NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:283
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misteri Bubur

Abang terkekeh mendengarnya lalu pergi dengan motornya. Sedangkan aku, bapak dan juga mamah pergi dengan mobil ke rumah abang.

Sorenya, mamah sudah menyiapkan bubur dan juga hal yang lainnya untuk kebutuhanku. Mereka pamit setelah banyak mengomel dan memberikan wejangan sebelum pergi.

Aku mengangguk mengiyakan, "iya mamah. Neng udah paham, lagian kalau bandel kan ada abang juga."

"Ya tapi kan nanti dia kerja, kamu gak ada yang liatin. Lagian orangtua mau jagain malah disuruh pulang," ucapnya.

"Kan bapak juga harus usaha, masa mau libur terus,"

"Kan mamah ada," timpal Mamah.

Aku menggelengkan kepala, "udah kalian pulang aja. Neng gak apa-apa kok tinggal sama Abang di sini sampe minggu depan."

"Ya udah kalau gitu kita pamit dulu ya!" aku mengangguk mengiyakan, "hati-hati ya pak, mah!"

"Teh makasih ya udah jagain beberapa hari kemarin," ucapku sembari tersenyum.

"Iya neng santai aja kali. Kalau ada perlu apa-apa kasih tau ya!" ucapnya membuatku mengangguk.

Aku kembali masuk ke kamar sembari memainkan ponsel yang sudah lama tidak aku cek karena sakit kemarin.

Loh banyak banget notif dari ig!!

Aku mengulas senyuman melihat pesan di media sosial.

Cowok ini ada-ada aja.

Dia nge-dm tapi kok gak bilang pas di rumah sakit sih.

Aku menerima permintaan pertemanannya, lalu membalas pesan yang ia kirim.

"Maaf ya baru dikonfirmasi sama di follback, soalnya baru buka medsos lagi"

(Hehe)

(Iya gak apa-apa Ri)

(Yang penting kan sekarang udah dikonfirmasi sama di follback)

"Hehe iya"

(Kamu udah pulang?)

"Udah"

"Tadi pagi"

(Saya gak bisa ketemu dulu sama kamu tadi, soalnya lagi ada rapat)

"Hehe iya gak apa-apa"

"Saya mau bilang terima kasih sih tadinya kalau ketemu dulu"

"Soalnya menu makanannya bikin saya sehat sama timbangan juga gak naik lagi hehe"

(Santai aja kali Ri)

(Bukan makanannya yang bikin timbangan gak naik. Tapi karena kamu kurang makannya beberapa hari ini)

"Ya tapi kan kalau sembarangan juga kata kamu nanti bisa makin sakit dan bahkan timbangan naik"

(Iya sih)

(Usahain jangan dulu makan yang keras ya!)

"Batu?"

Laki-laki itu mengirim emoji senyumnya.

(Kalau suka makan batu sih, jangan dulu mending ya!)

"Dikira apaan makan batu"

(Siapa tau beneran kan)

"Ya enggak lah"

"Manusia aneh dong saya. Masa makan batu"

(Loh emang kamu manusia?)

Aku mengirim emoji yang tatapannya sinis.

"Kalau bukan manusia, apa dong?"

(Kirain bidadari yang kesasar)

"Bidadari emang suka diet?"

(Hahaha)

(Ada aja lagi pertanyaannya)

"Lagian malah bahas bidadari"

Setelah balasan itu, Hanif tidak membalasnya lagi. Aku berpikir bahwa mungkin saja dia sedang sibuk bekerja.

Aku juga memilih untuk melanjutkan tulisanku yang sempat tertunda, lalu memakan kembali bubur dengan suwiran ayam yang disediakan mamah tadi.

Setelah abang berangkat kerja tadi, aku celingukan karena merasa seorang diri di rumah—hanya menonton televisi lalu sesekali memainkan ponsel sembari bertukar kabar dengan mamah yang katanya baru saja sampai ke rumah.

Aku melirik jam dinding berulang kali, padahal ini sudah sore hari. Tapi abang dan juga teteh belum juga kembali setelah bekerja seharian.

Ini orang yang punya rumah pada kemana sih?

Masa kerja sampe hampir magrib begini.

