Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malam-malam berikutnya di Rumah Awan Pelangi diselimuti oleh keheningan. Di siang hari, tawa anak-anak masih menjadi musik utama, sebuah pengingat konstan akan apa yang mereka perjuangkan. Namun saat kegelapan turun, ruang kerja Alex berubah menjadi pusat komando dari sebuah perang rahasia, dan di sanalah, Isabella Ferguson, dalam tubuh Celine Severe, akhirnya mengambil kembali kekuatannya.
Mereka tidak terburu-buru. Mereka menghabiskan beberapa malam untuk merencanakan serangan mereka dengan presisi seorang ahli bedah. Alex, dengan jaringan kontaknya yang luas, mengumpulkan data mentah—daftar kreditor proyek The Seraphina, jadwal pembayaran utang, dan nama-nama jurnalis finansial yang paling tajam dan paling bisa dipercaya di kekaisaran. Sementara itu, Isabella menyediakan amunisi yang paling mematikan: detail.
Ia akan mencondongkan tubuhnya ke atas peta properti resor itu, matanya berkilat. "Bagian ini," katanya sambil menunjuk sayap barat, "adalah spa kesehatan. Ayahku mengimpor semua marmernya dari Italia, dari pemasok kecil milik keluarga bernama Bianchi. Aku tahu persis mereka belum dibayar selama enam bulan terakhir. Itu akan menjadi titik tekanan yang bagus."
Di lain waktu, ia akan menatap daftar dewan direksi Rosales Corp. "Tuan Santoso," katanya, mengetuk sebuah nama. "Dia yang paling konservatif. Dia paling membenci risiko. Jika dia mendengar desas-desus tentang penyalahgunaan dana untuk proyek kesombongan, dia akan menjadi orang pertama yang menuntut audit."
Bagi Alex, menyaksikan Isabella bekerja seperti ini adalah sebuah wahyu. Ia selalu tahu istrinya cerdas dan berintuisi, tetapi ia tidak pernah benar-benar melihat sisi ahli strategi yang kejam ini. Wanita ini telah tumbuh di dalam sangkar ular, dan sebagai hasilnya, ia memahami bahasa desisan dan cara kerja racun lebih baik daripada siapa pun. Setiap wawasannya adalah sebuah belati perak yang diasah dengan sempurna.
Akhirnya, malam eksekusi pun tiba. Rencananya sudah matang. Mereka akan membocorkan informasi itu secara bertahap melalui tiga jalur berbeda untuk membuatnya tampak seperti sebuah krisis yang berkembang secara organik, bukan serangan yang terkoordinasi.
Alex duduk di mejanya, headset aman terpasang di telinganya, sedang melakukan panggilan terenkripsi dengan seorang editor di Jurnal Bisnis Kekaisaran. Isabella duduk di seberangnya, sebuah laptop terbuka di hadapannya, berfungsi sebagai ensiklopedia rahasia bagi Alex.
"Ya, saya mengerti ini hanya rumor," kata Alex ke dalam mikrofon, suaranya tenang dan meyakinkan. "Anggap saja ini sebagai tip dari sumber yang sangat prihatin, seseorang yang berinvestasi besar dalam salah satu obligasi Rosales. Saya dengar ada beberapa masalah arus kas di proyek Pulau Permata mereka."
Isabella mendorong sebuah catatan kecil ke arahnya. Alex meliriknya dan mengangguk.
"Secara spesifik," lanjut Alex, "saya dengar mereka kesulitan membayar pemasok internasional mereka. Coba periksa perusahaan marmer bernama Bianchi dari Italia. Dan mungkin tanyakan beberapa kontraktor lokal tentang tagihan yang belum dibayar untuk pembangunan sayap spa. Ini bisa menjadi cerita yang besar."
Setelah panggilan itu berakhir, ia segera melakukan panggilan kedua ke seorang blogger finansial independen yang terkenal suka membuat sensasi, memberinya remah-remah informasi yang sedikit berbeda. Terakhir, ia mengirim email anonim dari server proksi yang rumit ke Tuan Santoso, anggota dewan direksi yang paling penakut itu, hanya berisi satu baris kalimat: "Tanyakan pada Tuan Rosales tentang rencana keuangan The Seraphina."
Saat panggilan terakhir selesai dan email terkirim, Alex melepas headsetnya. Ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang. Umpan telah disebar. Perangkap telah dipasang. Kini, mereka hanya perlu menunggu.
Keheningan yang tegang menyelimuti ruangan. Alex menoleh pada Isabella, yang juga tampak tegang namun penuh semangat.
"Kau luar biasa, Isabella," katanya pelan, suaranya dipenuhi oleh kekaguman yang tulus. "Kau mengubah semua rasa sakit dari masa lalumu menjadi senjata yang paling tajam."
