“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penampakan Sandrawi
“Tolong aku, Mas… Lepaskan tali ini dari leherku…”
Bagantara sontak ingin berlari, namun tubuhnya seakan terpaku di tempat. Ketika matanya menunduk ke bawah, hatinya serasa diremas. Sepasang tali tambang melilit pergelangan kakinya, membelit erat, menjalar hingga tersambung langsung ke tubuh Sandrawi.
“Mas… tolong aku….”
Dengan gerakan kaku, Bagantara mengangkat pandangan. Sosok Sandrawi kini berdiri di hadapannya. Wajah pucat pasi, lidah terjulur panjang dari bibir membiru, leher terpuntir dalam posisi tergantung. Wujud mengerikan yang sama persis dengan keadaan Sandrawi saat ditemukan meregang nyawa.
“T-tidak… jangan dekati aku… pergi! Pergi kamu!” teriak Bagantara histeris, tubuhnya gemetar hebat. Ia menundukkan wajah dan mengayunkan tangan, berusaha mengusir sosok mengerikan itu dari hadapannya.
Keributan yang memecah kesunyian malam itu membuat seisi rumah terjaga. Suara langkah kaki terdengar berhamburan.
“Ada apa ini, Bas?” suara serak Baskoro terdengar pertama kali, lelaki paruh baya itu tergopoh keluar dari kamarnya.
Tak lama, Kinasih menyusul dari tangga dengan wajah pucat, bersamaan dengan Renaya yang muncul di ambang pintu kamar, masih dengan mata berat karena kantuk.
“Sandrawi, Pak… dia… dia muncul di hadapan saya… dia jadi hantu!” Bagantara langsung memeluk tubuh Baskoro, gemetar tak terkendali.
“Halah… jangan bicara ngelantur kamu, Mas! Mana ada hantu di dunia ini!” Baskoro mengibas tangan, mencoba menepis omongan yang terdengar tak masuk akal menurutnya. Selama hidup, belum pernah sekalipun ia menyaksikan hantu dengan matanya sendiri.
“Saya sumpah, Pak… saya benar-benar lihat… Sandrawi datang… dia datangin saya!” suara Bagantara tersendat, matanya berkaca-kaca ketakutan.
Baskoro mengernyit dalam kebingungan. Mustahil Bagantara berbohong dengan kondisi seperti itu. Tak mungkin seorang lelaki dewasa menangis ketakutan jika tidak mengalami sendiri kejadian mengerikan tersebut.
“Kamu jangan nakut-nakutin aku, Mas!” Kinasih menjerit kecil, tangannya mengusap-usap bulu lengan yang berdiri tanpa kompromi.
“Sudah… sudah, kembali ke kamar! Mungkin kamu cuma mimpi… setengah sadar… ngelindur!” tukas Baskoro, mencoba menyudahi kegaduhan itu.
Kinasih pun menarik lengan suaminya, mengajak kembali ke kamar. Bagantara, dengan langkah lunglai, mengikuti Kinasih. Hanya Renaya yang masih terpaku, menatap lurus tanpa suara, hatinya berkecamuk.
“Kenapa Sandrawi nggak menampakkan diri ke aku saja?” lirihnya, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
“Renaya… kamu belum tidur?” tegur Baskoro sebelum benar-benar masuk ke kamar.
Renaya tak membalas, hanya menoleh sekilas lalu membalikkan badan, kakinya melangkah pelan menuju kamar Sandrawi. Tangannya menutup pintu perlahan, membiarkan dirinya larut dalam kebisuan kamar adik tercintanya.
Banyak pertanyaan berputar di kepala Renaya. Tentang alasan Sandrawi memilih mengakhiri hidupnya… tentang siapa lelaki yang membuat adiknya mengandung… dan kenapa semua terjadi tanpa satu pun keluarga mengetahuinya.
Andai Sandrawi mau menampakkan diri kepadanya, Renaya takkan gentar. Ia ingin tahu semua jawaban itu langsung dari mulut adiknya sendiri. Meski harus berhadapan dengan wujud menyeramkan, ia siap… demi jawaban yang selama ini membelenggu pikirannya.
