NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Romansa / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.

Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20: bayangan masa lalu

Di samping makam yang masih basah oleh tanah, Raja Alex menatap ke arah kerumunan yang berkabung. Ia menyimak bisik-bisik mereka yang dipenuhi duka dan ketakutan tentang serangan pemberontak yang kejam. Seorang pria tua di sampingnya, mengenakan jubah kebesaran, menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Sungguh tak terduga, Baginda," katanya. "Mereka bahkan berani menyentuh para pangeran. Kerajaan ini benar-benar tidak aman lagi."

Raja Alex hanya mengangguk pelan, matanya menyipit, mengamati Vergil yang berdiri tak jauh dari sana. Raja Alex tahu bahwa cerita tentang pemberontak hanyalah alasan yang dibuat-buat; ia melihat seringai tipis yang sekilas muncul di bibir Vergil, sebuah senyuman yang penuh arti dan rasa kemenangan. Raja Alex kemudian melirik Vergil sekali lagi.

"Menurutmu, Vergil," ia bertanya, suaranya rendah dan penuh makna, "siapa yang mampu melakukan hal sekejam ini tanpa jejak, sampai-sampai para pemberontak yang terkenal nekat pun dituduh menjadi pelakunya?"

"Kerja bagus," kata Raja Alex, suaranya pelan dan penuh pujian, hanya untuk didengar oleh Vergil. Ia menepuk bahu Vergil dengan senyum penuh arti. "Mulai sekarang, kau adalah putra mahkota. Kau telah membuktikan bahwa kau adalah yang terkuat, yang paling kejam, dan yang paling pantas di antara mereka semua. Perluasan kekuasaan akan segera kau pimpin. Selamat, Pangeran Vergil."

Malam itu, setelah para pelayat bubar dan hanya menyisakan dinginnya udara di koridor istana, Vergil memasuki kamar Fiona. Fiona, yang sedang merapikan jubahnya, menoleh saat pintu terbuka dan melihat Vergil berdiri di sana, senyum kemenangan terukir di wajahnya.

"Fiona," katanya, nadanya penuh kepuasan. "Aku datang untuk memberitahumu bahwa sekarang aku adalah putra mahkota."

Fiona menghentikan kegiatannya dan membalas senyumannya. "Selamat, Pangeran Vergil. Aku tahu kau akan berhasil," jawabnya, suaranya tenang.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Vergil berjalan mendekat dan merangkulnya erat. Fiona membalas pelukan itu, membiarkan dirinya merasakan kehangatan yang tak terduga dari Pangeran Ketiga.

"Tentu saja," bisik Vergil, melepaskan pelukan itu sedikit demi sedikit, tangannya kini menangkup wajah Fiona. Matanya menatap lekat, ada campuran kelembutan dan kebanggaan di sana. "Ini semua juga berkat kau, Fiona. Tanpa rencana dan ketajamanmu, semua ini mungkin tidak akan berjalan sehalus ini. Kau adalah partner terbaikku."

Vergil mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya di bibir Fiona, ciuman itu terasa lembut, namun penuh gairah. Tanpa perlawanan, Fiona membalas ciuman itu. Vergil kemudian melepaskan ciumannya, lalu perlahan ia mulai melepaskan jubah yang dikenakan Fiona, melemparnya ke lantai. Vergil tersenyum menatap Fiona, tatapannya memancarkan sebuah perasaan yang mendalam.

Vergil, dengan gerakan yang anggun, melepaskan jubah yang menutupi tubuh Fiona. Cahaya bulan yang menembus jendela menyinari kulitnya yang sehalus pualam, menciptakan pemandangan yang tak tertandingi indahnya. Vergil menatapnya dengan penuh kekaguman.

"Kau tak menolak?" tanyanya, suaranya pelan dan lembut.

Fiona tersenyum tipis, tangannya melingkar di leher Vergil. "Aku tak punya kekuatan untuk menolak putra mahkota," jawabnya, suaranya berbisik penuh makna. "Kemarilah, pangeranku."

Malam semakin larut, dan suara napas mereka berbaur dengan irama detak jantung yang berpacu. Keheningan kamar itu dipenuhi oleh bisikan-bisikan manis dan sentuhan-sentuhan lembut, menjadi saksi bisu dari penyatuan dua jiwa yang pernah sama-sama terluka. Vergil menatap Fiona dengan mata penuh cinta dan kekaguman, mengusap lembut helai rambutnya.

"Kau sangat cantik, Fiona," bisiknya, suaranya bergetar. "Apa kau ingin menjadi ratuku?"

Fiona tersenyum getir, menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tak pantas, pangeran," jawabnya, suaranya pilu. "Aku hanya alat yang bisa kau gunakan dan kau buang."

"Apa kau masih berpikir aku akan mengkhianatimu?" tanyanya, suaranya terdengar lembut, tapi penuh keyakinan, seraya jari-jarinya membelai lembut setiap lekuk tubuh Fiona.

Fiona memiringkan kepalanya, pandangannya yang kosong menatap ke langit-langit. "Heum?" jawabnya dengan nada keheranan. "Aku berpikir kau akan membunuhku setelah ini."

Vergil mengerutkan dahinya, dan menghela napas panjang. "Aku tak akan membunuhmu, Fiona, sebaliknya, aku jujur pada perasaan yang selama ini aku bantah."

