Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Dia, Istri Saya ~
Tepat ketika Aliya hendak meninggalkan area rumah sakit, langkahnya mendadak terhenti karena suara yang cukup familiar memanggil dari belakang.
“Eh, mau ke mana, Al?”
Dea, sahabat sekaligus rekan kerjanya, berdiri sambil menyilangkan tangan di da-da, menatap Aliya dengan ekspresi penuh kecurigaan.
Aliya yang sejak tadi tidak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya langsung menoleh dengan senyum lebar. “Mam ciang cama cuamiku,” katanya dengan nada dibuat manja, bahkan sampai mengerucutkan bibir seperti anak kecil yang minta permen.
Dea spontan bergidik. “Ewh, jijik banget! Bisa nggak ngomong normal dikit?”
Mendapati ejekan itu, Aliya hanya terkekeh, memutar bola matanya malas menanggapi. “Biarin,” ujarnya pelan, lalu melangkah cepat meninggalkan Dea yang masih geleng-geleng kepala sambil bergumam. “Tuh kan, makin parah gejalanya.”
Tanpa banyak pikir, Aliya menghentikan taksi yang melintas di depan rumah sakit. Ia tidak ingin berjalan kaki, meski jarak menuju restoran yang dimaksud Bagaskara sebenarnya cukup dekat.
Alasannya sederhana, ia tidak ingin terlihat keringatan di hadapan suaminya.
Begitu masuk ke dalam taksi, Aliya langsung menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Ia memperbaiki rambut, merapikan pakaian yang sebenarnya sudah sangat rapi dan memastikan bibirnya tidak pucat pasi. “Cantik,” bisiknya pelan, meski kemudian tersenyum kaku karena menyadari wajahnya tampak terlalu bahagia.
Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang ke mana-mana. Ia membayangkan Bagaskara menunggunya, mungkin sudah duduk di meja pojok seperti pria-pria elegan di film. Mungkin pria itu bahkan menatap jam tangannya dengan sabar, menunggu dirinya datang.
Bayangan itu membuat pipi Aliya semakin panas. Begitu tiba di restoran yang disebutkan, Aliya langsung membayar taksi dan turun dengan hati berdebar.
Tempat itu tampak elegan, kaca bening, nuansa kayu hangat, dan suasana yang tenang. Ia sempat menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Namun, begitu memeriksa layar ponselnya, pesan dari Bagaskara masuk.
|| Sebentar lagi sampai.
Aliya tersenyum, lalu menyimpan ponselnya. Ia memilih berdiri di depan restoran, sedikit di pinggir agar tidak mengganggu pengunjung lain. Matanya terus menatap ke arah jalan raya, mencari sosok yang sudah ia hafal luar kepala.
Selang beberapa menit, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melintas dan berhenti perlahan di depan restoran. Aliya langsung tahu, itu mobil suaminya.
Tapi senyumnya perlahan memudar saat matanya menangkap sesuatu yang tak ia duga.
Dari belakang, tampak sebuah mobil lain yang juga parkir di sebelah kendaraan sang suami dan selang beberapa saat, orang lain ikut turun dan menghampiri Bagaskara.
Seorang wanita cantik. Rambutnya terurai indah, bibirnya berlipstik merah lembut, dan pakaian yang ia kenakan sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk tubuh dengan percaya diri.
Aliya terpaku, senyum yang tadi sempat merekah kini hilang, tergantikan tatapan sayu yang tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena gugup, tapi karena perasaan yang tiba-tiba mencengkeram kuat di dadanya.
Wanita itu melangkah di belakang Bagaskara, langkahnya anggun, penuh percaya diri. Bahkan caranya memegang tas pun terlihat seperti seseorang yang terbiasa dengan kemewahan.
Aliya ingin bertanya siapa dia, tapi Bagaskara sudah lebih dulu menghampirinya.
“Sudah lama?” Suaranya tenang, seperti tidak ada yang aneh.
“Be–belum, Kak. Baru aja sampai,” jawab Aliya pelan.
Senyum kecil ia paksa muncul, meski matanya masih melirik ke arah wanita yang kini berdiri tak jauh di belakang suaminya.
“Baik. Ayo masuk,” ucap Bagaskara ringan, dan tanpa diduga, ia langsung menggenggam pergelangan tangan Aliya.
Sentuhan itu terasa seperti aliran listrik kecil. Hangat. Tegas. Hanya dengan genggaman itu saja, separuh rasa tidak nyamannya seolah sirna.
Bagas menggenggam tangannya di depan orang lain. Dan, bagi Aliya, itu sudah cukup membuatnya bahagia. Persetan dengan siapa pun wanita di belakang mereka, yang penting Bagaskara tidak malu menunjukkan keberadaannya di sisi sang istri.
Mereka berjalan masuk. Bagaskara memilih meja di sisi kanan, tempat dua pria paruh baya tampak sudah menunggu. Aliya sedikit menunduk, merasa agak kikuk saat diperkenalkan.
“Dia istri saya,” ujar Bagaskara tenang ketika salah satu pria melirik ke arah Aliya dengan senyum penasaran. “Kebetulan rumah sakit tempatnya bekerja dekat dari sini, jadi sekalian saya ajak makan siang.”
Aliya tersenyum sopan, mengangguk kecil sambil mengucapkan salam singkat. Ia duduk di samping Bagaskara, masih terasa canggung di tengah perbincangan serius antar pria-pria yang tampak berpengaruh itu.
Biasanya, saat makan siang, ia hanya bersama Dea atau Aruni, di kantin sederhana rumah sakit sambil bercanda soal banyak hal. Akan tetapi, kini di antara obrolan formal dan tawa pelan orang-orang penting, ia seperti tersesat di dunia lain.
Tak lama, salah satu pria, berusia sekitar empat puluhan, berjas abu-abu menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada menggoda, “Wah, ternyata istri, ya? Saya kira tadi rekan kerja atau mungkin ....” Dia berhenti sejenak, menatap Bagaskara dengan senyum penuh arti, “Sayang sekali.”
Aliya spontan menoleh, alisnya bertaut. “Maksudnya apa ya, Pak?” tanyanya sopan tapi tajam.
Pria itu hanya tertawa kecil, pura-pura batuk untuk menutupi nada godaannya. “Ah, jangan salah paham, Dokter. Saya cuma bercanda.”
Namun dari nada suaranya, jelas ada sesuatu yang tidak sepenuhnya bercanda.
Bagaskara yang sedari tadi tampak tenang, kini menatap pria itu dengan pandangan tajam. Tidak perlu kata-kata, cukup satu lirikan, dan suasana di meja langsung berubah sedikit kaku.
Aliya yang awalnya masih menatap bingung perlahan menunduk, berusaha menutupi wajah yang sudah memanas karena malu dan jengah. Tetapi di sisi lain, ada rasa kecil di dadanya yang hangat, karena Bagaskara tidak membiarkan orang itu terus bersikap seenaknya.
Dalam diam, ia mencuri pandang ke arah suaminya. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Bagaskara hanya menatap balik sekilas, tanpa senyum, tapi cukup untuk membuat hati Aliya berdetak tak karuan.
.
.
- To Be Continued -
berharap gak ada kejadian buruk terhadap bagaskara ya kk author🥰🥰
hanya aza momennya kurang pas masih pengantin baru...jadi gk fokus berduaan juga buat Aliya fikirannya jauh takut d tinggalkan.
Belajar mencintai suami gk seratus persen Aliya...jangan terlalu bucin..kamu memang masih polos baru mengenal laki"...selama ini sibuk mengejar ilmu.
Semoga aza Bagas selalu memberi pengertian arti rumah tangga...semangat Aliya positif thinking.