⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rutinitas dan godaan bertubi-tubi untuk Anna
Selasa Sore – Amsterdam
Mobil hitam dengan logo Amstel Core Group melaju mulus di tengah lalu lintas sore kota Amsterdam yang mulai padat. Di dalamnya, Anna duduk diam di kursi belakang, sementara Mr. Jonathan di sisi lain, sibuk dengan tabletnya.
Perjalanan dari bandara terasa cepat. Tidak ada banyak percakapan di dalam mobil, hanya suara halus dari sistem navigasi dan detak waktu yang berjalan seperti biasa.
Mobil berhenti perlahan di depan rumah bercat putih milik keluarga Magie. Anna menoleh ke arah jendela, lalu membuka sabuk pengaman.
“Terima kasih sudah mengantar,” katanya pelan dan hormat.
Jonathan menoleh sekilas, masih duduk santai, tangan kanan menggenggam tablet. Sperti tidak terlalu memperhatikan Anna yang berterima kasih padanya.
“Besok jam delapan pagi. Kita mulai dari rapat internal, lalu site visit ke Rotterdam.”
Anna mengangguk. “Saya akan siapkan semua dokumennya malam ini.”
Jonathan tidak menjawab langsung. Tapi sebelum Anna turun, suaranya terdengar — datar, tapi pelan.
“Istirahat yang cukup, Nona Anna. Kau terlihat terlalu fokus akhir-akhir ini.”
Anna menahan napas sebentar. “Terima kasih atas perhatiannya, Mr. Jonathan.”
Ia turun dari mobil. Pintu ditutup perlahan.
Mobil kembali melaju.
Kantor Amstel Core Group, Lantai 25
Ruang kantor kembali sibuk seperti biasa. Para staf berlalu-lalang, suara telepon, pintu lift terbuka-tutup, dan aroma kopi dari pantry bercampur dengan parfum mahal dari setiap jas dan blazer yang lewat.
Anna kembali dalam mode profesional.
Menjadi bayangan langkah Mr. Jonathan.
Hari-hari mereka dipenuhi agenda:
Rapat divisi dengan Direktur Keuangan dan Legal.
Kunjungan lapangan ke proyek konstruksi di selatan kota.
Makan siang bisnis dengan investor asal Swiss.
Presentasi mingguan di ruang kaca, disaksikan tim utama.
Dalam semua kegiatan itu, Anna dan Jonathan tidak sendiri. Ada Direktur, manajer proyek, sekretaris tim hukum, bahkan kadang pengacara perusahaan.
Tapi ada saat Anna dan Jonathan hanya berdua...seperti di setiap jeda kecil — dalam lift yang hanya terisi mereka berdua, di dalam mobil sebelum rapat berikutnya, atau saat ia menyodorkan kopi pagi hari, ada sesuatu yang berubah. Namun entah apa itu.
Suatu Pagi – Dalam Lift
Lift kantor berhenti hanya pada lantai 18. Pintu terbuka, lalu tertutup. Tinggal mereka berdua.
Anna berdiri di pojok kanan, memegang tablet. Jonathan berdiri di sampingnya, mengenakan setelan navy dan dasi hitam pekat. Wajahnya seperti biasa datar, penuh kendali.
“Kau selalu datang lebih awal dari siapapun,” ucapnya tanpa menoleh.
Anna menatap ke depan. “Saya terbiasa dengan ritme cepat, Mr. Jonathan.”
“Dan kau tak pernah terlambat. Bahkan saat jet lag.”
Anna tersenyum kecil. “Saya tahu Anda tidak suka orang lambat.”
Jonathan melirik ke samping, mata mereka bertemu sesaat.
“Aku tidak suka orang yang terlalu patuh. Tapi... kau membuat pengecualian terlihat menyenangkan.”
Anna terdiam.
Lalu lift berdenting. Pintu terbuka.
Ia melangkah keluar lebih dulu, dengan jantung yang berdetak sedikit lebih cepat, tapi langkah tetap teratur.
Dalam Hati Anna
Setiap kalimat kecil darinya seperti percikan. Tidak membakar tapi menghangatkan.
