Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32. ANCAMAN
Pagi tiba dengan sinar matahari yang menembus tirai tipis kamar penthouse. Aroma kopi segar tercium samar dari dapur, bercampur dengan harum roti panggang. Suasana yang menenangkan itu membuat Lucia membuka mata perlahan, tubuhnya terasa sedikit lebih segar dibanding malam sebelumnya.
Ia menoleh, mendapati ranjang sebelah kosong. Evan pasti sudah bangun lebih dulu, pikirnya. Ingatannya melayang pada malam tadi, suara Evan yang menenangkannya, genggaman tangannya yang hangat, hingga dirinya bisa tertidur kembali setelah dihantui mimpi buruk. Hati Lucia terasa menghangat, meski masih ada bayang-bayang takut yang belum sepenuhnya hilang.
Pelan, ia bangkit dari ranjang. Tubuhnya masih lemah, namun keinginan untuk tidak sepenuhnya bergantung membuatnya berusaha melangkah ke meja kecil di sudut kamar. Di atasnya, ia menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan Evan yang rapi.
'Aku pergi sebentar untuk bertemu Deren dan menyiapkan beberapa dokumen penting. Jangan khawatir, aku akan kembali segera. Tolong istirahat.'
Lucia menyentuh tulisan itu dengan jari gemetar, seolah ingin merasakan kehangatan dari setiap huruf. Ada rasa bersalah menyelinap, sebab kehadirannya seakan menyeret Evan ke dalam pusaran masalah Samuel. Namun ada pula rasa syukur, karena ia tahu, ada seseorang yang tidak menyerah untuk tetap berada di sisinya.
Di ruang kerja sementara di pusat kota, Evan bertemu Deren. Meja penuh dokumen, laptop terbuka dengan deretan grafik, angka-angka, dan nama-nama investor potensial.
"Kita kehilangan investor utama, tapi masih ada peluang dengan beberapa perusahaan lain," ujar Deren sambil menunjuk layar. "Masalahnya, mereka pasti sudah mendengar rumor tentang Samuel. Kita harus bergerak cepat, meyakinkan bahwa proyek ini masih kuat."
Evan mengangguk, matanya tajam. "Kita jadwalkan pertemuan. Aku akan bicara langsung dengan mereka."
Deren menatapnya cermat. "Evan, kau yakin siap? Samuel bukan hanya bermain di ranah bisnis. Dia memanfaatkan nama Lucia. Itu bisa jadi senjata untuk menjatuhkan reputasimu."
Evan mengepalkan tangan di atas meja. "Biarkan dia mencoba. Selama aku jujur dan proyek ini berdiri di atas fondasi yang jelas, aku tidak takut. Aku tidak akan biarkan permainan kotor menghentikan langkah kita."
Ada keteguhan dalam suaranya, meski di dalam dada, Evan tahu tantangan ini lebih berat daripada yang terlihat.
Di penthouse, Lucia berjalan perlahan ke ruang tamu. Tubuhnya masih letih, tapi ia tidak ingin hanya berbaring. Pandangan matanya tertuju pada rak buku besar di sudut ruangan. Ia menyusuri judul-judul di sana, sebagian besar buku tentang bisnis, arsitektur, dan manajemen. Di sela-selanya, ia menemukan beberapa novel klasik yang warnanya sudah pudar.
Ia tersenyum tipis, membayangkan Evan membaca buku-buku itu di tengah kesibukan. Sosok yang tampak tegas dan dingin di luar, rupanya menyimpan sisi lain yang lembut dan penuh rasa.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Ponsel Lucia yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Layar menampilkan nomor tak dikenal. Hatinya berdegup kencang, firasat buruk menyergap. Dengan ragu, ia mengangkat.
"Lucia ...," suara di seberang membuat darahnya membeku. Itu suara yang terlalu dikenalnya; suara Samuel.
"Kau pikir kau bisa bersembunyi dariku di balik dinding kaca itu?" suara Samuel rendah, penuh ancaman. "Kau milikku, Lucia. Tidak peduli berapa kali kau mencoba lari, aku akan selalu menemukanku jalan kembali padamu."
Tangan Lucia bergetar hebat. Napasnya memburu, dada sesak. "Jangan hubungi aku lagi, Samuel. Aku ... aku bukan milikmu lagi," kata Lucia.
Tawa dingin terdengar dari seberang. "Kau salah, Lucia. Kau hanya sedang dipinjam pria itu untuk sementara. Tapi aku akan menjemputmu kembali. Cepat atau lambat. Kita akan kembali bersama seperti dulu."
Klik. Sambungan terputus.
Lucia terdiam, ponsel nyaris terlepas dari genggaman. Seluruh tubuhnya gemetar, rasa takut menelan habis sisa tenaga yang ia miliki. Ia ingin menjerit, tapi suaranya tercekik di tenggorokan.
Ketika Evan pulang sore itu, ia mendapati Lucia duduk di sofa dengan wajah pucat pasi.
"Lucy?" Evan segera menghampiri, keningnya berkerut. "Ada apa? Kau terlihat ... sangat ketakutan."