“Sandrawi… Mbak tunggu kehadiranmu… Mbak ingin bicara…” bisiknya lirih, menyandarkan tubuh di kasur yang masih menyimpan aroma sang adik.
Perlahan, mata Renaya terpejam.
......................
Sementara itu, di bawah redupnya cahaya bulan, tiga warga desa tengah menjalankan ronda malam. Langkah mereka terhenti begitu tiba di depan rumah Baskoro, rumah yang kini diselimuti duka.
“Aku masih gak percaya Sandrawi udah nggak ada…” desah Danu, pemuda kampung yang selama ini hanya mampu mengagumi paras Sandrawi dari kejauhan tanpa pernah berani mengungkapkan rasa.
“Aku juga, Nu… percuma selama ini nabung susah payah, eh ternyata Sandrawi malah keburu pergi duluan. Tau gitu, aku nekat aja minjem duit sama Bobi,” gumam Galang, nada suaranya menyiratkan penyesalan tak masuk akal.
Bobi mengernyit sambil membenarkan letak sarung yang melorot. “Minjem duit buat apa lagi, Galang?”
Galang mendecak sebal. “Lah, buat apa lagi? Katanya Sandrawi masang tarif lima ratus ribu sekali… anu. Duitku baru ngumpul dua ratus lima puluh ribu, gagal aku… nggak sempat ngerasain Sandrawi sebelum dia pergi.”
“Astagfirullah, Galang!” Danu segera mengusap wajahnya, seolah mencoba menepis ucapan temannya itu yang membuat darahnya berdesir dingin.
“Nyebut, Galang… orang udah nggak ada, masih aja kamu omongin seenaknya,” sentak Bobi, tak sudi mendengar nama almarhumah disebut dengan cara yang tak pantas.
Desas-desus tentang Sandrawi memang telah lama menyebar di kampung mereka. Tak jarang warga melihatnya pulang larut malam, bahkan kerap menghilang berhari-hari. Ada yang bilang, Sandrawi jadi perempuan simpanan lelaki beristri. Tapi, tak sedikit pula yang meyakini bahwa semua itu hanya fitnah, lantaran tak pernah ada bukti nyata.
Terlebih, kabar kehamilan Sandrawi sebelum kematiannya kian memperkeruh pandangan masyarakat.
“Aku masih nggak yakin Sandrawi perempuan macam itu. Dia baik… mana mungkin dia jual diri cuma buat uang,” suara Danu lirih, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Sayangnya, keyakinan Danu rapuh tanpa bukti. Hanya sisa kagum yang terlalu buta menolak kenyataan.
Galang menyambar cepat, “Baik gimana? Hamil di luar nikah kok disebut gadis baik-baik.”
Tatapannya mengarah ke jendela kamar Sandrawi, seolah berharap sosok itu muncul membantah tudingan mereka.
Bobi cuma menggeleng panjang, menyesalkan kebodohan temannya.
“Ayo, Nu… mending kita pergi aja,” bisik Bobi, menyikut lengan Danu.
Danu hanya mengangguk, melangkah menjauh bersama Bobi, meninggalkan Galang yang masih berdiri di depan rumah keluarga Baskoro.
“Sandrawi… sayang banget kamu milih mati cuma buat nutupin aibmu. Andai kamu jujur, aku… Mas Galang nggak bakal keberatan nikahin kamu, meskipun nggak jelas anak siapa itu,” gumam Galang sembari menerawang jendela gelap.
Dalam benaknya, seolah Sandrawi berdiri di balik tirai tipis, melambaikan tangan sambil mengenakan pakaian yang membangkitkan nafsunya.
“Beneran nih, Mas Galang mau nikah sama Sandrawi?” suara perempuan menyelinap begitu nyata di telinganya.
Galang mengangguk yakin, senyum kecil terbit dari sudut bibirnya. “Iya… andai kamu masih hidup, Sandrawi. Mas pasti nikahin kamu.”
“Yakin, Mas…?” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih nyata.
Galang mengangguk semakin mantap, meski udara mendadak terasa lembab. Hawa dingin merayap dari tengkuknya, dan bahunya terasa disentuh sesuatu yang basah. Perlahan, bulu kuduknya berdiri.
“Nu… Bobi… kok kalian diam aja?” tanyanya pelan, tengokannya mengarah ke samping—kosong. Teman-temannya telah menghilang tanpa jejak.
Galang menelan ludah susah payah, napasnya tercekat. “Bangsat… terus siapa yang megang pundakku sekarang?!”
“Sandrawi di sini, Mas… Ayo, katanya mau menikah,” suara seram itu terdengar persis di belakang telinganya.
Pupil Galang membesar, keringat dingin membasahi pelipis. Belum sempat ia menoleh, sosok menyeramkan itu sudah berdiri di hadapannya. Wajah cantik Sandrawi yang dulu dia kagumi, kini hancur mengerikan, kepala tergantung nyaris putus dengan lidah menjulur, persis saat Sandrawi ditemukan tak bernyawa.
“Se… setan!”
Galang lari tunggang langgang tanpa peduli arah, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia bahkan tak sadar celana yang dikenakan telah basah oleh semburan cairan hangat yang keluar tanpa ampun setelah menyaksikan sosok mengerikan itu.
......................
Keesokan paginya, kabar penampakan arwah Sandrawi cepat menyebar seperti angin ribut. Desa yang biasanya tenang, pagi itu gaduh dengan bisik-bisik dan gumaman tak henti. Mulut-mulut para ibu yang tengah berkerumun di pinggir jalan, dekat rumah Baskoro, sibuk melontarkan dugaan demi dugaan.
“Jangan-jangan… yang hamilin Sandrawi itu si Galang, ya?” celetuk salah seorang ibu dengan suara setengah berbisik namun sengaja diperdengarkan.
“Bisa jadi!” sambut yang lain, matanya melotot dramatis.
Namun ucapan itu langsung dipotong tajam oleh seorang wanita paruh baya yang menegakkan dada dengan geram. “Hei! Hati-hati bicara, ya! Anak saya nggak bakal selera sama perempuan macam Sandrawi yang maaf saja sudah jadi barang rebutan laki-laki!”
“Walah, siapa yang tahu, Bu… lidah nggak bertulang, badan orang nggak tembus pandang,” timpal seorang ibu dengan anggukan sinis. “Kalau soal diam-diam… ya, semua bisa saja terjadi, kan?”
Tak jauh dari kerumunan ibu-ibu penggosip, Renaya berdiri tanpa suara. Ia memang sengaja menyelinap untuk mendengar langsung apa yang dibicarakan para tetangga tentang adiknya. Tak sekalipun ia menyela, hanya memperhatikan dengan wajah datar, meski dadanya terasa seperti ditusuk-tusuk.
Setelah cukup mendapatkan potongan-potongan omongan yang menurutnya penting, Renaya segera menyelesaikan belanjaan paginya. Ia membayar beberapa ikat sayuran dan bergegas pulang, hatinya semakin panas mendengar bagaimana orang-orang memutarbalikkan kenyataan.
Sesampainya di depan rumah, langkah Renaya terhenti seketika. Di ambang pintu, berdiri seorang lelaki asing. Wajahnya tampak canggung, jemarinya saling meremas, seolah ragu untuk melangkah masuk.
Renaya menajamkan tatapan. “Siapa ya?” tanyanya hati-hati.
Lelaki itu tersenyum kaku, lalu perlahan mendekat sambil mengulurkan tangan. “Saya Yudayana, Mbak… temannya Sandrawi.”
Namun sebelum tangan mereka sempat bersentuhan, Bagantara tiba-tiba muncul dari dalam rumah, matanya merah menyalak, tubuhnya melesat cepat. Tanpa banyak kata, ia mendorong Yudayana hingga terjungkal ke tanah berdebu.
“Jadi KAMU… ya?! Lelaki sialan yang menghamili Sandrawi!” teriak Bagantara, rahangnya mengeras, tangan mengepal siap melayang.