Setiap tatapan datar, seperti menyentuh permukaan air yang menyimpan sesuatu jauh di bawahnya.
Dan setiap kali mereka hanya berdua, hatinya memutar ulang momen di Berlin, saat sofa itu, pangkuan itu, dan....
"Ini tidak penting," katanya dalam hati.
"Dia hanya bosku. Aku hanya asistennya. Dan ini hanya pekerjaan. Ingat itu Anna jangan sampai kau melewati batasan mu."
Dihari berikutnya – Amstel Core Group, Amsterdam
Waktu berjalan seperti deret agenda. Hari demi hari, Anna tetap berdiri di belakang layar, menyusun presentasi, menjawab telepon penting, dan mengatur seluruh dunia milik Mr. Jonathan Vanderlicht.
Namun semakin hari, dunia pria itu terasa semakin berisik — bukan karena bisnis, tapi karena wanita-wanita yang datang dan pergi di sekelilingnya.
Setiap gala, setiap makan malam klien, setiap pertemuan informal di rooftop bar atau lobi hotel selalu ada wanita berbeda yang menempel di lengannya.
Mereka semua cantik. Elegan dan menggoda dengan Gaun terbuka. Tatapan penuh hasrat.
Dan Anna?
Selalu di sana. Dua langkah di belakang, dengan tablet di tangan dan diam yang tak bisa dibedakan ungkapkan. Entah dia sudah muak atau mulai terbiasa dengan ini semua.
Ia tidak pernah bertanya.
Tidak pernah menatap lebih dari satu detik.
Tidak pernah menyebut satu nama pun dari mereka.
Tapi ia mencatat semuanya dalam diam, dalam hati, dalam napasnya yang mulai terasa terlalu berat. Bagaimana bisa seorang pria dewasa bahkan sangat di hormati di kota ini, bisa melakukan hal seperti itu.
"Kenapa dia tidak menikah saja. Atau setidaknya, menjalin sesuatu yang lebih serius dengan salah satu wanita itu." Pikir Anna.
Kantor – Lantai 25, Ruang Eksekutif Mr. Jonathan
Siang itu, kantor sedikit lebih sepi dari biasanya. Banyak staf yang berada di luar untuk pertemuan cabang.
Anna sedang menyusun ulang laporan rapat di laptopnya, duduk di meja kecil di dalam ruangan Jonathan.
Pria itu berdiri di dekat jendela, memegang cangkir espresso.
“Kau tahu, Anna,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
“Setiap wanita yang bersamaku akhir-akhir ini... tidak satu pun tahu cara membuat kopi seperti kau.”
Anna tetap mengetik. “Saya senang bisa berguna, Mr. Jonathan.”
Ia berjalan perlahan mendekat. Berdiri di belakangnya, terlalu dekat untuk disebut wajar. Nafasnya nyaris terasa di tengkuk Anna.
“Atau mungkin... aku mulai terbiasa dengan tanganmu.”
Jari-jarinya menyentuh sisi punggung kursi tempat Anna duduk. Tidak menyentuh kulitnya, tapi cukup dekat untuk membuat udara terasa padat.
Anna berhenti mengetik.
“Saya pikir Anda terbiasa dengan segala jenis tangan, Mr. Jonathan,” ucapnya pelan, nadanya tetap sopan tapi tajam.
Jonathan tertawa pendek. “Kau benar. Tapi tak semua tangan... punya efek seperti milikmu.”
Anna menutup laptopnya perlahan, lalu berdiri, membalikkan badan perlahan dan menatap langsung ke mata pria itu.
“Kalau Anda tidak butuh apa-apa lagi, saya akan ke ruang meeting untuk atur tempat presentasi investor.”
Suara Anna sedikit lebih rendah dari biasanya. Tapi tetap stabil.
Jonathan menatapnya. Lama. Kemudian mengangguk kecil.
“Baik, Nona Anna.”
Anna melewati sisi tubuhnya dengan langkah tenang, meski jantungnya berdetak terlalu cepat.
"Jangan goyah, Anna."
"Jangan percaya pada mata itu. Suara itu. Dan semuannya."
Tapi bahkan ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar... tubuhnya masih terasa panas oleh kedekatan yang tak seharusnya terjadi.