Isabella tersenyum, senyum pertama yang benar-benar santai malam itu. "Mereka yang memberiku senjata itu. Aku hanya belajar cara menggunakannya."
Didorong oleh keintiman dari misi bersama mereka, Alex bangkit dan berjalan ke arahnya. Ia menarik kursi Isabella hingga berhadapan dengannya, lalu berlutut dengan satu kaki sehingga mata mereka sejajar. Ia mengambil tangan Isabella dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
"Aku minta maaf," bisiknya. "Aku minta maaf karena tidak pernah melihat kekuatan ini di dalam dirimu dulu."
"Kita berdua masih muda, Alex," jawab Isabella, tangannya yang bebas mengelus pipi suaminya. "Kita sedang jatuh cinta, bukan sedang berperang."
"Sekarang kita bisa melakukan keduanya," balas Alex, sebelum ia mencondongkan tubuhnya dan menyatukan bibir mereka. Ciuman itu berbeda dari sebelumnya. Ada gairah di sana, tetapi juga ada rasa hormat yang dalam dan sensasi berbahaya dari menjadi rekan dalam kejahatan. Mereka adalah pasangan yang dipersatukan tidak hanya oleh cinta, tetapi juga oleh tujuan bersama yang mematikan.
Dua hari kemudian, saat sarapan, hasilnya mulai terlihat.
Tablet Alex, yang disetel untuk memantau berita finansial, berbunyi bip dengan notifikasi prioritas tinggi. Sebuah artikel utama baru saja diterbitkan di Jurnal Bisnis Kekaisaran.
Judulnya besar dan mencolok: SURGA YANG BERMASALAH: PROYEK KESAYANGAN ROSALES CORP DI AMBANG KEBANGKRUTAN?
Alex dan Isabella saling berpandangan dari seberang meja, sebuah senyum tipis terukir di bibir mereka. Anak-anak, yang tidak menyadari apa pun, terus memakan sereal mereka dengan gembira.
Sepanjang pagi itu, badai mulai menerpa. Alex menerima laporan setiap jam dari timnya. Artikel itu telah memicu kebakaran. Para kreditor The Seraphina mulai menelepon kantor pusat Rosales Corp, menuntut klarifikasi. Blogger finansial itu telah menerbitkan teorinya sendiri yang lebih sensasional, mengutip sumber-sumber anonim (yang ditanam oleh Alex) dan memicu diskusi panas di kalangan investor ritel.
Pukulan telak datang sekitar tengah hari. Alex menerima sebuah video pendek dari sumbernya di dalam Rosales Corp. Ia memutarnya untuk Isabella di ruang kerja mereka. Layar menunjukkan rekaman tanpa suara dari kamera keamanan di kantor Tuan Rosales. Mereka menyaksikan ayah Isabella mondar-mandir seperti singa yang terluka, wajahnya merah padam karena marah. Ia terlihat meneriaki Damian, kakak laki-laki Isabella, yang hanya bisa berdiri di sana dan menerima amarahnya.
Kemudian, panggilan masuk yang mereka tunggu-tunggu tiba. Salah satu direktur independen OmniCorp menelepon Alex.
"Alex, kau tidak akan percaya ini," kata pria itu di seberang telepon. "Kami baru saja melacak aktivitas pasar yang signifikan. Rosales Corp... mereka sedang menjual sebagian besar saham OmniCorp yang telah mereka kumpulkan. Mereka sepertinya sedang melakukan likuidasi darurat untuk mendapatkan uang tunai."
Alex menutup telepon, senyum kemenangan yang dingin dan memuaskan tersungging di wajahnya. Ia menoleh pada Isabella. "Mereka terdesak. Ayahmu lebih memilih menyelamatkan warisannya daripada melanjutkan perang."
Serangan fajar mereka telah berhasil dengan sempurna. Mereka tidak hanya menghentikan laju musuh; mereka telah memukulnya tepat di jantungnya, memaksanya untuk mundur dan menjilati lukanya.
Alex berjalan ke jendela besar, menatap kota yang terbentang di bawahnya. Rumah Awan Pelangi terasa seperti benteng yang tak terkalahkan. Ia mengulurkan tangannya ke belakang, dan Isabella datang untuk berdiri di sampingnya, meletakkan tangannya di dalam genggamannya.
"Ini baru permulaan," kata Alex, suaranya rendah dan penuh tekad.
Isabella menatap ke kejauhan, ke arah menara Rosales Corp yang tampak kecil dari sini. Rasa takut yang selama ini menghantuinya telah lenyap, digantikan oleh rasa kekuatan yang dingin dan jernih. Ia bukan lagi putri yang diasingkan. Ia adalah Ratu yang sedang merebut kembali kerajaannya.
"Aku tahu," jawabnya, meremas tangan Alex dengan erat.