Tidak lama setelahnya, suara motor masuk ke halaman rumah. Aku membuka pintu lalu tersenyum pada teteh ipar yang baru saja pulang.

"Kamu habis makan apa neng?" tanyanya.

"Bubur, teh. Emangnya kenapa?"

"Enggak, teteh boleh minta gak? Soalnya laper banget. Terus males masak,"

Aku mengangguk mengiyakan, "ambil aja teh. Mamah tadi masakin banyak kok buat stok."

"Ya udah kalau gitu, nanti teteh mau makan bubur aja buat makan malamnya," jawabnya sembari memasukkan motor ke ruang tamu karena memang tidak ada garasi.

Aku hanya mengangguk mengiyakan, lagipula memang buburnya cukup banyak. Dan juga—ini kan rumahnya, setidaknya aku juga harus berbagi dengan orang rumah setelah numpang di sini.

Adzan magrib berkumandang setelahnya, abang juga baru saja pulang dan masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Begitupun denganku yang memilih untuk sholat magrib lebih dulu lalu istirahat lebih awal dan nanti malam akan makan kembali sembari meminum obat sesuai dengan anjuran dokter.

Alarm ponsel berbunyi cukup kencang hingga aku langsung terbangun. Ku lirik jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Aku pergi ke dapur—berniat untuk menghangatkan bubur sembari aku akan sholat isya lebih dulu. Tapi—kemana buburnya?

Panci itu nampak kosong, begitupun dengan suwiran ayam yang terlihat masih banyak tadi. Tidak mungkin juga aku tanpa sadar menghabiskannya, karena mamah cukup banyak membuat suwiran ayamnya. Bahkan aku hanya makan beberapa suap saja sejak makan siang dan sore tadi.

Aku menghela napas berat, perutku juga sudah mulai perih kembali. Apalagi sudah saatnya makan malam.

Aku mencari beras atau makanan yang bisa dimakan dengan tekstur yang lembut. Dengan terpaksa memasak bubur sumsum karena sama sekali tidak menemukan beras di dapur rumah abang.

Sembari menunggu gulanya larut, aku memilih untuk sholat isya lebih dulu lalu kembali ke dapur dan makan bubur sumsum buatan sendiri dengan bahan yang seadanya saja.

Setelahnya meminum obat lalu kembali beristirahat hingga adzan subuh terdengar.

Aku keluar dari kamar untuk mengambil air wudhu lalu sholat subuh dan kembali untuk membantu teteh membereskan rumah.

Tapi herannya, Teteh ataupun Abang sepertinya belum ada yang bangun satupun. Kamar mereka masih terdengar sunyi, bahkan tidak ada suara bisikan atau apapun sejak semalam.

Mereka belum bangun ya?

Gak sholat subuh?

Aku memilih untuk menyapu halaman rumahnya dan juga mengepel teras yang tidak terlalu lebar.

Setelahnya aku memilih untuk berjalan santai di dekat rumah abang sembari mencari sarapan yang bisa kumakan.

Kayaknya harus nyari bubur ayam lagi.

Lagian siapa yang abisin buburnya?

Abang sama Teteh?

Sepanci dimakan berdua?

Aku masuk ke ruko pedagang bubur ayam, "pak pesan bubur ayamnya 1. Dimakan di sini, tapi bubur sama suwiran ayam aja, gak usah pake yang lain."

"Emangnya enak neng?" tanya bapaknya.

Aku terkekeh pelan mendengarnya, "ya enggak sih Pak. Enaknya pake semuanya, cuman saya belum dibolehin. Jadi makan itu aja," jawabku dianggukinya dengan paham.

"Ya udah, neng duduk aja dulu. Nanti bapak buatin pesanannya," ucapnya membuatku mengangguk.

Sembari menunggu buburnya siap, aku memilih untuk mencari resep bubur ayam yang biasanya dibuatkan oleh mamah. Tidak mungkin juga jika aku menanyakan pada mamah, bisa-bisa nanti mamah balik bertanya dengan bubur yang dia buatkan.

"Loh Ri. Kamu lagi makan bubur juga?" tanya seseorang membuatku mendongak padanya yang baru saja akan duduk di hadapanku.

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!