Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Barang-barang Yang Menyimpan Waktu
Langkah mereka menyusuri trotoar sempit di pinggir jalan. Sesekali mereka mengobrol serta saling bercanda. Langkah kaki mereka bergantian menyentuh aspal. Mereka berbelok menuju gang yang lebih sempit, tapi di tempat tersebut, banyak pedagang yang menjual barang-barang antik. Tempat ini lebih mirip seperti pasar barang tradisional. Pasar ini tidak memiliki papan nama, tidak ada pintu resmi. Hanya deretan tenda tua dan meja-meja kayu yang terlihat aesthetic. Lantainya terbuat dari keramik putih. Bau debu menyambut siapa pun yang masuk.
Freya dan Shani berjalan santai, sesekali menunduk, memperhatikan benda-benda di meja-meja sempit. Ada keris-keris antik dengan sarung kayu berukir yang tajam, lukisan-lukisan tua yang warnanya mulai pudar tapi tetap menyimpan tatapan dalam dari masa lalu. Majalah lama, dengan sampul selebriti tahun '80-an, bertumpuk acak di kotak kardus. Radio transistor, jam dinding yang tak lagi berdetak, mesin tik, boneka porselen. Semua tampak seperti pecahan waktu yang terserak.
"Kamu tau, pertama kali aku datang ke sini, aku berfikir kalau tempat ini... seperti museum yang tidak ingin diakui oleh dunia," gumam Freya.
Shani menoleh, matanya menangkap cahaya dari permukaan kaca cermin tua yang digantung seadanya. "Ya. Tapi menurutku justru itu yang menarik dari tempat ini. Dibandingkan tempat lain—di sini, waktu tidak dibuang. Ia disimpan."
Mereka berhenti di depan seorang pria tua yang menjajakan koleksi surat kabar dari berbagai tahun. Freya memungut salah satu, membuka halamannya perlahan. Ada berita besar yang kini hanya menjadi arsip diam. Tapi di balik huruf-huruf cetak itu, ada riuh dunia yang dulu pernah sangat penting—dan kini hanya jadi bisikan masa lalu.
"Lucu ya," ujar Freya, "dulu surat kabar ini adalah masa depan bagi orang-orang yang menulisnya."
Shani mengangguk. "Dan kita... sekarang sedang berjalan menapaki kembali masa itu."
Di lorong berikutnya, mereka menemukan pedagang jam tua. Puluhan arloji berderet dalam kotak kaca, semuanya mati. Tapi masing-masing tetap menunjukkan waktu yang berbeda. Freya tersenyum pahit. "Kadang, waktu berhenti bukan karena rusak, tapi karena tidak ada lagi yang menunggu."
Shani menunjuk satu jam kecil, warnanya emas pudar. "Tapi kalau kau perhatikan... beberapa jarumnya masih bergerak, walau pelan."
Freya mengangguk pelan. "Mungkin, hidup juga begitu. Tidak selalu harus cepat. Yang penting... masih bergerak."
Di ujung pasar, seorang nenek duduk di balik meja penuh boneka kayu kecil. Wajahnya tenang. Ia tidak menawarkan dagangan, tidak memanggil. Hanya duduk, seolah mengerti bahwa barang-barangnya akan memilih pemiliknya sendiri.
Freya memandangi salah satu boneka—kayu gelap, berpakaian tradisional, wajahnya datar tapi tidak kosong.
"Lucu. Tapi sedikit menyeramkan," bisiknya.
"Kau mau membelinya?" tanya Shani.
"Tidak usah, aku tidak terlalu tertarik.." balas Freya.
Angin sore mulai turun, membawa bebauan Khas. Pasar itu terasa lebih sepi, atau mungkin waktu memang melambat di sana. Shani dan Freya melangkah masuk kedalam sebuah toko buku bekas. Toko itu tersembunyi di balik lorong sempit. Tidak ada papan nama besar, hanya papan nama kecil yang terlihat tua bertuliskan 'Toko Kata'. Dipenuhi debu dan pantulan cahaya temaram dari lampu gantung kuning yang menggantung rendah.
Begitu pintu kayu tua itu terbuka, aroma khas langsung menyambut—perpaduan antara kertas tua, dan waktu yang mengendap. Rak-rak tinggi menjulang sampai ke langit-langit, dipenuhi buku-buku dengan punggung kusam, sobek, tapi tetap berdiri tegak. Freya melangkah pelan. Lantai kayu di bawah kakinya berderit pelan. Cahaya lampu meja hijau di sudut ruangan menyinari setumpuk buku acak yang ditumpuk tinggi, hampir seperti dinding. Di sanalah, seorang pria duduk membaca—diam, tenggelam, dalam imajinasinya.
Shani hanya berdiri di ambang pintu sejenak, memandangi tempat itu. "Tempat ini menarik." bisiknya.
Freya menelusuri rak demi rak. Tangannya menyusuri punggung buku seperti menyapa teman lama. Ada novel-novel Prancis dengan catatan tangan, buku filsafat yang tebalnya mengintimidasi, sampai komik tua yang warnanya luntur. Di sela-sela buku, terselip foto-foto usang, kartu pos dari masa lalu, bahkan tiket kereta api yang tak pernah digunakan. Semua benda di sana menyimpan kisah yang tak pernah selesai ditulis.
"Aku selaku suka sensasi ini." ucap Freya pelan.
Shani berjalan menghampiri Freya. "Buku itu seperti manusia. Mungkin tidak lagi dibaca, tapi tidak pernah kehilangan maknanya."
Freya tersenyum tipis, tangannya menyentuh buku tua bersampul merah marun yang sudah retak di ujung-ujungnya. "Kadang aku berpikir... berapa banyak cerita yang dikubur di sini. Bukan karena tidak penting, tapi karena tidak sempat didengar."
Shani menunduk, mengambil satu buku dari rak bawah. Ia membukanya pelan, halaman-halamannya mengeluarkan suara rapuh. "Dan berapa banyak dari kita... yang seperti buku-buku ini. Punya isi, tapi hanya dibuka saat dibutuhkan."
Freya menatap Shani, lama. "Kamu sering menyamakan manusia dengan benda mati."
Shani tertawa kecil. "Karena benda mati lebih jujur. Mereka tidak berpura-pura."
Freya menunduk, menahan senyum. Ia menyusuri rak berikutnya. Matanya tertuju pada sebuah buku puisi tua, judulnya nyaris terhapus. Ia menariknya, membuka halaman pertama. Tertulis dengan tulisan tangan, 'Untuk seseorang yang pernah jadi rumah.' Freya mematung. Jantungnya berdetak aneh. Ia membalik beberapa halaman, isinya puisi-puisi pendek yang sederhana tapi menyayat.
"Aku mau beli ini," katanya tiba-tiba.
Shani mendekat. "Kenapa?"
Freya mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Rasanya... buku ini seperti tahu apa yang sedang aku rasakan."
Shani menatapnya tanpa bicara. Lalu berkata pelan, "Itu tandanya, kamu baru saja menemukan potongan dirimu yang tercecer di tempat yang tidak terduga."
Mereka duduk sebentar di kursi kayu di dekat jendela. Di luar, langit sudah mulai menampakan senja. Tapi cahaya dari lampu gantung di atas kepala mereka cukup hangat untuk menahan malam masuk sepenuhnya.
Freya membuka kembali bukunya, membacakan satu puisi dengan suara lirih. "Ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan lewat diam. Dan kamu... adalah salah satunya."
Shani menunduk. Tangannya menyentuh meja, jari-jarinya menggambar pola tak terlihat di permukaan kayu yang aus.
"Kamu pernah merasa seperti... terlalu banyak yang ingin kamu katakan, tapi semua kata terasa sempit?" tanya Freya.
"Sering," jawab Shani. "Dan saat itu terjadi, aku memilih menulis. Karena kertas tidak pernah memotong pembicaraan."
Freya menutup bukunya. "Mungkin itu sebabnya aku suka tempat seperti ini. Tidak ramai, Tidak menyela, Hanya mendengarkan."
"Dan tidak menuntut kita untuk cepat," tambah Shani. "Karena tidak semua perasaan harus terburu-buru sampai tujuan. Beberapa cukup berjalan... dan berhenti ketika waktunya tepat."
Beberapa menit berlalu. Lalu, suara jam tua dari rak belakang berbunyi pelan. Enam kali. Freya berdiri, membawa bukunya ke meja kasir. Seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan kacamata tebal menatap mereka dengan senyum lembut. "Pilihan yang bagus," katanya sambil memasukkan buku ke dalam kantong kertas tipis.
"Terima kasih," ucap Freya. Tapi ia tidak tahu, ucapan itu untuk siapa. Untuk pria tua itu, atau untuk takdir yang mempertemukannya dengan buku ini.
Keluar dari toko, angin sore menyambut. Jalanan mulai lengang. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan bayangan tubuh mereka di trotoar. "Kalau kamu jadi sebuah buku," ujar Freya tiba-tiba, "kamu mau ditaruh di rak bagian mana?"
Shani berpikir sejenak. "Di tempat yang paling susah dijangkau. Biar hanya orang yang benar-benar ingin tahu yang akan membacaku."
Freya tertawa kecil. "Kamu egois."
"Tidak," jawab Shani, sambil tersenyum. "Aku hanya tidak ingin dibaca oleh orang yang terburu-buru." Mereka berjalan pelan, seperti dua kutipan yang sedang mencari paragraf yang cocok untuk disinggahi. Hari itu, mereka tidak membawa banyak hal. Hanya satu buku, beberapa kalimat, dan diam yang berbobot. Tapi rasanya cukup. Karena ada momen-momen yang tidak perlu dijelaskan. Hanya perlu disimpan. Dan hari itu, adalah salah satunya.
...***...
..."Beberapa hal tidak diciptakan untuk dilihat semua orang. Mereka hanya menunggu ditemukan oleh satu jiwa yang mengerti bahwa diam juga bisa berbicara."...