Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Buku, Filsafat, dan Jejak yang Tertinggal
Di bab ini, kita mulai membuka ruang bagi penelusuran masa lalu Ale melalui tokoh baru yaitu Zara, yang menyimpan sejarah kelam dan kepahitan dengan Ale meski Wina belum mengetahuinya. Suasana kampus kembali "normal", tapi ketegangan bawah sadar masih terasa...
***
Aku baru bisa tertidur setelah tangisku selesai. Seperti pintu yang tertutup rapat lalu mendadak terbuka, ada sesuatu yang tumpah dan akhirnya tenang. Saat matahari pagi menerobos lewat celah jendela, tubuhku terasa berat tapi kepala justru lebih ringan.
“Bangun, Win!” seru Nayla sambil menggoyangkan bahuku. “Hari ini kita ke perpustakaan. Ingat kan tugas dari Kak Zara? Cari bahan pengantar filsafat minimal lima halaman. Dia galak lho kalau kita telat kumpulin.”
Aku menguap sambil mengangguk. “Iya, iya. Filsafat... tugas... siap.”
Nayla mengangkat alis. “Kamu semalam nangis ya?”
Aku menoleh pelan. “Kelihatan ya?”
“Banget. Tapi tenang, kamu tetap kelihatan cantik kayak mayat yang baru dimandikan.”
Aku tertawa kecil. Gurauan khas Nayla itu—selalu ngawur, tapi entah kenapa, bikin nyaman.
Kami bersiap, mengenakan jaket kampus dan menyusuri koridor asrama yang mulai ramai. Beberapa mahasiswa membawa map, sebagian duduk di tangga sambil sarapan roti tawar dan susu kotak. Pagi di Universitas Wira Dharma terasa biasa-biasa saja, nyaris terlalu biasa setelah malam-malam yang aneh itu.
***
Perpustakaan kampus berdiri seperti istana sunyi dari masa lalu. Bangunannya tinggi dan beratap kaca, dengan tangga kayu tua yang berderit setiap kali diinjak. Di dalam, bau buku tua dan debu bercampur lembut dengan pendingin ruangan yang terlalu dingin untuk ukuran tropis.
Kami masuk lewat pintu samping karena pintu utama sedang dibersihkan. Di dekat rak Filsafat, sosok yang tak asing berdiri membelakangi kami. Rambutnya diikat tinggi, bajunya rapi tapi terlalu mencolok: rompi hitam, rok pensil abu-abu, dan sepatu hak rendah yang bunyinya mengganggu lantai kayu.
Zara.
“Kalian terlambat sepuluh menit,” katanya tanpa menoleh. “Filsafat itu akar dari logika dan akal sehat. Telat berarti melawan logika.”
Nayla memutar bola matanya di belakang Zara. Aku menahan tawa.
“Kami maaf, Kak,” ucapku sopan. “Tugasnya kami kerjakan hari ini.”
“Cari buku pengantar dari dosen Anindita atau Prof. Malik. Jangan cari kutipan di internet. Aku tahu mana yang copas,” jawab Zara dengan suara tajam.
Kami berpencar mencari buku. Tapi entah kenapa, aku merasa mata Zara masih mengawasiku dari kejauhan.
Saat kutemukan buku Filsafat dan Manusia Modern karya Prof. Malik di rak paling bawah, aku melihat tumpukan folder tua di bawahnya. Salah satu dari folder itu menyembul kertas bertuliskan: Program Orientasi Mahasiswa Baru – Angkatan 2021.
Iseng, aku tarik foldernya.
Di dalamnya ada daftar panitia lengkap, foto-foto kegiatan, dan catatan agenda. Mataku terpaku saat melihat satu nama:
Aleandro Reza Fatur – Koordinator Pendamping Maba
Dadaku mencelos.
Nama itu ada. Pernah ada. Di dokumen resmi. Di arsip kampus.
“Dapat apa?” tanya Nayla dari belakang.
Aku buru-buru menutup map. “Cuma catatan lama.”
Zara tiba-tiba muncul di samping kami. “Itu bukan untuk umum.”
Aku menahan napas. “Maaf, Kak. Aku nggak sengaja...”
“Ale pernah jadi panitia di angkatanku juga,” kata Zara tiba-tiba. Suaranya berubah. Tak lagi galak. Tapi... getir.
Aku dan Nayla saling pandang.
“Aku dulu suka sama dia. Tapi dia selalu menjauh,” lanjut Zara, menatap kosong ke arah rak buku. “Katanya aku terlalu keras. Terlalu... sok tahu. Dia benci aku.”
Hening.
“Ale benci banyak hal, tapi dia paling benci ketidakjujuran,” gumamnya. “Terutama dari orang yang pura-pura peduli.”
Zara menoleh padaku tajam. “Kamu kayaknya dekat sama dia, ya?”
Aku membeku. “Maksudnya?”
Dia tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil yang sulit dibaca. Lalu pergi.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, pikiranku berputar.
Ale pernah nyata. Namanya tercatat. Bahkan Zara mengenalnya. Tapi... mengapa semua orang seolah-olah lupa?
Atau... mereka memilih lupa?
Dan jika benar Ale dulu membenci Zara, mengapa aku merasakan kehadiran Ale paling kuat saat Zara mulai dekat?
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup