kak untuk ceritanya, ngikutin dari awal hingga akhir
seru banget ceritanya, ⭐⭐⭐⭐⭐⭐ ☕☕☕☕☕
Terima kasih untuk cerita novelnya kak, semoga sukses selalu
terimakasih ceritanya salam sukses selalu ya 💪❤️🙂🙏