Fiona terdiam, menatapnya, lalu dengan senyum lembut ia membelai rahang Vergil. "Kita bahas itu nanti, pangeran," bisiknya. "Aku ingin menghabiskan malam ini dulu. Perlakukan aku dengan lembut hanya untuk malam ini."

Vergil tersenyum penuh kemenangan, lalu dengan suara yang lembut, ia menjawab, "Aku akan memperlakukanmu dengan lembut setiap malam."

Keesokan paginya, sinar matahari yang cerah menembus celah jendela, membangunkan Vergil. Matanya terbuka, merasakan kehangatan yang familiar, namun ketika ia menoleh, sisi tempat tidur di sebelahnya terasa dingin dan kosong. Panik mulai menjalar.

Vergil dengan cepat bangkit dari tempat tidur dan matanya menyapu seisi ruangan. Ia melihat secarik kertas terlipat rapi di atas bantal Fiona. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya, membuka lipatan itu, dan membaca pesan singkat yang tertulis di sana:

'Pangeran, aku pergi. Aku sudah mencapai tujuanku, begitu pula dirimu. Selamat karena sudah menjadi putra mahkota, sepertinya aku tak bisa menerima tawaran menjadi ratumu. Aku harap kita bisa bertemu lagi, meski aku berharap kau tak mencariku.'

Mata Vergil melebar, raut wajahnya berubah menjadi campuran antara keterkejutan dan kemarahan. Ia meremas kertas itu di tangannya, berlari keluar dari kamar, dan mencari Fiona di setiap sudut istana. Ia berlari ke kebun, ruang makan, bahkan ke taman belakang, tetapi Fiona tidak ada di mana pun. Ia bertanya kepada para pelayan dan penjaga, namun tak ada yang melihat keberadaan Fiona sejak semalam. Vergil kembali ke kamarnya dengan napas terengah-engah, wajahnya pucat, kekalahan terlihat jelas di matanya. Ia kembali ke tempat tidur, merosot ke sisi tempat tidur yang dingin dan kosong, hanya memeluk kertas yang berisikan pesan terakhir dari Fiona.

Setelah kepergian Fiona, Vergil menjalani hari-harinya dalam kekosongan dan kehampaan. Raja Alex yang kejam tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melatihnya.

Vergil dipaksa untuk mengesampingkan perasaannya, hatinya dilatih menjadi dingin, dan jiwanya diasah menjadi tajam seperti pisau. Raja Alex mendidiknya untuk menjadi tiran, seorang penguasa tanpa belas kasihan yang hanya memedulikan kekuasaan. Vergil menenggelamkan dirinya dalam pelatihan itu, berharap dapat mengubur perasaannya yang kacau. Vergil semakin menunjukkan sisi kejam dan sadisnya pada semua orang.

Setelah sepuluh tahun, di hadapan seluruh bangsawan, Raja Alex mengumumkan bahwa ujian terakhirnya menjadi raja adalah melawan dirinya sendiri. Vergil menerima tantangan itu dan berhasil mengalahkan ayahnya dalam duel yang sengit. Darah Raja Alex menetes di kakinya, namun Vergil tidak merasakan apa pun, hanya kekosongan yang membekukan.

Ia kini menjadi Raja Alvez yang baru. Vergil tak sepenuhnya menjadi tiran seperti yang diinginkan ayahnya. Kekosongan itu tak pernah pergi, dan seiring waktu, kenangan tentang Fiona datang kembali, menggerogoti hatinya. Vergil teringat senyumnya, matanya, dan sentuhannya. Ia teringat akan janji yang tidak pernah ia tepati. Ia sadar, ia tidak pernah menginginkan takhta ini. Yang ia inginkan hanyalah hidup bersama Fiona.

Di sisi lain, Verdian, seorang anak laki-laki jenius berusia sepuluh tahun, sedang berlatih pedang dengan keras di halaman belakang rumahnya yang sederhana. Gerakannya lincah dan cepat, pedang kayu di tangannya berkelebat dengan mahir. Tiba-tiba, suara lembut Fiona memanggilnya dari pintu belakang.

"Nak, kemarilah," kata Fiona, suaranya tenang, "kau belum makan, ibu sudah menyiapkan lauk kesukaanmu."

Verdian menghela napas, menghentikan latihannya. Ia menyarungkan pedang kayu itu dan menoleh ke arah ibunya.

"Ahh… Ibu," ucapnya dengan nada kesal. "Kenapa kau selalu mengganggu latihanku?"

Verdian menghampiri ibunya sambil memegangi perutnya yang keroncongan. "Sebentar lagi aku akan masuk akademi kerajaan Alvez," ia melanjutkan dengan wajah cerah, "dan aku akan menjadi yang terbaik! Hahahaha!"

Fiona hanya bisa tersenyum simpul. Ia menatap lekat putranya, mata yang berbinar dan ambisi yang membara itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia kenal. Ia berbisik pelan pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar.

"Kenapa anak ini... semakin hari semakin mirip dengan ayahnya?"

1
Cha Sumuk
kurang menarik krna mc ceweknya lemah,, biasa' nya klo setelah kelahiran jd kuat tp ini mlh lemah hemmm
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!