Lucia mengangkat wajah, air matanya menetes. "Dia ... Samuel ... dia menelponku."
Mata Evan langsung menggelap. "Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang aku masih miliknya. Dia bilang akan menjemputku kembali," jawab Lucia.
Amarah menyambar dada Evan, panas seperti api. Ia menggenggam bahu Lucia, menatap matanya dengan penuh keyakinan. "Dengar aku, Lucy. Dia tidak punya hak lagi atas dirimu. Tidak sekarang, tidak selamanya. Selama aku ada, aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu. Jangan pernah takut dengannya. Kau jauh lebih kuat daripada yang kau pikirkan."
Lucia terisak, lalu memeluk Evan erat-erat. "Aku takut, Evan."
Evan mengusap punggungnya, menenangkan dengan sabar. "Jangan takut. Biarkan aku yang menghadapi dia. Kau tidak sendirian lagi."
Di dalam hatinya, Evan tahu, Samuel bukan hanya ancaman di dunia bisnis, tapi juga bayangan gelap yang akan terus menghantui Lucia. Dan jika ia tidak mengambil langkah, bayangan itu bisa saja masuk dan merusak segalanya.
Namun di saat yang sama, semakin besar pula tekadnya. Samuel mungkin punya kelicikan, tapi ia punya satu hal yang Samuel tidak pernah miliki: cinta yang tulus. Dan itu akan menjadi kekuatannya untuk bertahan, apapun yang terjadi.
Malam kembali datang. Lucia berbaring di ranjang, matanya masih menyimpan sisa ketakutan. Evan duduk di sisi ranjang, tidak pergi kemana pun.
"Tidurlah," katanya lembut. "Aku akan berjaga di sini."
Lucia menatapnya, lalu mengangguk. Perlahan matanya terpejam, menemukan sedikit damai di bawah lindungan Evan.
Di luar jendela, kota berkilau tak peduli pada kisah manusia yang terluka di dalam ruangan itu. Tapi di hati Evan, janji telah terucap: ia akan melawan badai ini, melindungi Lucia, dan memastikan bahwa bayangan bernama Samuel tidak lagi mencuri cahaya hidup mereka.
Malam telah larut. Kota masih berkilau, tapi penthouse terasa hening. Di kamar, Lucia akhirnya tertidur dengan napas yang lebih tenang, meski sesekali wajahnya mengerut seperti masih dibayang-bayangi mimpi buruk.
Evan duduk di kursi kerja kecil di dekat ranjang, memandanginya. Ada rasa haru yang menekan dadanya: perempuan itu tampak rapuh, namun ia tahu di balik kerentanannya ada keberanian yang besar. Keberanian untuk meninggalkan masa lalu yang kelam, meski bayangan itu terus mencoba menariknya kembali.
Ia bangkit perlahan, menyelimuti Lucia lebih rapat, lalu berjalan ke ruang kerja. Lampu meja dinyalakan, berkas-berkas terbuka di hadapannya. Namun malam ini, bukan angka-angka atau grafik yang memenuhi pikirannya, melainkan wajah Samuel yang terbayang dengan seringai penuh kemenangan.
Evan mengepalkan tangan. Dia pikir bisa menghancurkan aku hanya dengan menarik investor? Dia pikir bisa mengendalikan Lucia dengan ancaman? Tidak. Aku tidak akan biarkan.
Telepon kembali ia angkat. Kali ini bukan Deren, melainkan kontak pribadi seorang mitra lama yang pernah ia bantu dalam proyek terdahulu. Suara di seberang terdengar akrab, hangat, seolah waktu tak menghapus hubungan yang dulu terjalin.
"Evan! Sudah lama sekali. Kudengar proyek barumu besar sekali," ujar suara itu dari seberang telepon.
Evan tersenyum tipis, meski ada lelah di wajahnya. "Benar. Dan justru karena besar, aku butuh mitra yang bisa dipercaya. Aku tidak akan berputar-putar, apakah kau bersedia mendengar penawaranku?"
Percakapan itu berlangsung lama, penuh strategi, penuh angka yang dipaparkan dengan lugas. Evan menekankan kekuatan proyeknya, potensi pasar, dan tim yang solid. Ia tidak menyebut Samuel secara langsung, tapi dalam setiap kata, ia menegaskan bahwa proyek ini akan berdiri meski ada pihak yang berusaha menjatuhkannya.
Ketika telepon berakhir, ada secercah harapan. Mitra itu meminta waktu untuk mempertimbangkan, tapi nada suaranya menunjukkan ketertarikan yang serius.
Evan menutup ponsel, lalu bersandar di kursinya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya justru semakin jernih. Ia tahu jalannya tidak akan mudah. Samuel akan terus mencoba merongrong, mencari celah, mungkin bahkan menyerang lewat cara-cara yang lebih kejam. Tapi ia juga tahu: ia tidak sendirian.
Ada Deren, yang selalu setia mendukung. Ada tim yang menaruh kepercayaan padanya. Dan yang terpenting, ada Lucia, alasan terkuat yang membuatnya tidak boleh menyerah.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih